tirto.id - Citra Narada sedang menunggu Transjakarta tatkala seorang pria setengah baya menegur dirinya. Menurut pria itu, Citra menunjukkan raut tak sopan saat bertatap pandang; jutek, masam. Sepanjang waktu menunggu bus trayek Lebak Bulus-Senen, Citra harus melewati momen canggung mendengar pria itu terus mengoceh soal tampangnya.
“Katanya gue jutek banget sama orangtua, padahal gue sendiri enggak ngerasa lagi ngeliatin bapak itu,” Citra bercerita sambil tertawa.
Bukan sekali saja pengalaman aneh semacam itu ia terima hanya gara-gara perkara air muka yang kurang bersahabat. “Biasa saja dong mukanya,” kalimat itu paling sering ia dapatkan dari keluarga, teman, rekan kerja, bahkan orang asing yang tak ia kenal.
Orang-orang terdekat di lingkarannya juga tak putus-putus mengingatkan Citra untuk lebih sering tersenyum, apalagi jika tengah berhadapan dengan klien kerjanya. “Sampai ada narasumber yang bilang ‘kamu kalau senyum ternyata manis, lho.' Berarti, selama ini gue kurang senyum atau gimana.”
Selain Citra, masih ada kisah serupa dari Nurul Hidayanti yang semasa sekolah pernah dirisak karena tampangnya dianggap terlalu ‘nyolot’. Ia pernah ditimpuk botol ketika melewati gerombolan teman lelakinya sembari diteriaki, “Muka lu santai, dong!”.
Ia juga pernah ditegur guru seusai mengorganisir acara di sekolah. Kala itu, seluruh panitia dievaluasi atas kesalahan kecil yang terjadi selama acara berlangsung. Ketika semua orang rampung evaluasi, ia justru dipanggil secara khusus.
“Kata guruku, kalau lagi dinasehatin, mukanya suruh biasa saja,” ujar perempuan yang karib disapa Nunu ini. “Waktu itu aku jawab kalau tampangku memang sudah gini dari lahir.”
Lain cerita dengan Lusia Arumingtyas yang mengeluh sulit bersosialisasi karena orang lebih dulu takut sebelum berkenalan dengannya.
“Dulu aku pikir kamu galak,” adalah kalimat yang sering ia dengar setelah orang-orang lebih karib mengenalnya. Seorang teman lelakinya juga pernah telat membuat pengakuan cinta karena takut ditolak setelah menilai suasana hati Lusi dari wajah, sesaat sebelum menyatakan cinta.
“Keluargaku sampai terus-terusan ngingetin, kalau jarang senyum, bisa-bisa cowok jadi serem mau deketin.”
Muka Enggak Santai Meski Lagi Santai
Bitchy Resting Face (BRF) atau Resting Bitch Face (RBF), begitulah istilah yang disematkan kepada orang-orang dengan rupa tengil seperti Citra, Nunu, dan Lusi. Di dunia, ada beberapa pesohor yang dianggap memiliki fitur wajah BRF, misalnya Victoria Beckham, Kristen Stewart, dan Ratu Elizabeth. Banyaknya memang perempuan. Kanye West adalah contoh dari sebagian kecil laki-laki yang dianggap termasuk BRF.
Wajah-wajah mereka seringkali dijadikan bahan guyonan dan muncul dalam beragam meme karena memiliki campuran ekspresi yang aneh. Pada Kristen Stewart, meme yang ditampilkan menyinggung soal ekspresi mukanya yang terlihat sama saat memerankan adegan marah, sedih, atau gembira.
“Tampilannya digambarkan seperti ekspresi kesal, sedikit menghakimi, dan terlihat bosan,” tulis Washington Post, mendeskripsikan mimik orang-orang dengan BRF.
Karena merasa penasaran soal ekspresi dasar yang ditampilkan orang-orang BRF ini, dua orang peneliti bernama Jason Rogers dan Abbe Macbeth kemudian menganalisis beragam ekspresi wajah. Dengan inovasi internasional Noldus Information Technology, mereka memindai wajah-wajah orang yang diduga punya BRF.
Perangkat tersebut bisa memetakan 500 poin pada wajah manusia dan menetapkan ekspresi dari delapan emosi dasar manusia: bahagia, sedih, marah, takut, terkejut, jijik, menghina, dan netral.
Ada lebih dari 10 ribu wajah dipindai melalui kamera, foto atau video. Rogers dan Macbeth awalnya memindai serangkaian wajah “normal”, FaceReader mencatat ekspresi netral pada wajah-wajah tersebut sebanyak 97 persen. Sisanya, sebanyak 3 persen merupakan gabungan ekspresi lain, tapi tidak terlihat signifikan.
Namun, ketika foto-foto seperti Kanye, Kristen, dan Ratu Elizabeth dipindai, tingkat emosi yang terdeteksi naik hampir dua kali lipat, menjadi 5,76 persen. Pada wajah normal, persentase ekspresi “menghina” terdeteksi hanya 0,82 persen, dan ekspresi “jijik” 1,07 persen. Pada wajah orang-orang yang disebut BRF, persentase ekspresi “menghina” sebesar 3,27 persen, dan ekspresi “jijik” 1,09 persen. Lebih tinggi dari wajah normal.
“Perbedaan besarnya terletak dari ekspresi ‘penghinaan’, mata sedikit menyipit, satu sisi bibir sedikit ditarik ke belakang, tapi tidak sampai tersenyum,” Rogers menjelaskan dalam situsnya.
Saya yang penasaran dengan cara kerja FaceReader kemudian mencoba memindai beberapa foto, termasuk foto Citra yang sedang tersenyum dan satu foto seorang perempuan yang membuat ekspresi cemberut. FaceReader membaca ekspresi ‘penghinaan’ lebih besar pada foto Citra dibanding foto satunya.
Ternyata, selain tidak terpengaruh dengan gender, perangkat ini tetap bisa membedakan ekspresi asli dan buatan wajah. Ia mendeteksi BRF pada wajah pria maupun perempuan dalam ukuran sama.
Payahnya, memiliki tipe wajah BRF seringkali membikin hidup sulit, seperti yang diceritakan Citra, Nunu, dan Lusi. Mereka seringkali harus memalsukan ekspresi wajah dalam situasi tertentu untuk menghindari masalah. Saran yang sering diterima adalah peringatan untuk lebih banyak tersenyum, apalagi jika kondisinya berkaitan dengan pekerjaan.
Saran tersebut cukup beralasan karena Christopher Olivola, dosen di Carnegie Mellon yang mempelajari ilmu fisiognomi, menemukan adanya bukti ‘face-isme’ dalam kehidupan sehari-hari. Ada gagasan bahwa manusia membuat keputusan kepercayaan, kompetensi, dan faktor-faktor lain hanya berdasarkan fitur wajah.
Dalam studinya, ia menyimpulkan individu dengan ekspresi wajah ‘marah’ lazimnya didefinisikan sebagai individu yang kurang dapat dipercaya. Sementara itu, individu dengan fitur muka ‘bahagia’ cenderung dianggap lebih kompeten.
“Implikasinya signifikan, orang-orang yang dipandang kurang bisa dipercaya (marah) berpeluang tersisih lebih besar. Sementara orang yang terlihat lebih kompeten (bahagia) cenderung terpilih,” katanya, seperti dikutip Psychology Today.
Editor: Maulida Sri Handayani