tirto.id - Ada sebuah adagium dalam sepakbola: kompetisi yang baik adalah kompetisi di mana para pemainnya lebih populer ketimbang organisator atau regulatornya. Tapi agaknya hal itu tidak berlaku bagi Liga Spanyol (La Liga).
Javier Tebas Medrano, pria kelahiran Kosta Rika yang kini menjabat sebagai presiden La Liga punya popularitas yang tak kalah ketimbang bintang-bintang lapangan hijau di Negeri Matador.
Akun Twitternya diikuti hampir 50 ribu orang. Komentarnya nyaris setiap hari berkelindan di halaman depan media-media olahraga Eropa. Kendati demikian, kualitas La Liga sebagai salah satu liga top dunia tak perlu dipertanyakan.
Jika dihitung dengan patokan interval poin klub-klub peserta, menurut laporan The Guardian dalam beberapa musim belakangan tingkat persaingan kompetisi ini bahkan ‘lebih baik’ ketimbang Premier League. Sementara dari aspek keuangan, sejak Tebas menjabat angka utang kolektif klub-klub La Liga terus berkurang.
Tapi pencapaian itu rupanya belum cukup. La Liga punya mimpi yang ingin mereka wujudkan: menguasai pasar Asia. Dan Indonesia, yang merupakan negara Asia dengan populasi terbanyak ketiga, turut menjadi target pasarnya.
Januari 2019 lalu, langkah serius untuk mengejar mimpi itu dibuktikan dengan penandatanganan MoU kerja sama dengan PT Liga Indonesia Baru, operator kompetisi liga sepakbola di Indonesia. Kerja sama ini meliputi aspek pengelolaan finansial, promosi, CSR, dan kepelatihan.
“Kami ingin jadi liga nomor dua bagi orang-orang Indonesia, dan liga yang menjadi nomor satu tentu liga domestik mereka,” kata Managing Director LaLiga Global Network South East Asia, Ivan Codina.
Selasa (17/9/2019) kemarin Tirto berkesempatan mewawancarai langsung Javier Tebas. Bertempat di Mandarin Hotel, Raffles Ave, Singapura, selama kurang lebih 45 menit Tebas menyinggung banyak hal.
Mulai dari tekad La Liga memperluas jaringan di Indonesia, kritik atas pendanaan klub-klub Eropa, deklarasinya sebagai fans Real Madrid, sampai pandangannya terhadap persaingan di industri sepakbola yang kian meluas.
Berikut petikan wawancara kami dengan mantan presiden klub Sociedad Deportiva Huesca tersebut.
Ada banyak cara untuk memperluas jaringan di Indonesia, tapi kenapa La Liga memilih menyepakati MoU dengan LIB?
Strategi global kami—yang juga kami terapkan di Indonesia—adalah membantu sepakbola lokalnya berkembang, kemudian membangun generasi sepakbola mereka berikutnya. Karena bagi kami semakin bagus perkembangan sepakbola lokal di Indonesia, maka akan semakin bagus pula perkembangan La Liga.
Saat kami pertama menginjakkan kaki di Asia dua atau tiga tahun lalu, kami tidak punya banyak pengetahuan soal Indonesia, tapi kami berusaha konsisten belajar tentang Indonesia dan membangun identitas kami di Indonesia.
Dan MoU ini bagian dari strategi itu?
Tentu. Kami berencana terus membantu sepakbola Indonesia berkembang, juga meningkatkan partisipasi kami di pasar global. Ide kerja sama kami dengan LIB adalah agar kedua pihak terus saling berkomunikasi dan berbagi dalam berbagai aspek.
Kami akan mencoba memahami tantangan mereka dan apa saja yang telah mereka lakukan di Indonesia beberapa tahun terakhir. Kami mendukung pengembangan sepakbola lokal dan [LIB] adalah organisasi yang bertanggung jawab atas liga di Indonesia.
Anda tentu tahu ada banyak konflik kepentingan di balik LIB dan PSSI, federasi sepakbola Indonesia. Di Indonesia hal itu sudah seperti rahasia umum. Apa Anda tidak khawatir hal ini mempengaruhi sentimen orang Indonesia terhadap LaLiga?
Sebenarnya kami juga bertujuan membantu Timnas Indonesia. LIB dan PSSI adalah dua organisasi yang paling dekat [dengan Timnas]. Kami tahu, ada banyak dinamika di PSSI dan LIB belakangan ini, di tempat kami pun [La Liga dan federasi sepakbola Spanyol] juga demikian. Tapi landasan kerja sama ini lebih mengarah ke bagaimana kami membantu di level akar rumput, seperti dengan mengadakan kelas sepakbola di Indonesia.
Kami akan mengadakan beberapa workshop terkait berbagai hal, entah itu marketing, manajemen klub, sampai menyoal hak siar. Kami mengadakan workshop-workshop ini untuk membagikan pengalaman yang kami dapat di Spanyol, agar Indonesia juga bisa belajar. Dan komunikasi kami akan terus terbuka untuk mengembangkan industri sepakbola mereka.
Membantu di akar rumput, jadi itu pula alasan LaLiga mendirikan sekolah sepakbola di Indonesia?
Ya. Sekolah sepakbola salah satunya, tapi kami juga mencanangkan proyek-proyek lain di Indonesia dan Vietnam yang ditujukan untuk ribuan anak-anak. Menurut kami itu juga hal penting.
Lewat proyek ini kami ingin memberikan lebih banyak waktu berlatih bagi anak-anak, terutama mereka yang menyandang disabilitas. Penting bagi kami untuk memahami kalau anak-anak ini punya kebutuhan dan kemampuan berbeda. Dan pada saat kami melakukannya, kami berharap liga-liga lain juga mau terlibat dengan komitmen semacam ini.
Untuk menyukseskan proyek ini perlu keterlibatan banyak orang. Contohnya di kamp pengungsian Zaatari, kamp pengungsian terbesar kedua di dunia, ada banyak anak berlatih sepakbola dengan seadanya. Karena mereka tak punya peralatan, kami membantu mereka dengan menyediakannya dan kami memperkirakan sekarang ada lebih dari 1000 anak rutin berlatih.
Jika Anda melibatkan peran anak-anak serta keluarga untuk mendukung, sekitar 30 ribu orang berpartisipasi dalam keberlangsungannya. Kami ingin membawa komitmen yang sama ke Asia.
Tapi tentu La Liga tetap butuh penonton tambahan dari Indonesia. Apakah pendekatan ini sudah berdampak terhadap popularitas klub-klub kecil?
Tentu segalanya butuh waktu. Pertama-tama kami harus sabar, agar kami bisa memulai tren konsisten dari tahun ke tahun, atau bahkan ke depannya membawa klub-klub ke sini untuk berkompetisi dengan tim dari Indonesia saat jeda musim panas.
2015 lalu, tidak ada branding yang jelas terhadap La Liga, meski kami bisa mendapat banyak hak siar. Beberapa tahun terakhir, kami mengupayakan kemajuan La Liga secara keseluruhan, agar seluruh tim juga lebih dikenal. Kami masih akan melanjutkan pendekatan ini sampai beberapa tahun ke depan.
Ini adalah pekerjaan yang butuh waktu. Tapi kami sudah mulai merasakan sekarang pemahaman orang terhadap La Liga sudah tidak lagi terbatas pada dua tim [Real Madrid dan Barcelona].
Saat ini di Asia sudah banyak akademi yang berafiliasi dengan La Liga. Adakah rencana membawa masuk bakat-bakat muda Asia ke Spanyol?
Tentu tidak sesederhana itu. Scouting biasanya dilakulan mandiri oleh pemandu bakat klub masing-masing, bukan oleh kami. Intinya, kami lebih menekankan agar anak-anak senang bermain sepakbola.
Jika muncul pemain berbakat, terkadang klub Spanyol akan memanggilnya. Tapi, tujuan utama La Liga dengan akademi ini adalah agar mereka generasi muda—terutama yang ada di Cina, India, dan Indonesia—mau berlatih. Latihan sepakbola yang lebih umum.
Pasti ada pemain bintang yang muncul dari kegiatan ini, tapi itu bukan tujuan akhir kami.
Ngomong-ngomong soal klub Spanyol, dari berbagai pemberitaan Anda tidak segan mengakui kalau Anda fans Real Madrid. Di Asia, sangat jarang petinggi liga atau federasi bersikap demikian, bahkan di Indonesia afiliasi petinggi federasi dengan klub kerap memunculkan berbagai kecurigaan. Tidakkah Anda khawatir mendapat kecurigaan yang sama?
Dengan mengakuinya, saya justru meyakini yang terjadi bukan kecurigaan, tapi sebaliknya.
Menyembunyikan kecintaan Anda pada sebuah klub hanya karena Anda jadi orang besar di federasi atau liga, itu sama saja Anda membiarkan kebohongan menjadi bagian dari diri Anda.
Lagi pula mengakui kalau saya fans Real Madrid, sama sekali tidak memengaruhi sikap saya ketika mengambil keputusan dalam kapasitas sebagai presiden La Liga. Justru, orang akan mulai lebih ketat mengawasi saya agar tidak mengambil keputusan subjektif yang menguntungkan Real Madrid.
Saya pikir dalam industri sepakbola, siapapun pasti punya tim dukungan. Dan seseorang yang menyembunyikannya justru lebih pantas dicurigai. Ini adalah sepakbola, ini juga soal passion.
Tapi menjadi pendukung Real Madrid, bukankah itu aneh untuk seorang Javier Tebas? Anda tampak bereaksi keras terhadap sikap jor-joran PSG dan Manchester City di bursa transfer. Padahal, kan, Real Madrid juga kerap melakukannya. Musim panas lalu mereka bahkan belanja pemain sampai lebih dari 300 juta euro.
Saya tidak mengkritik bagaimana PSG, atau Manchester City menyirkulasikan atau membelanjakan uang mereka. Poin dari kritik saya adalah tentang bagaimana mereka memperoleh uangnya. Uang mereka bukan berasal dari pemasukan sendiri.
Ketika klub seperti Real Madrid, atau Barcelona belanja besar di bursa transfer, kita tahu uang mereka berasal dari hak siar, marketing, keanggotaan suporter, sampai penjualan tiket pertandingan.
Untuk kasus PSG mereka memang dapat uang dari hak siar [pemilik PSG adalah bos beIN Sports]. Tapi kita sama-sama tahu kalau lebih dari itu, sebagian besar pemasukan mereka didapat dari industri minyak. Situasi seperti ini kemudian bikin harga pemain melonjak di Eropa, dan itu menyebabkan inflasi gaji, sesuatu yang tampak jelas dari polemik negosiasi transfer Neymar di bursa transfer musim panas kemarin.
Neymar pindah dari Barcelona ke PSG untuk harga yang kelewat tinggi, dan itu didorong pendapatan PSG yang berasal di luar industri sepakbola. Sekarang, mereka [Barcelona] ingin merekrutnya kembali, tapi itu tidak bisa. Tidak ada yang bisa menjangkau banderol Neymar, karena tak ada klub yang bisa menjangkau angka 200-220 juta euro untuk satu pemain. Uang itu sudah di luar nalar pasar sepakbola.
Itu dia yang saya protes. Bukan soal bagaimana mereka jor-joran, tapi fakta bahwa uang mereka adalah uang rekayasa.
Lalu apakah menurut Anda klub seperti PSG dan Manchester City perlu layak dapat hukuman larangan tampil di Liga Champions?
Saat ini saya tidak bisa menyampaikan pandangan utuh. Tapi The Times baru saja menulis artikel bagus soal hal ini. Saya menyarankan Anda melihatnya karena isinya cukup mewakili pandangan saya.
Katakanlah klub seperti PSG dan City terbukti menerabas aturan FFP. Menurut Anda apakah UEFA berani menjatuhkan sanksi?
Ini bukan soal berani atau tidak, tapi soal apakah UEFA mau bersikap fair. Sudah ada aturan dari UEFA yang harus dipatuhi klub-klub tersebut. Tim seperti AC Milan belakangan pun dihukum karena melakukan pelanggaran.
Kita sudah di tahun 2019, tak ada aturan di manapun yang seharusnya memberi celah untuk konflik kepentingan. Anda tidak bisa meraih semuanya di waktu yang sama. Jika Anda ingin jadi presiden klub, sepantasnya Anda tidak bisa duduk sebagai anggota Komite Eksekutif UEFA.
Bicara soal UEFA dan Sepakbola Eropa, belakangan banyak perbincangan soal wacana klub-klub besar Eropa mendirikan Liga Super Eropa. Saya membaca di salah satu artikel, Anda meyakini Liga Super Eropa akan jadi proyek gagal, setidaknya untuk jangka panjang. Bagaimana maksudnya?
Butuh waktu seminggu bagi saya untuk menjelaskan itu, tapi saya akan menyampaikan poin dasarnya.
Klub-klub yang ingin membikin Liga Super Eropa pada dasarnya adalah mereka yang sudah berkembang pesat. Tapi perlu diingat kalau klub-klub ini berkembang pesat karena punya banyak fans, dan mereka punya banyak fans karena memenangkan sesuatu.
Real Madrid, misal, mereka hampir 20 tahun tak menang Liga Champions, tapi mereka berkali-kali dapat trofi domestik. Atau Barcelona, yang juga mulai jarang menang Liga Champions tapi rutin juara liga.
Pembentukan Liga Super Eropa akan menyebabkan cuma ada satu trofi yang berpeluang diraih klub-klub besar ini. Pada akhirnya, itu akan merugikan bagi klub yang gagal juara. Klub-klub seperti Bayern Munchen, Real Madrid, atau AC Milan, jika semakin jarang menang trofi, apa yang bisa mereka lakukan untuk mempertahankan reputasinya? Bagaimana mereka tetap memancing ketertarikan fans baru?
Proyek Liga Super Eropa ini mungkin akan berjalan bagus pada dua tahun edisi pertamanya. Tapi jika Anda melihatnya 10 tahun kemudian, turnamen ini akan menenggelamkan nilai klub-klub besar yang gagal menjuarainya.
Sampai sekarang sepakbola Eropa mengembangkan formula agar liga nasional penting, kemudian klub besar punya medan tambahan [Liga Champions]. Apa yang dilakukan La Liga saat ini menyesuaikan formula itu.
Liga Super Eropa, juga tidak menyediakan tempat bagi klub-klub lebih kecil. Keindahan sepakbola akan berkurang jika tidak ada kesempatan yang diberikan pada klub-klub kecil untuk bertarung dan menang.
Gagasan Liga Super Eropa ini, apakah mengindikasikan sepakbola bukan lagi sebatas olahraga menendang bola?
Kami, La Liga, adalah entitas hiburan. Kami tidak bisa cuma bergantung dari sisi olagraga yang dimiliki sepakbola.
Industri sepakbola adalah soal bagaimana sebuah cerita dikisahkan. Netflix, HBO, atau mereka produsen konten berkualitas tinggi lain yang dikonsumsi jutaan orang, sekarang sudah menjadi kompetitor kami juga.
Jika sudah sedemikian luas persaingannya, bagaimana La Liga berencana menonjolkan diri?
Jika kita pergi ke luar Spanyol, sekarang La Liga sudah menawarkan konten olahraga yang sangat premium, tapi kami akan terus menaikkan level daya tawar dan produksi dengan cara-cara yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Sehingga dari perspektif fans, konsumen bisa mendapat sebuah cerita yang dipaparkan dengan bagus.
La Liga telah berinvestasi besar dalam hal produksi, kualitas siaran kami saat ini benar-benar tinggi. Kami tak memandang apakah itu untuk pertandingan klub kecil atau klub besar macam Real Madrid. Namun, kami harus terus bertarung demi mendapat perhatian fans, lebih dari perhatian mereka untuk hiburan yang lain. Kami harus bisa menjalankan produksi sebaik mungkin.
Kami telah memulainya dengan investasi penggunaan kamera 360 derajat dan aerial camera. Kami menerapkan teknik dan teknologi baru di setiap saat, setiap pertandingan, setiap akhir pekan. Kami bekerja seolah-olah sedang memproduksi 10 film Hollywood tiap akhir pekan, yang disajikan ke para fans secara langsung.
Jika Anda punya aktor dan drama yang bagus, tapi kualitas produksi Anda buruk, tentu tak akan ada orang mau menyaksikan konten Anda. Kami ingin menghindari ini. Saat ini kami punya pemain dan klub-klub hebat. Cerita yang kami suguhkan pun bagus kualitasnya.
Pada akhirnya ini adalah pertandingan sepakbola. Passion dan drama tidak bisa dipisahkan darinya.
Investasi yang Anda sebut tentu membantu La Liga bersaing dengan liga sepakbola lainnya. Tapi bagaimana dengan persaingan menghadapi penyedia konten dari industri hiburan lain?
Agar bisa bekerja seperti bagaimana Netflix menyuguhkan saran film lain setelah Anda menyaksikan film tertentu, kami terus berusaha mengombinasikan data yang kami dapat untuk memperoleh pemahaman lebih tentang fans kami. Soal apa yang mereka sukai dari sebuah pertandingan, kemudian kami menyarankan pertandingan yang sesuai kriteria mereka.
La Liga juga mulai bekerja sama dengan penyedia layanan Smart TV seperti Samsung dan LG untuk menyusun dan menyuguhkan pengalaman lebih hagi konsumen. Mereka tidak akan sekadar jadi penonton, tapi juga mulai dilibatkan dalam interaksi.
Teknologi yang kami siapkan akan membuat pengalaman yang didapat penonton lebih intim. Kami menyiapkan teknologi virtual, semacam personal assistant untuk memberikan lebih banyak data soal pertandingan yang mereka tonton.
Jika penonton ingin tahu berapa jauh Messi sudah berlari dalam sebuah pertandingan, misalnya, mereka bisa mendapatnya hanya dengan sekejap. Cukup menekan tombol remot TV.
Ini bukanlah film fiksi ilmiah. Ini kenyataan, kami sedang menyiapkannya.
Dengan teknologi, kita bisa memangkas jeda antara apa yang terjadi di lapangan dan di kejauhan, entah aksesnya lewat satelit atau internet. Bahkan ketika sesuatu terjadi di lapangan, orang-orang punya kecenderungan ingin tahu lebih cepat dengan membuka Twitter.
Kami ingin terus merekatkan jarak itu, dan membuat mereka yang berada di rumah seperti berada di stadion.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Eddward S Kennedy