tirto.id - Muhammad Fatah alias Lucinta Luna mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada Kamis, 15 Desember 2016. Dia meminta pengubahan jenis kelamin menjadi perempuan sekaligus nama sebagai Ayluna Putri. Pengakuan itu dibutuhkan untuk mengubah semua dokumen legal negara yang menyangkut identitasnya.
Namun, melalui surat pada 4 Januari 2017, pihak Lucinta Luna meminta agar permohonannya dicabut. Hari itu juga hakim memerintahkan kepada panitera untuk mencoret permohonan Lucinta Luna dalam daftar register 733/Pdt.P/2016/PN Jkt.Brt. Hakim membebankan biaya perkara senilai Rp216 ribu pada pemohon.
Lalu pada 7 Juni 2018 bersama pengacaranya, Lucinta Luna melaporkan penyebar ujaran kebencian melalui video yang diunggah di media sosial. Dia memakai nama Muhammad Fatah dan jenis kelamin ganda laki-laki dan perempuan sekaligus.
Laporan kepolisian itu justru memicu perundungan susulan. Bukan hanya netizen, media mainstream turut menjadi pemantik.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta Alghiffari Aqsa menilai munculnya perisakan terhadap Lucinta Luna menandakan masyarakat Indonesia hidup dalam situasi yang tidak sehat.
“Seharusnya cara kita bertindak di masyarakat harus menghormati SARA, HAM, dan pilihan hidup setiap orang. Kita harus paham tidak mudah menjalani kondisi seperti itu,” kata Alghiffari kepada Tirto, Jumat 8 Juni 2018.
Bagi Alghiffari, hukum dan pemahaman HAM Indonesia kini mundur 30 hingga 40 tahun ke belakang.
Permohonan Pertama
Lucinta Luna bukan orang pertama yang mengajukan perubahan gender ke pengadilan. Alghiffari menuturkan permohonan pengubahan jenis kelamin pertama secara legal di Indonesia, dilakukan oleh Iwan Rubianto pada tahun 1973. Perkara itu ditangani oleh Adnan Buyung Nasution, pendiri LBH.
Kala itu, setelah melakukan operasi ganti kelamin di Singapura, Iwan mengajukan permohonan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia meminta identitasnya diubah jadi perempuan dengan nama Vivian Rubianti.
“Landasan hukumnya HAM, setiap orang punya hak atas tubuhnya. Kalau itu mengganggu pekerjaan atau yang lain itu juga menjadi akar permasalahan. Makanya LBH bela,” tuturnya.
Saat itu belum ada payung hukum khusus yang bisa menjadi acuan pengubahan jenis kelamin. Namun, hakim akan dijerat hukuman pidana jika menolak memeriksa perkara dari pemohon. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, belakangan tahun 2009 UU itu diperbarui. Menurut Alghiffari, hakim berupaya menuju capaian yurisprudensi yang maju.
Erman Rajagukguk, Direktur Program Pascasarjana Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, menuliskan proses peradilan Iwan. Psikiater Iwan yang bernama Kuswanto dihadirkan sebagai saksi ahli. Kuswanto menyatakan Iwan memiliki hormon perempuan lebih banyak. Sejak kecil, Iwan lebih nyaman berdandan dan memakai baju perempuan. Iwan juga suka berteman dengan perempuan dan bermain masak-masakan. Kusmanto menegaskan sifat Iwan tidak mungkin bisa berubah.
Dari paper Erman bertajuk “Hakim Indonesia Mengesahkan Penggantian dan Penyempurnaan Kelamin” itu, tercatat bahwa Abdul Malik Karim Amrullah atauBuya Hamka juga dihadirkan dalam persidangan. Buya adalah ketua Majelis Ulama Indonesia pertama dan tokoh Muhammadiyah yang dihadirkan sebagai saksi ahli di bidang agama.
Buya menuturkan Tuhan memang menciptakan manusia dengan jenis kelamin lelaki dan perempuan. Namun, banyak orang yang dilahirkan tidak sempurna yang memunculkan situasi gundah dan diskriminatif.
“Apakah orang-orang yang dilahirkan seperti itu dan terus-menerus menderita dalam hidupnya juga harus menerima hal itu sebagai takdir atau hukum Tuhan?” katanya dalam persidangan.
Buya memperkuat hakim untuk mengabulkan permohonan Iwan Rubianto. Iwan resmi mengubah identitas jenis kelamin menjadi perempuan dan secara sah bernama Vivian Rubianty.
Rumit dan Mahalnya Prosedur
Prosedur mengubah jenis kelamin dalam seluruh identitas legal di Indonesia rumit dan mahal. Hal itu diungkapkan Ketua Forum Komunikasi Transgender se-Indonesia (FKWI), Yulianus atau Mami Yuli.
Transgender yang meraih gelar Magister Hukum itu kerap mendampingi upaya litigasi pada waria atau transgender woman atau bisa disebut transpuan. Mami Yuli mengungkapkan operasi ganti kelamin butuh biaya tinggi. Mulai dari biaya pemeriksaan, konsultasi, hingga surat rekomendasi yang masing-masing sekitar Rp1,5 juta. Banyak orang tidak melewati prosedur itu karena tidak tahu, tinggal di tempat yang jauh dari Indonesia, atau tak punya dana cukup.
Permasalahan lain, di antara iklim diskriminatif di Indonesia, operasi ganti kelamin menjadi syarat untuk pengajuan permohonan ke pengadilan. Selama ini tak ada laki-laki yang mengubah identitasnya menjadi perempuan tanpa melalui proses itu.
“Setelah itu ke pengadilan soal syarat administrasi pendaftaran itu Rp300 ribu. Syaratnya surat-surat identitas dimasukkan dalam 3 CD,” kata Mami Yuli kepada Tirto, Sabtu 9 Juni 2018. "Untuk mengurusnya harus bolak-balik pengadilan terus sampai syaratnya terpenuhi.”
Kemudian dalam proses pembuktian harus menghadirkan dokter. Biaya tak ditanggung negara.
“Yang susah itu harus mendatangkan pihak keluarga, itu dicek dulu surat-surat kayak KK buat bukti dia bagian dari keluarga. Ada yang harus didatangkan dari Medan, itu biaya lagi,” tuturnya.
Menurutnya, tidak banyak hakim yang memahami permasalahan pelik dalam hukum perdata umum Indonesia. “Banyak hakim yang enggak paham masalah ini,” keluhnya.
Proses peradilan tak selalu mulus. Ada kliennya yang gagal sampai empat kali di pengadilan.
Jika putusan hakim mengabulkan, biasanya sekaligus disertai perintah ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil). Isinya agar Dispendukcapil di wilayah pemohon segera mengubah nama dan jenis kelamin dalam dokumen resmi negara. Usai proses itu Mami Yuli membantu kliennya untuk mengurus identitas ke RT dan RW.
“Terus kami harus ubah ijazah, itu ke sekolah-sekolah sampai Menristek Dikti. Itu semuanya harus diubah. Setelah itu dia diperbolehkan menikah,” ujarnya. Semua proses itu paling cepat bisa tuntas selama setengah tahun.
Republik Transfobia
Hukum dan prosedur mengganti jenis kelamin di Indonesia seperti disebutkan di atas dinilai memunculkan transfobia. KH (nama disamarkan untuk hindari perundungan), seorang transgender yang tengah merampungkan disertasi di The University of Aberdeen menguliti peran negara dalam bias gender. Ia menggarisbawahi kewajiban operasi sebagai syarat mutlak untuk mengganti identitas.
“Operasi atau tidak, itu baiknya keputusan individu. Bukan jadi paksaan untuk seseorang,” kata KH kepada reporter Tirto.
Indonesia belum memahami dan mengakui perbedaan konsep gender dengan jenis kelamin. Jenis kelamin terbentuk secara biologis dan sempit karena hanya ada tiga, yakni laki-laki, perempuan, dan interseks. Sementara itu, gender dibentuk secara kultural dan perkembangan genetik serta variannya beragam melebihi jenis kelamin, bukan hanya feminin dan maskulin saja. Jenis kelamin dan gender tak memiliki hubungan baku atau sifatnya independen.
Maka dari itu, ada yang lahir dengan jenis kelamin laki-laki ketika lahir, tetapi berekspresi gender feminin dan beridentitas gender perempuan. Identifikasi kewanitaan antara satu individu dengan yang lain pun berbeda-beda.
“Saya bertemu dengan banyak teman-teman trans yang memang merasa bahwa keperempuanannya cukup sekadar make up atau sekadar operasi bagian dada atau cukup hormon,” terangnya.
Masalahnya, di Indonesia, laki-laki didefinisikan secara sempit dan kaku harus maskulin. Jika jenis kelamin seseorang tak senada dengan gendernya, ia akan disebut menyimpang.
Selain itu, proses pembuktian di pengadilan pun bermasalah. Kelamin sebagai bagian privat harus dievaluasi melalui institusi hukum. Hal ini mengafirmasi pandangan bahwa keberagaman gender adalah sesuatu yang bukan natural, tetapi dianggap sebagai sesuatu yang "menyimpang".
Menurut KH, seharusnya penggantian identitas jenis kelamin serupa dengan perubahan isi KTP. Tak perlu melalui keputusan pengadilan. Selain itu, untuk memutus mata rantai diskriminasi dan pelecehan HAM, negara seharusnya mengakui konsep gender. KH menuturkan, Indonesia bisa mengacu pada Argentina atau Malta.
“Di sana, komunitas transgender bisa mengubah dokumen legal tanpa harus ada evaluasi medis dan legal. Karena evaluasi medis dan legal ini sangat me-reinforce patriarki dan kategorisasi biner yang menyederhanakan keadaan natural manusia yang non biner,” jelasnya.
KH mencontohkan Lucinta Luna. Ketika akan bepergian ke luar negeri, Lucinta membawa paspor yang mencantumkan jenis kelaminnya laki-laki. Tentu itu akan membuat bingung petugas imigrasi sebab ekspresi gender atau penampilan Lucinta Luna adalah perempuan.
“[Itu] menimbulkan rasa malu yang tidak nyaman. Banyak kasus di mana teman-teman transgender ditahan di imigrasi karena dianggap membawa dokumen palsu atau mengalami pelecehan ditertawakan depan umum,” ungkapnya.
Selain secara hukum dan administrasi, Indonesia juga menumbuhkan transfobia melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pada 23 Februari 2016, KPI melarang lembaga penyiaran menampilkan pria sebagai host, talent, maupun pengisi acara lainnya yang berperilaku (bahasa tubuh) atau bergaya bicara kewanitaan. Salah satu yang dijerat larangan itu ialah program siaran “Super Family 100” yang ditayangkan ANTV.
“Masyarakat kita banyak yang transfobik,” ucapnya. Menurut KH, larangan ‘pria berperilaku seperti wanita’ bersifat subjektif dan diskriminatif.
Disertasi yang tengah digarap oleh KH berhubungan dengan hal itu. Penelitiannya bertajuk “The View of Trans Performers on the Ban of Transgender Characters by Indonesian Broadcasting Commission”.
Menurut KH, apa yang dilakukan KPI tak membuat orang dipandang karena karyanya, tapi aspek yang bisa memojokkan mereka dengan mudah. Ini mengikis rasa respek warga Indonesia pada keberagaman dan mendukung pelecehan HAM.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mariana Amiruddin menegaskan jauh sebelumnya, bangsa Indonesia menganggap transgender bukanlah persoalan. Para artis seperti Dorce Gamalama cenderung dihargai.
“Saat ini, sejak masyarakat semakin konservatif, banyak [yang] mempersoalkan identitas gender. Harusnya tidak boleh ada diskriminasi karena setiap warga negara memiliki hak konstitusional,” kata Mariana kepada reporter Tirto, Sabtu 9 Juni 2018.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti