Menuju konten utama

Lika-liku Kebijakan Hospital Based dalam Pendidikan Residen RI

Posisi residen dan jumlah spesialis ini semakin penting karena penambahan jumlah anggaran premi harus diimbangi dengan ketersediaan spesialis.

Lika-liku Kebijakan Hospital Based dalam Pendidikan Residen RI
Header Perspektif Tantangan dan Peluang Program Residen dengan Sistem Hospital Base. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Pada tanggal 6 Mei 2024, pemerintah Indonesia mencanangkan kebijakan hospital based dalam pendidikan residen yang dilandasi Undang-Undang (UU) no. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Tujuannya untuk mempercepat pemenuhan jumlah dokter spesialis berkualitas internasional, sekaligus membantu distribusinya ke pelosok Tanah Air.

Kebijakan hospital based sudah ditunggu-tunggu sejak lama, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Melalui beleid ini residen mengembangkan ilmu spesialisasi dengan bekerja langsung dalam bimbingan dokter spesialis senior.

Saat masa residensi, tidak ada kewajiban membayar biaya pendidikan. Residen layaknya pekerja magang di rumah sakit. Mereka mempunyai hak (termasuk insentif) dan kewajiban sebagai tenaga kerja.

Praktik Sebelumnya

Sebelumnya, topik residen sebagai pekerja mengemuka setelah musibah tsunami yang melanda Aceh. Banyaknya korban dokter dan dokter spesialis mendorong solusi untuk menghadirkan residen demi mengisi kekurangan spesialis.

Banyak universitas mengirimkan residen ke Aceh. Program paling besar adalah pengiriman residen FK-UGM/RS Sardjito ke Aceh Barat selama empat tahun.

Meskipun belum memiliki payung hukum, residen dengan keputusan pemerintah daerah dan ijin praktek lokal dianggap sebagai dokter umum yang mempunyai kompetensi lebih, walaupun belum sebagai spesialis.

Hal serupa dikerjakan oleh berbagai program pengiriman residen ke tempat-tempat sulit. Residen sudah dianggap pekerja dan mendapat insentif, seperti yang terjadi pada Project Sister Hospital di NTT antara tahun 2010 sampai dengan 2016.

Proyek-proyek tersebutlah yang membuka mata mengenai apa yang salah dalam pendidikan spesialis di Indonesia.

Pada saat pengiriman tenaga, sebagian besar Bupati dan anggota DPRD di Aceh dan NTT meminta dikirimi spesialis. Namun tidak memungkinkan karena jumlahnya yang sangat sedikit.

Ketika diajukan residen, sebagian dari mereka pada awalnya menolak karena residen dianggap sebagai mahasiswa. Namun setelah dijelaskan kompetensi yang dimiliki residen, para Bupati dan anggota DPRD di berbagai daerah menyatakan tidak masalah dan membayar residen sebagai pekerja sementara.

Hal ini dianalisis oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (FK-KMK) UGM dan topiknya di bawa ke proses penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran di tahun 2012.

Perlu diketahui, residen bukanlah mahasiswa kedokteran biasa. Mereka adalah dokter yang sudah kompeten sebagai dokter umum. Selain itu mereka juga mempunyai tambahan kompetensi sesuai dengan tingkat tahun pendidikannya. Residen di tahun akhir pendidikan sudah hampir mendapat semua kompetensi sebagai spesialis.

Hospital Based di UU Pendidikan Kedokteran 2013

Masalah posisi residen dan jumlah spesialis ini semakin penting karena dalam rangka pelaksanaan UU BPJS di tahun 2014 penambahan jumlah anggaran premi harus dapat diimbangi dengan ketersediaan spesialis.

Pada awal tahun 2010 sudah dikawatirkan akan terjadi fenomena peserta BPJS tidak mendapat perawatan karena kekurangan dokter spesialis. Akhirnya disadari bahwa isu residen perlu memiliki landasan hukum kuat, seperti kehadiran UU.

Kesempatan ini datang di tahun 2011 ketika ada Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Kedokteran. Setelah berproses selama 2 tahun, UU Pendidikan Kedokteran disahkan di tahun 2013.

Kala itu, sistem Pendidikan residen di Indonesia menggunakan sistem university based. Masukan sebagian pihak untuk RUU Pendidikan Kedokteran 2013 agar pendidikan residen menjadi hospital based seperti yang ada di luar negeri tidak diterima.

Hal ini karena UU Sisdiknas menyatakan ada pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non-formal. Apabila pendidikan residen diatur menjadi pelatihan residen bukan oleh universitas, akan menjadi pendidikan non-formal. Nantinya lulusan tidak dapat memperoleh berbagai efek sipil.

Selain itu, dikawatirkan bila berpindah ke hospital based tanpa peran universitas, akan ada monopoli wewenang oleh organisasi masyarakat. Baik dari hulu (pendidikan) dan hilir (praktik) kedokteran.

Pada waktu itu belum ada mekanisme Omnibus Law dalam menyusun UU sehingga tidak mungkin merubah pasal yang menyatakan kolegium dibentuk oleh organisasi profesi.

Akan tetapi di dalam UU Pendidikan Kedokteran 2013 ada sifat hospital based. Mengapa terjadi situasi seperti ini?

Hal ini dikarenakan UU Pendidikan Kedokteran No. 20 tahun 2013 berhasil menetapkan pasal yang menyatakan bahwa residen bukan mahasiswa biasa, tapi seperti pekerja magang. Pasal 31, disebutkan residen berhak mendapatkan insentif selama mengikuti program pendidikan dokter spesialis.

Secara rinci isi pasal adalah sebagai berikut:

(1) Setiap mahasiswa berhak:

1. Memperoleh pelindungan hukum dalam mengikuti proses belajar mengajar, baik di fakultas kedokteran atau fakultas Kedokteran gigi maupun di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran.

2. Memperoleh insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran bagi mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis‐subspesialis, dan dokter gigi spesialis­ subspesialis; dan

3. Memperoleh waktu istirahat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Di samping hak, UU Pendidikan Kedokteran 2013 mengatur kewajiban residen sebagai bukan mahasiswa biasa. Pasal 31 ayat 2 menyatakan: Setiap mahasiswa paling sedikit berkewajiban:

  1. Mengembangkan potensi dirinya secara aktif seseuai dengan metode pembelajaran;
  2. Mengikuti seluruh rangkaian pendidikan kedokteran;
  3. Menjaga etika profesi dan etika rumah sakit serta disiplin praktik kedokteran;
  4. Mengikuti tata tertib yang berlaku di lingkungan fakultas kedokteran, fakultas kedokteran gigi, rumah sakit pendidikan, dan wahana pendidikan kedokteran;
  5. Menghormati hak dan menjaga keselamatan pasien; dan
  6. Membayar biaya pendidikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan adanya hak dan kewajiban dan sifat sebagai pekerja, maka UU Pendidikan Kedokteran 2013 mempunyai sebagian sifat hospital based.

Berjalan Setengah Hati

UU Pendidikan Kedokteran 2013 ternyata tidak efektif pelaksanaannya karena berjalan setengah hati. Antara tahun 2013 sampai 2020 dilakukan penelitian operasional di berbagai RS untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan residen. Akan tetapi tidak berjalan bahkan dicabut karena kendala di pemberian insentif dan aturan keuangan lain.

Kemudian, ada kendala karena dianggap melawan tradisi. Residen masih dianggap bagian proses pendidikan. Pemberian insentif secara resmi merupakan hal baru. Hal ini tidak dapat dipahami secara kultural oleh pendidik-pendidik di fakultas kedokteran. Fenomena yang ditangkap adalah “mengapa orang yang sudah diberi pendidikan, harus dibayar?”

Selain itu, ada berbagai hal yang tidak diharapkan terjadi. Pertama, peran Kolegium yang belum terpisahkan dari organisasi profesi menjadi tidak jelas dalam meningkatkan jumlah residen serta dalam distribusi spesialis.

Kolegium yang ada sulit berkomunikasi dengan pemerintah dalam mengembangkan pendidikan dan penyebaran spesialis. Tercatat ada konflik antar kolegium, begitu pula antara

Kedua, penerimaan residen di RS Pendidikan tetap dilakukan berdasarkan rasio dosen dengan jumlah residen bukan dikombinasi dengan jumlah pasien. Akibatnya terjadi kelebihan jumlah residen. Kemudian di beberapa RS yang butuh residen justru tidak ada karena tidak memiliki dosen senior.

Ketiga, penanganan residen di rumah sakit pendidikan tidak mempunyai dasar hukum, dan tidak ada kontrak perorangan seperti di luar negeri. Dalam situasi ini, praktik-praktik bullying terjadi karena residen lebih takut kepada seniornya dibandingkan dengan direksi dan manajer di rumahsakit pendidikan.

Hasil akhirnya adalah jumlah spesialis yang tetap sedikit dan tidak merata, yang menghambat tercapainya pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkeadilan.

Peluang dan Tantangan

Di masa pandemi Covid19, pemahaman bahwa residen sebagai pekerja diakui secara luas. Insentif yang berupa hazard pay diberikan ke residen dengan besaran Rp12,5 juta/bulan. Berada persis di tengah, antara insentif untuk dokter umum (Rp10 juta/bulan) dengan spesialis (Rp15 juta/bulan).

Namun insentif ini sebagai hazard pay berakhir saat pandemi Covid19 selesai. Berlandaskan pengalaman tersebut dan fakta bahwa ada kelangkaan jumlah spesialis, maka disusun kebijakan hospital based yang secara paralel berjalan bersama university based dalam UU Kesehatan 2023.

Meskipun demikian, masih terdapat tantangan yang dihadapi oleh hospital based. Pertama adalah bagaimana kolegium yang sudah terpisah dari organisasi profesi dapat mendukung tercapainya tujuan kebijakan hospital based.

Dalam hal ini untuk mempercepat pemenuhan jumlah dokter spesialis, mendistribusikan dokter spesialis ke seluruh pelosok Indonesia, dan mencetak dokter spesialis berkualitas internasional.

Lalu bagaimana sistem kesehatan di Indonesia dapat mendanai residen sebagai pekerja layaknya di luar negeri. Termasuk di dalamnya mewujudkan kontrak perorangan antara residen dengan pihak rumah sakit. Hal ini agar posisi residen sebagai tenaga kerja menjadi jelas

Selain itu, mengingat apa yang terjadi dengan UU Pendidikan Kedokteran 2013, tetap ada kemungkinan kebijakan baru ini mengalami kegagalan. Risiko kegagalan akan semakin besar, apabila terjadi konflik antara pengelola 2 jalur pendidikan yang berbeda.

Oleh karena itu diperlukan pengawasan ketat atas pelaksanaan kebijakan 2 jalur pendidikan ini melalui penelitian implementasi yang dilakukan oleh pihak independen. Berbagai penyimpangan dan hambatan perlu dideteksi sejak awal untuk dicari solusinya.

Di satu sisi, peluang pendidikan hospital based untuk residen sangat banyak. Masyarakat, penyelenggara pelayanan rumah sakit pemerintah dan swasta, sampai pemerintah daerah, banyak yang menyadari kekurangan spesialis dan mendukung kebijakan ini.

Tersedia banyak tenaga ahli pendidikan di berbagai universitas yang siap mendukung dengan bantuan teknis dari para pakar dan praktisi luar negeri yang mempunyai pengalaman dalam menyelenggarakan hospital based.

Kemudian peluang penting adalah dukungan politik pemerintah. Kebijakan hospital based akan dijalankan secara nasional dengan pencanangan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 6 Mei 2024. Sebuah dukungan politis dari Presiden Republik Indonesia yang tidak pernah ada sebelumnya dalam pengembangan dokter spesialis.

* Penulis adalah dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM, koordinator pengiriman tenaga medis dalam tsunami Aceh (2004-2009) FK-UGM, dan Tenaga Pendamping Ahli untuk RUU Pendidikan Kedokteran 2013.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.