tirto.id - Satu siang, cuaca di Jakarta terasa lebih panas menyengat dibanding biasanya. Anis, 27 tahun, ibu rumah tangga tampak mengantre di etalase bertuliskan Es Kepal Milo di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Sambil menggendong putranya yang berusia tak lebih dari satu tahun, ia memesan satu porsi Es Kepal Milo yang sempat menjamur di sudut-sudut jalan di Jakarta dan sekitarnya.
Jajanan Es Kepal Milo memang sedang menjadi tren beberapa waktu belakangan ini apalagi saat bulan Puasa. Gerai penjualnya mudah ditemui di pinggir jalan ataupun di gang-gang sempit perumahan. Harga jual pun cukup terjangkau, Rp10 ribu per porsi. Pedagang bisa rata-rata bisa meraup Rp200-400 ribu.
“Kalau sedang ramai, pendapatan sehari bisa sampai Rp300 ribu,” kata Sulis, penjual Es Kepal Milo, Masa Kini, di Kemang Timur kepada Tirto.
Sama hal dengan Sulis, Tika menjual es kepal milo "Es Kepal Galau" di sekolah dasar dan sekolah lanjutan di Jakarta. Ia mengaku dalam sehari rata-rata pendapatannya bisa mencapai Rp400 ribu. Sulis dan Tika hanya potret mikro dari booming bisnis kepal milo di Jakarta dan sekitarnya yang masih beruntung. Di bagian lain, tak jarang gerai-gerai es kepal milo berjatuhan atau gulung tikar.
Ikut-ikutan dan masuk bisnis yang sudah jadi kerumunan tak hanya terjadi di bisnis kepal milo, dahulu ada booming pohon gelombang cinta dan batu akik jadi contoh nyata. Ada beberapa alasan yang mendasari fenomena latah berbisnis semacam ini bisa terjadi.
Pokok pertama yang menyebabkan latah terjadi karena keinginan ikut-ikutan atau mengekor untuk mendapatkan rejeki yang sama dari capaian keberhasilan orang lain.
“Karena memang masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal atau senang dengan sesuatu yang ramai. Satu orang berhasil dengan bisnis tertentu, lantas lainnya ikutan atau latah. Dari dulu sudah seperti itu,” jelas Rhenald Kasali, Pakar Bisnis kepada Tirto.
Penyebab lainnya adalah, kepentingan pemilik modal yang memanfaatkan momen keramaian pasar. Misalnya saja, pemilik modal membuka usaha yang sama di tempat yang berdekatan. Rhenald menurutnya sebagai upaya pemilik modal menangkap keramaian dari berbagai arah. Contoh konkretnya adalah deretan toko pembuatan sepatu di sentra sepatu di Bandung, yang dimiliki oleh segelintir pemodal. Gerai Alfamart dan Indomaret yang jaraknya berdekatan, adalah contoh lain saat pemodal mengepung kota dan desa.
“Ini adalah strategi pemilik modal untuk menciptakan keramaian di daerah itu. Seringnya, ini adalah usaha pemilik modal untuk memperluas jaringan dan keramaian di daerah sekitar,” kata Rhenald.
Pengalaman masyarakat yang baru memulai berwirausaha, jadi pemicu saling jiplak bisnis bisa terjadi terutama di bisnis panganan. Ada anggapan bisnis ini punya peluang berhasil yang tinggi karena keyakinan manusia butuh makan.
Soal keterbatasan modal juga jadi penyebabnya. Bisnis-bisnis yang butuh modal kecil sangat mudah ditiru, karena tak mudah perbankan untuk memberikan pinjaman apalagi itu bisnis rintisan skala kecil. Perbankan akan menilai dari sisi kelayakan usaha untuk mendapatkan pinjaman atau bankable.
Bisnis yang didasarkan pada tren atau ikut-ikutan seringkali melupakan aspek kejenuhan pasar. Padahal bisnis yang mengedepankan keramaian dianalogikan sebagai Red Ocean, yang artinya lautan yang dipenuhi ikan hiu di mana hiu saling berkelahi. Istilahnya, menjalani bisnis yang sedang menjamur ibarat berada di keramaian penuh dengan persaingan.
W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam bukunya berjudul Red Ocean Traps, The Mental Models That Undermine Market-Creating Strategies yang diterbitkan oleh Harvard Business Review Press (2015: 1-2). Ia menuliskan pelaku usaha harus lebih kreatif dalam mengembangkan dan mengeksekusi strategi kompetitif.
“Untuk mencapai keberhasilan jangka panjang, bukan hanya bergantung pada daya saing tetapi juga bergantung kemampuan pengusaha untuk menghasilkan permintaan baru, menciptakan pasar baru serta menangkap peluang pasar yang baru,” tulis W. Chan Kim dan Renee Mauborgne.
Setidaknya ada enam perbedaan strategi bisnis versi Red Ocean. Di antaranya, pelaku usaha bersaing dalam ruang pasar yang ada, pelaku usaha harus berorientasi mengalahkan pesaing, pelaku usaha harus mampu mengeksploitasi permintaan yang ada, pelaku usaha memperhitungkan nilai dari perdagangan, serta pelaku usaha menyelaraskan seluruh sistem kegiatan perusahaan dengan pilihan strategis diferensiasi atau biaya rendah.
Dalam bukunya, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne juga menjelaskan, ada beberapa jebakan yang harus diwaspadai pelaku usaha dalam menjalankan yang sedang tren terlebih karena latah semata. Jebakan pertama adalah pelaku usaha hanya melihat strategi penciptaan pasar yang berorientasi pada pelanggan.
Jika pebisnis terlalu fokus pada pelanggan yang sudah ada, tanpa melakukan penciptaan pasar baru, maka ia terjebak dalam penciptaan pasar yang berorientasi pelanggan. Nah, untuk menjernihkan kembali bisnis yang sudah keruh atau terlalu banyak pesaing, maka pengusaha harus melampaui persaingan usaha.
Untuk meraih peluang keuntungan dan pertumbuhan pasar bisnis baru, pengusaha juga perlu menjernihkan bisnis dengan menciptakan strategi apa yang sering disebut Blue Ocean. W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam buku lainnya berjudul Blue Ocean Strategy How to Create Uncontested Market Space and Make the Competition Irrelevant yang dipublikasi oleh Harvard Business Review Press (2015:7), mengungkapkan perpindahan dari bisnis yang ramai ke bisnis yang sedikit pelaku usahanya akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan laba masing-masing mencapai 62 persen dan 39 persen.
Strategi untuk menjernihkan pasar pasca beralih ke Blue Ocean adalah menciptakan atau membidik ruang pasar yang baru. Upaya membuka pasar baru dengan menerapkan Blue Ocean artinya pelaku usaha dapat menciptakan sekaligus menangkap peluang dan permintaan pasar yang baru. Untuk menciptakan pasar yang baru, ada tiga karakteristik yang mumpuni. Pertama, fokus. Kedua, perbedaan, dan ketiga punya slogan yang menarik.
Dalam penelitian W. Chan Kim dan Renee Mauborgne menemukan pola sistematik untuk penciptaan pasar baru dengan menggunakan enam pendekatan dasar atau yang disebut sebagai kerangka enam jalur. Pertama, melihat industri alternatif. Kedua, melihat kelompok strategis dalam industri.
Ketiga, melihat jauh ke depan rantai konsumen. Keempat, melihat penawaran produk dan layanan komplementer. Kelima, membandingkan orientasi fungsional dan emosional kepada konsumen. Keenam, melihat lintas waktu. Pada akhirnya, fokus Blue Ocean bukan untuk membatasi hasil akhir berupa harga tinggi karena bisnis berbeda dengan tren di luar, melainkan pada penciptaan permintaan baru dan nilai penjualan dengan harga yang juga masih terjangkau.
“Strategi membuka pasar baru ini sekaligus juga dapat mencegah penjiplakan usaha,” tulis W. Chan Kim dan Renee Mauborgne.
Apa yang dikatakan W. Chan Kim dan Renee Mauborgne patut jadi perhatian, terjun di "lautan merah" bukan hal yang dilarang, tapi kreatif menciptakan model bisnis dan pasar baru jadi tantangan dan peluang.
Editor: Suhendra