tirto.id - Pada Senin, 10 Juli 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan yang antara lain mengatur larangan dan sanksi-sanksi terhadap ormas.
Dalam lampiran Perppu yang dapat diunduh di laman resmi Sekretariat Negara, https://www.setneg.go.id, peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas ini mencakup beberapa perubahan substansial. Adapun beberapa perubahan tersebut adalah sebagai berikut.
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan warna, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/ badan internasional menjadi warna, lambang, atau bendera ormas; dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Selain itu, ketentuan Pasal 60 yang mengatur soal sanksi juga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
“Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif,” demkian bunyi perubahan pasal 60 ayat 1.
Sedangkan, pasal 60 ayat (2) menyatakan: “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.”
Dalam Pasal 61 juga dijelaskan adanya sanksi administratif dan sanksi keimigrasian sesuai peraturan perundang-undangan terhadap ormas yang didirikan oleh warga negara asing.
“Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga dikenakan sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 61 ayat (2).
Ormas yang melakukan pelanggaran seperti yang dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), saksi administrasi berdasarkan pasala 61 ayat (1) terdiri atas peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum
Sementara itu, ormas yang melanggar sesuai yang dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2), berdasarkan Pasal 61 ayat (3) akan dikenai sanksi administrasi berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Selanjutnya, dalam Pasal 61 ayat (4) disebutkan bahwa: “Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.”
Beralih ke ketentuan Pasal 62 dalam ayat (1) yang diubah berbunyi: “Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (l) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.”
Namun, bila ormas yang melanggar tidak memamtuhi peringatan tertulis sesuai jangka waktu yang ditentukan, menteri terkait atau Menteri Hukum dan HAM dapat memberi sanksi untuk menghentikan aksi.
“Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan,” demikian bunyi perubahan pasal 62 ayat (2).
Bila ormas yang melanggar tidak mematuhi sanksi penghentian, menteri terkait dan Menteri Hukum dan HAM dapat mencabut status badan hukumnya. Dengan begitu, menurut Perppu ini, ormas yang dicabut badan hukumnya sekaligus dinyatakan dibubarkan.
“Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum,” bunyi pasal 62 ayat (3).
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari