tirto.id - Tersebarnya video porno mirip artis menambah panjang daftar kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia. Respons sebagian orang di media sosial membuat situasi makin menyedihkan. Lihat saja kolom trending Twitter. Sebagian besar kata kunci terkait dengan permintaan akses ke video, misalnya 'full-nya' atau 'pemersatu bangsa'.
Nenden Sekar Arum mengatakan sebaiknya siapa pun memang tidak ikut serta dalam percakapan seperti itu karena "malah turut menyebarluaskan video" serta yang lebih penting "tentu saja jadi tidak sensitif terhadap korban." Nenden adalah peneliti dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) yang banyak mengkaji KBGO.
Ia menjelaskan kepada reporter Tirto, Selasa (10/11/2020), bahwa kasus ini dapat dikategorikan sebagai penyelewengan konten intim non-konsensual. Memang belum dibuktikan siapa yang ada di video itu, tapi tetap dapat dikategorikan demikian karena kadung dikaitkan dengan orang tertentu.
Dalam penyelewengan konten intim non-konsensual, video sebenarnya tidak dimaksud untuk dikonsumsi publik. Namun, karena peretasan, perangkat dikuasai orang lain, atau alasan lain video itu berpindah tangan.
Penyebaran dilakukan karena motif tertentu, misalnya balas dendam, ingin mempermalukan, atau yang lain. Cara itu 'efektif' apalagi jika korban adalah perempuan. Mereka akan langsung dianggap tidak baik sehingga rentan dipermalukan bahkan dilecehkan lagi. "Berikutnya pelecehan verbal, pelecehan fisik, pelecehan dalam bentuk teks. Memang pada akhirnya menimbulkan bentuk-bentuk kekerasan lain," kata Nenden.
Media pun tak kalah memperparah keadaan. Media, kata Nenden, enteng saja menyebut nama pesohor. Kendati diberi embel-embel 'mirip', tetapi penyebutan nama membuat artis itu terus terikat dengan video tersebut. Pemberitaan bombastis tanpa perspektif korban justru membuat video itu semakin teramplifikasi dan membuat orang penasaran dan mencari tahu. "Itu jadi bahaya juga, bisa jadi makin banyak orang yang men-judge dia."
Penyebaran konten intim non-konsensual tentu berdampak terhadap psikis korban. Pada tahap lebih lanjut, video itu membuat korbannya dipandang berbeda dan seluruh tindak tanduknya di kemudian hari akan dikaitkan dengan video itu. Akibatnya, ruang gerak korban menjadi terbatas.
Lantas apa yang bisa dilakukan jika kasus serupa kembali terulang? Nenden mengatakan jika kita menemukan konten itu itu di media sosial, maka langsunglah laporkan. Jangan membalas, me-retweet, atau menyukai konten itu karena itu akan menyebar semakin luas. Hal itu juga berlaku meskipun kita ingin mengecam video itu dan mengajak orang lain melaporkannya.
"Kemudian ketika kita mendapatkan link-nya, kalau sudah sampai di kamu, ya jangan disebarkan lagi. Setop di kamu. Kalau itu tersebar di grup kasih tahu temen-temannya juga," kata Nenden.
Jika yang menjadi korban adalah orang yang dikenal, Nenden menyarankan untuk menghubungi dan menyatakan simpati.
Staf Khusus Menkominfo Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi mengatakan mereka menemukan satu dari tiga video yang ramai dibicarakan tersebar dalam 202 versi. Ia tersebar di lima platform yakni Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dan Telegram. "S202 itu sebagian besar sudah di-take down," kata Dedy kepada reporter Tirto, Selasa (10/11/2020).
Penghapusan video adalah salah satu upaya pemerintah memberantas konten pornografi. Di hulu, mereka terus menggencarkan literasi digital kepada masyarakat sehingga mampu menyaring konten yang layak dikonsumsi. Sementara di hilir adalah pemidanaan oleh kepolisian.
"Kami bekerja sama dengan mereka untuk memberikan data-data yang diperlukan untuk proses penegakan hukum," kata Dedy.
Sekali Lagi, RUU PKS Urgen
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, sepanjang 2018 tercatat ada 97 laporan kekerasan yang terjadi di dunia maya. Jumlah itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya yakni 65 laporan. Sepanjang Januari-Mei 2020, laporan KBGO melonjak menjadi 354 laporan.
Bentuknya bermacam-macam, mulai ancaman penyebaran foto atau video , dikirimkan foto atau video porno, diminta mengirimkan foto atau video porno atau melakukan panggilan video mesum, eksploitasi seksual, dan lainnya.
Kendati laporannya terus melonjak, tapi negara belum meresponsnya dengan maksimal. Memang, ada Undang-Undang Pornografi atau Undang-Undang ITE, tapi rumusan pasalnya yang mempidanakan semua orang yang terlibat dalam video itu berpotensi juga menghukum korban.
Oleh karena itu Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) makin urgen untuk disahkan. Dalam rancangan beleid itu ada klausul yang menyatakan bahwa korban tidak bisa dijerat balik dengan pemidanaan atau hukuman perdata. Selain itu, RUU PKS juga tak hanya fokus pada penindakan terhadap pelaku tapi juga rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya.
"Karenanya, Komnas Perempuan mengatakan kita harus punya undang-undang yang komprehensif itu," kata Alimatul kepada reporter Tirto, Selasa.
Sejak pertama kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, rancangan beleid yang ditunggu-tunggu para penyintas kekerasan seksual ini tak kunjung disahkan. Hingga akhir masa jabatan DPR 2014-2019, Komisi VIII DPR yang bertugas membahas ini hanya menyepakati tiga bab, yakni pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi. Mereka belum satu suara soal pasal-pasal tentang tindak pidana kekerasan seksual yang juga diatur dalam rancangan KUHP, yaitu pemerkosaan dan pemaksaan.
Masa depan peraturan ini makin suram ketika DPR memutuskan RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino