Menuju konten utama
Mozaik

Lima Warga Inggris Menapaktilasi Perjalanan Hijrah Sang Purnama

"Menapaktilasi perjalanan hijrah Nabi Muhammad tak ubahnya menjalani hidup dan berjalan bersamanya," ujar Rashid Ali, salah satu dari lima pejalan itu.

Lima Warga Inggris Menapaktilasi Perjalanan Hijrah Sang Purnama
Header Mozaik Napak tilas Hijrah Nabi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Selama delapan hari, lima warga negara Inggris berjalan kaki dari Makkah ke Madinah. Perjalanan yang menempuh jarak 547 km itu bertujuan untuk menapaktilasi hijrah Nabi Muhammad 1.402 tahun yang lalu.

Sesuai rute yang ditempuh Nabi Muhammad, kelima aktivis Muslim Charity itu tidak melalui jalur utama yang menghubungkan kedua kota suci umat Islam. Pada 622 M, sebuah rute alternatif dipilih Nabi Muhammad untuk menghindari telik sandi dan kejaran tentara Makkah yang ingin menggagalkan hijrahnya.

Perjalanan Mencari Suaka

Hijrah dilatari oleh persekusi dan boikot kaum Quraisy terhadap anggota masyarakatnya yang menerima Islam dan meninggalkan agama lama mereka. Tekanan itu muncul setelah Nabi Muhammad menyebarkan agama baru secara terbuka (bil jahr), setelah beberapa lama mendakwahkannya dengan diam-diam (bis sirr).

Lain itu, seturut Reza Aslan dalam No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam (2011:42), kaum Quraisy sebenarnya memberi keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan ibadahnya, selama dilakukan diam-diam dan komunitas baru itu tidak mengancam status quo mereka dalam perdagangan. Sesuatu yang menurut mereka tidak diindahkan Nabi Muhammad.

Ide, waktu, dan tujuan hijrah bukan atas prakarsa Nabi Muhammad, tapi Allah. Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Aisyah, Nabi Muhammad bersabda, "Sesungguhnya aku diperlihatkan negeri hijrah kalian, yakni suatu negeri yang memiliki pohon kurma yang terletak di antara dua daerah yang berbatu hitam." Negeri yang dimaksud adalah Yatsrib atau Madinah.

Hijrah ke Madinah tidak dilakukan dalam satu gelombang melainkan bertahap. Nabi Muhammad menunggu perintah Allah untuk menentukan hari keberangkatannya dan memberi kesempatan kepada para sahabat untuk meninggalkan Makkah terlebih dulu.

Terdapat dua versi tentang muslim yang pertama sampai di Madinah. Imam al-Bukhari, ulama asal Uzbekistan yang meriwayatkan ribuan hadis Nabi Muhammad, menyebut Mush’ab bin Umair dan ‘Abdullah bin Ummi Maktum sebagai sahabat yang pertama hijrah. Berbeda dengan sejarawan Ibnu Ishaq yang mengemukakan nama Abu Salamah bin al-Asad.

Para sejarawan muslim menceritakan secara dramatis perjalanan hijrah Nabi Muhammad. Dimulai saat ia meninggalkan rumahnya yang tengah dikepung musuh, bersembunyi, dan hampir tertangkap di Gua Tsur, menyusuri jalur alternatif menuju Madinah, hingga sampai di kota tersebut dengan sambutan hangat penduduknya.

Di kota Madinah, Nabi Muhammad mendorong kohesi sosial antara para pengikutnya yang hijrah dari Makkah (muhajirun) dengan para penolong mereka yang asli Madinah (anshar).

Ia juga mengadakan perjanjian damai dengan unsur-unsur masyarakat di kota itu, khususnya suku Aus dan Khazraj, juga suku-suku Yahudi, yaitu Bani Nadhir, Qainuqa, dan Quraizha.

Perjanjian damai yang diteken Nabi Muhammad dan perwakilan suku-suku tersebut kemudian dikenal dengan Shahifa al-Madinah atau Piagam Madinah. Sejumlah sejarawan, sebagaimana disebutkan Reza Aslan dalam buku yang sama, menyebut kesepakatan itu sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia.

Misi Penggalangan Dana

Rashid Ali, salah satu aktivis Muslim Charity yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, mengatakan bahwa menapaktilasi perjalanan hijrah Nabi Muhammad tak ubahnya menjalani hidup dan berjalan bersamanya. Ia mengaku belajar banyak tentangnya dan rasa cintanya pada Sang Nabi semakin bertambah.

Muslim Charity adalah lembaga amal yang berpusat di Inggris. Sejak 2000, mereka telah membangun 107 masjid dan 1.090 sumur bersih, juga mengirimkan 26 ambulans dan 149 inkubator ke seluruh dunia. Lain itu, mereka mendirikan rumah sakit dan sekolah.

Sebanyak 2.000 anak mereka selamatkan dari jalan-jalan di Bangladesh dan mempertemukan 250 anak hilang, baik karena diabaikan orang tuanya maupun korban human trafficking, dengan keluarganya.

Mereka juga menggagas sekolah informal bernama School under the Sky di Mohamadpur, Bangladesh, dan Karachi, Pakistan.

Lima warga negara Inggris yang menapaktilasi perjalanan hijrah Nabi Muhammad itu merupakan relawan lembaga non-profit tersebut. Rashid Ali tercatat sebagai Community Engagement Officer di Muslim Charity.

Pada 2017, pria 50 tahun itu menjadi berita karena menunaikan haji dengan mengendarai sepeda dari kediamannya di London. Tur ke Tanah Suci itu merupakan bagian dari kampanye Children of the World yang menargetkan donasi sebesar 100 ribu poundsterling. Bersama Abdul Hannan koleganya, ia melintasi Eropa, Afrika, dan Asia sejauh 5.700 km selama 56 hari.

Ekspedisi tersebut dimulai pada 1 Juli 2017 dari London Olympic Stadium bersama 40 pesepeda yang menemani keduanya hingga Paris. Dari Paris, mereka melintasi 14 negara, di antaranya Jerman, Austria, Slovenia, Kroasia, Bosnia, Serbia, Bulgaria, Yunani, Turki, Mesir, dan terakhir Saudi Arabia.

"Dalam ekspedisi haji ini kami menghadapi hujan lebat, terik matahari, gurun tandus, dan tanjakan yang menyiksa hanya untuk menyelamatkan anak-anak. Namun, saya tahu, pada akhirnya, jika saya berhasil menyelamatkan satu anak saja, perjalanan panjang ini akan sepadan," ujarnya kepada surat kabar Bahrain, Al-Bilad.

Sebagaimana Rashid Ali, Abdul Hannan juga relawan yang tergabung dalam Muslim Charity. Keduanya bukan pesepeda profesional. Rashid Ali menggemari olah raga tersebut setelah mengikuti tur amal London-Cambridge dua tahun sebelumnya. Sedangkan Abdul Hannan yang merupakan atlet Jiu Jitsu, baru mencobanya selama beberapa bulan.

Dalam perjalanan ke Tanah Suci, mereka dikawal Shahaveer Hussain, juga relawan Muslim Charity, yang mengendarai mobil berisi kebutuhan logistik. Lain itu, ia bertugas memastikan keamanan mereka dan menunjukkan jalur yang tepat.

Tentu saja ekspedisi itu penuh tantangan. Menurut duo Rashid Ali dan Abdul Hannan, tantangan terberat adalah saat mereka harus mendaki lebih dari 7.500 kaki di Pergunungan Alpen. Mereka juga sempat lost contact dan terpaksa mengayuh sepeda selama empat jam di tengah gelap malam tanpa komunikasi.

Ketika sedang menuju Turki dan berencana menyeberang dari Yunani, Shahaveer tidak mendapat izin dari otoritas negara tersebut. Setelah memutar otak, ia memutuskan memasuki Turki dari Bulgaria.

Infografik Mozaik Napak tilas Hijrah Nabi

Infografik Mozaik Napak tilas Hijrah Nabi. tirto.id/Fuad

Hijrah: Titik Tolak

Rashid Ali dan kawan-kawannya tidak berjalan non-stop dari Makkah ke Madinah. Mereka beristirahat secukupnya untuk menjaga stamina, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad dan Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat yang menemani perjalanannya.

Ketika sampai di kota tujuan, penduduk setempat yang mendengar berita tentang perjalanan lima warga negara Inggris itu menaburkan mawar dan menyanyikan Thala’al Badru, kasidah yang didendangkan pendahulu mereka saat menyambut kedatangan Nabi Muhammad dari Makkah. Berikut petikan terjemah kasidah tersebut:

"Sang purnama telah terbit bagi kita, dari arah lembah Wada’

Wajib bagi kita bersyukur, atas apa yang penyeru dakwahkan karena Allah

Wahai yang diutus untuk kami, kau datang dengan amanah suci

Telah kau muliakan kota Madinah, selamat datang, duhai sebaik-baik penyeru"

Perjalanan Rashid Ali dan teman-temannya melintasi jalur hijrah Nabi Muhammad 14 abad silam bukan tanpa alasan. Bagi muslim, hijrah menandai fase baru dalam sejarah Islam. Seiring keberhasilan Nabi Muhammad menjalankan misi arbitrase bagi suku-suku di Madinah yang kerap berkonflik, dakwah Islam berkembang semakin masif.

Meski tantangan tetap ada, di antaranya pengkhianatan suku-suku Yahudi yang kehilangan monopoli atas perekonomian Madinah sehingga berbalik mendukung pasukan Makkah, tidak dipungkiri bahwa hijrah membuka satu demi satu kesuksesan bagi Nabi Muhammad.

Kesuksesan itu antara lain kemerdekaan menjalankan ibadah, kebebasan menyiarkan Islam, keberhasilan mengakhiri tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang timpang, dan puncaknya adalah kemenangan merebut Makkah tanpa pertumpahan darah.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi