tirto.id - Prawirosuprapto adalah seorang guru di Batang, Jawa Tengah. Bukan sembarang guru, dia juga seorang petenis. Prawirosuprapto punya ipar yang jago olahraga juga, tapi di lapangan sepakbola. Mursanyoto namanya. Dia pernah jadi kiper tim nasional PSSI.
Prawirosuprapto punya 10 anak. Yang tertua adalah Mohammad Sarengat. "Sarengat" tentu saja adalah pelafalan Jawa dari kata bahasa Arab "syari'at".
Dalam acara Impact yang dipandu Peter Gontha, Sarengat mengaku bahwa ayahnya adalah petenis andal. Setidaknya untuk kota kecil Batang. Sejak kecil dia dilatih sang ayah bermain tenis. Dia tak segan jadi pemungut bola untuk belajar tenis.
“Ada paman saya, namanya Mursanyoto (almarhum), itu seorang kiper nasional,” tutur Sarengat.
Pada 1954, sang paman pernah ikut serta di Asian Games Manila. Sarengat mengakui bahwa Mursanyoto adalah idolanya. "Saya pingin jadi penjaga gawang [tim] nasional," ujar Sarengat.
Sejak SD hingga SMA, seperti dicatat dalam Apa dan Siapa Sejumlah orang Indonesia (1986: 787-788), “Sarengat memang penjaga gawang kesebelasan sepak bola di sekolahnya. Masuk klub Indonesia Muda (IM) Surabaya.”
Apa yang dimaui Sarengat itu kemudian sulit jadi kenyataan. Meski dia sudah berusaha untuk itu. Sarengat pernah bergabung dalam tim Indonesia Muda (IM) di Surabaya, zaman dia masih sekolah.
“Saya latihan keras, (tapi) pingin ikut kompetisi saja tidak pernah dibawa,” akunya.
Sarengat yang bosan dengan kondisi semacam itu akhirnya keluar dari rumput lapangan sepakbola dan mencoba olahraga lain: atletik.
Tentang alasan memilih atletik, dia cuma berujar, “Semula saya cuma iseng.”
Kala itu, menurut Sarengat, Surabaya cukup baik dalam hal atletik. Di atletik dia lebih berkilau ketimbang di lapangan sepakbola. Sarengat bahkan ikut trilomba.
“Suatu saat, saya berprestasi di Surabaya […] orang-orang bilang Sarengat ini berbakat juga. Terus saya diundang oleh PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) di Jakarta,” ungkap Sarengat yang kala itu tidak menyangka dia bisa menjadi nomor satu.
Dari Surabaya dia hijrah ke Jakarta. Sarengat pun merasakan tak ada kesuksesan yang gratis di lapangan olahraga. Dunia olahraga tak hanya menyita masa mudanya, tapi juga pelajarannya di sekolah. Latihan olahraga membuatnya tak bisa lulus SMA tepat waktu. Sarengat berusaha mengikuti Olimpiade 1960 dan kejuaraan di Filipina tapi dia tidak sukses. Dia kalah dengan Jootje Pesak Oroh.
"Tahun 1959 SMA saya gak lulus padahal sudah diterima di AMN (Akademi Militer Nasional) waktu itu," akunya.
Saat itu, AMN, yang pernah dikenal sebagai Akabri dan kini Akmil, sudah cukup prestisius. Tak hanya karena gratis, tapi juga jalan untuk menjadi “orang besar”. Karena tak punya ijazah SMA, Sarengat melewatkan kesempatan masuk AMN itu.
Di tahun 1959 itu, Sarengat pernah dipanggil oleh Inspektur Pendidikan Jasmani di Surabaya. “Sarengat tahun 1962 ada Asian Games, siapkan saja dirimu!” kata inspektur itu seperti diingat Sarengat.
Pada 1959 dia memang belum jadi juara, namun tetap konsisten dan mengorbankan masa bermain-mainnya sebagai anak muda. Dia bahkan sempat jadi sparing partner yang membantu atlet lain berlatih. Sarengat sempat menjadi sparing partner dari Marijo, seorang atlet lompat jauh. Suatu kali, Sarengat berhasil melampaui rekor Marijo. Jadilah dia dibawa bertanding ke Manila.
Ijazah SMA berhasil digondol Sarengat pada 1961. Awalnya, Sarengat bingung karena tak ada biaya untuk kuliah. Menurut catatan Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (hlm. 788), “[Sarengat] masuk AD atas saran Letnan Jenderal G.P.H. Djatikusumo. Beroleh beasiswa, ia lantas masuk Fakultas Kedokteran UI. Tetapi, di tahun pertama tidak naik tingkat.”
Moncer di Asian Games
Sarengat tentunya bukan mahasiswa yang rajin masuk kelas. Awal-awal masa kuliahnya habis untuk latihan. Usai latihan dengan tubuh lelah, tentu sulit baginya mengikuti kuliah. Tentu saja ada alasan besar mengapa dirinya gagal naik tingkat.
"Saya ikut Asian Games IV itu," katanya dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia.
Untuk bisa ikut Asian Games yang pertama kali diadakan di Jakarta itu, Sarengat harus bersaing dengan Jootje. Saat itu, Sarengat kerap jadi underdog dari Jootje. Sarengat mengaku Jootje sering mengalahkannya dalam try out. Ini tentu bukan hal mudah bagi Sarengat. Meski Jootje bertubuh lebih pendek, “tapi speed-nya luar biasa,” kata Sarengat.
Para atlet Indonesia yang sedang bersiap diri dalam menghadapi Asian Games IV 1962, pernah dikunjungi para pejabat. Termasuk Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Dia datang di kala para anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) hidup prihatin. Baik dari makanan dan tempat tinggal. Tapi Jenderal Nasution tak masuk golongan itu. Ia tinggal di kawasan elite Menteng.
"Anda harus tahu prajurit Indonesia yang menyabung nyawa dan bertempur, kandungan kalori yang diberikan pemerintah tidak lebih dari hanya 2400 (tiap hari). Sementara Anda semua, sebagai olahragawan justru memperoleh jatah lebih dari 3000 kalori tiap hari," kata Nasution, seperti dikutip buku Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004: 53) yang disusun Julius Pour.
Sarengat, seperti juga atlet-atlet lain, berjuang agar 3000 kalori yang mereka peroleh dari negara tak terbuang percuma. Sarengat juga tak mau kecewakan Jootje, saingannya. Suatu malam, sebelum final nomor lari 100 meter Asian Games pada 22 Agustus 1962, Sarengat mengaku dirinya berdoa sangat khusyuk.
“Kalau aku memang Engkau ridhai, berilah aku kemenangan. Bila tidak, biarlah apa adanya. Ternyata doa saya dikabulkan,” tutur Sarengat.
Dia begitu pasrah karena dirinya telah berjuang mati-matian dan mengorbankan sekolahnya beberapa kali.
Esoknya Sarengat gemilang. Sejarah, lewat surat kabar zaman itu, mencatat Sarengat sebagai juara lari 100 meter dengan catatan waktu 10,4 detik. Selain itu untuk nomor lari gawang 110 meter, Sarengat mencatatkan waktu 14 detik. Selama bertahun-tahun rekor Asia itu tak terpecahkan. Dua medali emas digondolnya. Selain itu dia dapat medali perunggu untuk lompat jauh. Dia pun kemudian dapat julukan "pelari tercepat di Asia".
Sarengat tergolong atlet yang tidak hidup sengsara setelah tubuhnya tak berjasa lagi kepada negara. Dia berjuang mati-matian merampungkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kuliahnya rampung pada 1971 dan dia pun jadi dokter.
Sarengat boleh saja gagal masuk AMN, tapi dia akhirnya jadi perwira di Angkatan Darat. Sarengat pernah berdinas di Corps Kesehatan Militer Angkatan Darat. Selama mengabdi di Angkatan Darat, dia berhasil memperoleh pangkat kolonel.
Di era 1980-an, Sarengat menjadi Ketua bidang Pembinaan Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia. Sebagai letnan kolonel, dia pernah mengepalai Rumah Sakit Pusat Pendidikan Kesehatan (Pusdikes) Angkatan Darat di Kramat Jati. Sebelumnya, Sarengat pernah menjadi dokter pribadi dari dua Wakil Presiden RI, Adam Malik dan Hamengkubuwana IX.
Sarengat meninggal pada 13 Oktober 2014, tepat hari ini empat tahun lalu.
Editor: Ivan Aulia Ahsan