Menuju konten utama
Kasus Pembunuhan Brigadir J

LBHM Khawatir Vonis Mati Sambo jadi Simplifikasi Reformasi Polri

"Tidak ada seorang pun yang berhak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk dalam hal ini negara."

LBHM Khawatir Vonis Mati Sambo jadi Simplifikasi Reformasi Polri
Ilustrasi vonis mati Ferdy Sambo. tirto.id/Fuad

tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyorot vonis mati bagi Ferdy Sambo, terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat.

Dua lembaga itu mendukung penuh penjatuhan pidana terhadap Sambo untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban, namun penjatuhan pidana mati yang diberikan kepada eks Kadiv Propam itu tidak menyentuh problematika struktural di instansi kepolisian.

"Baik terkait mekanisme pengawasan maupun sistem penjatuhan sanksi antara etik dan profesi maupun pidana," ucap Muhammad Afif Direktur LBHM, dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Februari 2023.

Dalam penjatuhan pidana mati di beberapa kasus, tidak hanya kasus Sambo, pemerintah mengabaikan dorongan internasional yang selalu menjadi pembahasan pada Universal Periodic Review (UPR) sebagai mekanisme pemantauan situasi HAM di level internasional.

Terlebih tren global yang terjadi di negara-negara di dunia telah menghapus hukuman mati yang diterapkan pada 109 negara. Penerapan pidana mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia jelas bertentangan dengan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights).

"Artinya, tidak ada seorangpun yang berhak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk dalam hal ini negara. Perlindungan hak hidup sendiri telah diatur dalam berbagai instrumen hukum, baik itu yang nasional maupun internasional, seperti dalam instrumen Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999," terang Afif.

Secara umum, negara melihat pidana mati masih dianggap sebagai bentuk hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku yang merugikan korban dan bisa menimbulkan efek jera serta memenuhi keadilan.

Padahal, pemberlakuan pidana mati, selain melanggar aspek-aspek HAM di luar hak untuk hidup, juga lebih banyak kepentingan politik dan cenderung lebih sering untuk menutupi pihak dan kejahatan lain.

Afif menyatakan penghapusan pidana mati bukan berarti mendukung tindakan kriminal, melainkan usaha untuk mendorong perbaikan pada sejumlah sektor penegakan hukum, khususnya pada pidana mati yang sampai saat ini masih menyimpan sejumlah persoalan.

"Dalam kasus Ferdy Sambo, pidana mati justru tidak menjawab kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi kepolisian tersebut, mengingat kasus yang menewaskan Brigadir Yosua telah melibatkan banyak anggota polisi dari berbagai level," katanya.

Pihaknya khawatir pidana mati kepada Ferdy Sambo merupakan cara untuk simplifikasi terhadap reformasi kepolisian.

Sementara, Kejaksaan Agung mengapresiasi vonis mati yang diberikan hakim kepada Sambo. "Kami mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana, Senin, 13 Februari.

Putusan hakim ini lebih tinggi daripada tuntutan jaksa yakni Sambo dipenjara seumur hidup. Ketut menyatakan putusan tersebut turut mempertimbangkan fakta hukum yang diajukan jaksa.

"Karena putusan majelis hakim telah mengambilalih seluruh pertimbangan hukum dan fakta hukum yang disampaikan dalam surat tuntutan jaksa penuntut umum," ujar Ketut.

Sambo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait FERDY SAMBO DIVONIS MATI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky