Menuju konten utama

Layanan Streaming Netflix jadi Lahan Baru Bisnis Media?

Bagaimana kerja sama media dan layanan streaming menjadi pijakan bisnis baru di masa yang akan datang?

Layanan Streaming Netflix jadi Lahan Baru Bisnis Media?
Ilustrasi Netflix. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Amazon Prime Video, layanan streaming yang dipunyai Jeff Bezos, merilis serial baru berjudul Modern Love. Tayangan yang dibintangi oleh Tina Fey, Anne Hathaway, sampai Andy Garcia ini diputar perdana pada 18 Oktober lalu.

Modern Love berisikan delapan episode. Masing-masing episode mengisahkan bagaimana kehidupan cinta masyarakat urban. Serial tersebut diangkat dari kolom dan podcast mingguan yang dipublikasikan The New York Times. Usia program itu sudah menginjak angka 15 tahun.

Yang menarik dari Modern Love adalah: tayangan ini lahir dari kerja sama antara media dan streaming platform. Hal itu merupakan sebuah terobosan baru yang muncul dalam beberapa waktu belakangan.

Garda Terdepan: Netflix

Modern Love bukanlah contoh yang pertama. Pada Mei 2018, Vox lebih dulu mempublikasikan program berjudul Explained di Netflix. Program ini diinisiasi oleh Ezra Klein, Joe Posner, Chad Mumm, serta Claire Gordon.

Setiap episode berdurasi sekitar 15 menit dan memakai pendekatan dokumenter. Tema bahasannya cukup beragam: dari soal DNA, monogami, sampai kekayaan ras. Bersama Netflix, program Explained diputar di 191 negara dan diterjemahkan ke dalam 23 bahasa.

Tahun ini, program Explained memasuki musim kedua. September kemarin, episode pertama yang bertajuk “The Mind, Explained” dilepas ke publik, dengan narator Emma Stone—aktris pemeran La La Land (2017). Dalam episode “The Mind”, Vox mengeksplorasi banyak hal yang berhubungan dengan otak manusia.

Kerja sama antara Vox dengan Netflix telah dijajaki sejak 2015. Gagasan awalnya adalah pihak Vox ingin membuat program sarat informasi seperti halnya sebuah perpustakaan. Dan mereka butuh medium yang mampu menyebarkannya secara lebih luas. Demi mewujudkannya, Vox mendatangi satu per satu rumah produksi dan distributor yang bersedia diajak bekerjasama.

“Netflix adalah salah satu mitra yang kami harapkan,” kata Ezra Klein, editor-in-chief dari Vox kepada Fast Company.

Gayung bersambut. Netflix setuju menjalin kemitraan dengan Vox. Mereka menyediakan dana serta kebebasan kreatif untuk program yang akan dibikin oleh Vox. Sebagai gantinya, Netflix memegang lisensi konten yang sudah dibuat.

Dengan modal segar yang masuk, Vox segera bergerak. Mereka merekrut tim, menyusun konsep, dan mengeksekusinya. Ada sekitar dua lusin orang yang terlibat dalam proyek ini. Lauren Williams, pemimpin redaksi Vox, menegaskan bahwa masuknya konten media ke layanan streaming adalah tantangan sekaligus ambisi yang besar.

Chad Mumm, produser eksekutif Vox, mengungkapkan ada tiga tujuan yang hendak dicapai ketika memutuskan bekerjasama dengan Netflix. Pertama, diversifikasi konten yang berujung pada terciptanya bisnis televisi yang langgeng. Kedua, menjangkau demografi penonton secara lebih luas. Ketiga, menjadikan Vox sebagai studio besar nantinya.

Selain Explained dari Vox, Netflix juga turut memutar program yang dibikin BuzzFeed bernama Follow This. Serial ini terdiri dari 20 episode. Masing-masing episode punya durasi sekitar 15 menit. Narasi utamanya: membahas peristiwa terkini dari perspektif jurnalis.

Untuk mendongkrak pamor program, BuzzFeed turut menggandeng jurnalis dengan reputasi tokcer seperti Scaachi Koul, Charlie Warzel, Rega Jha, dan John Stanton.

“Serial ini dimaksudkan untuk membawa kesadaran bahwa yang menarik tak sekadar proses jurnalisme, tapi juga karakter-karakter di newsroom kami. Tentang bagaimana orang-orang ini membikin laporan yang ada,” kata Cindy Vanegas-Gesuale, Kepala Program BuzzFeed.

“Kami tidak ingin orang-orang hanya mengenal nama BuzzFeed dan produknya. Kami juga ingin orang-orang mengenal jurnalis kami.”

Pasar, Kualitas, dan Penyiasatan

Apa yang bisa dipelajari dari kerjasama dua entitas tersebut?

Keputusan media seperti Vox, BuzzFeed, maupun The New York Times untuk "menyerahkan" konten mereka ke layanan streaming dapat dibaca sebagai strategi memperluas market.

Amazon Prime, misalnya, menurut catatan Statista, sudah punya 103 juta member—per Maret 2019—khusus di wilayah AS saja. Sedangkan Netflix berhasil mengumpulkan 150 juta pelanggan pada tahun ini. Sebanyak 37 persen pengguna internet global menggunakan layanan Netflix.

Lebih-lebih lagi, mengutip laporan Pew Research Center (2017), sekitar enam dari sepuluh masyarakat AS yang berusia 18 sampai 29 tahun (61 persen) menjadikan layanan streaming dengan internet sebagai cara baru menikmati acara televisi. Statistik ini memperlihatkan berubahnya pola menonton masyarakat AS yang cenderung lebih mengandalkan internet.

Infografik Konten Media di Layanan Streaming

Infografik Konten Media di Layanan Streaming. tirto.id/Fuadi

Dengan jangkauan pengguna yang besar itu, pihak media melihat peluang untuk tumbuh dalam skala yang masif. Walaupun, sebetulnya, mereka sudah punya basis viewers yang cukup tinggi di platform seperti YouTube.

Vox, ambil contoh, telah di-subscribe lebih dari 6 juta orang. Video-video mereka pun, yang jumlahnya mencapai ribuan, selalu berhasil menjaring viewers di atas 100 ribu. Modern Love yang digarap The New York Times juga setali tiga uang: sudah populer ketika masih dalam format teks sebelum akhirnya dikembangkan ke podcast maupun serial di Amazon.

Kemitraan tersebut diprediksi menjadi lahan baru bagi media untuk diversifikasi bisnis yang ada. Ketika mengandalkan pemasukan dari lini konvensional saja tak cukup guna menutup operasional maupun mengeruk keuntungan, maka masuk ke layanan streaming dianggap sebagai kesempatan yang tak boleh disia-siakan.

Bukan tidak mungkin bila dari sini akan ada lebih banyak lagi konten media yang tayang di layanan streaming.

Baca juga artikel terkait THE NEW YORK TIMES atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Bisnis
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Eddward S Kennedy