tirto.id - “Alih-alih pergi ke perpustakaan untuk mencari informasi,” tulis Jan Brophy dalam "Is Google Enough?", “kini kita memilih mencari informasi dengan hanya beberapa klik dan sentuhan tut keyboard (menggunakan Google).”
Kalimat Jan itu bisa menggambarkan bagaimana proses pencarian informasi di era kiwari, dan bagaimana Google mulai menggeser buku dalam bentuk fisik sebagai pusat informasi. Google adalah mesin pencari yang dapat digunakan untuk mencari informasi di lebih dari 1,9 miliar situsweb di jagat maya, dan digunakan oleh lebih dari 90,4 persen pengguna internet dunia. Keperkasaan Google di jagat pencarian bermula kala Larry Page dan Sergey Brin, bertemu pada 1995 silam di Stanford University.
Page dan Brin tidak selalu seia sekata. Sebagai kawan baru, mereka sering bersilang pendapat. Untungnya, kesamaan visi mereka lebih besar ketimbang perbedaan pendapat. Karena sama-sama ingin menciptakan sistem yang sanggup menghasilkan informasi relevan, keduanya sepakat membangun mesin pencarian. Siang-malam, bekerja di kamar asrama Stanford University, mereka akhirnya melahirkan Backrub, sebuah mesin pencari.
Nama Backrub tidak berumur lama. Brin dan Page memilih menggunakan nama Google, kata yang berakar dari googol, alias “ekspresi matematis dari 10 pangkat 100 dan merepresentasikan tujuan menciptakan mesin pencari skala besar." Dalam paper “The Anatomy of a Large-Scale Hypertextual Web Search Engine” yang ditulis oleh keduanya, Google dirancang untuk menjaring dan mengindeks situsweb secara efisien. Keefisienan diperlukan karena menurut mereka telah terjadi peningkatan signifikan dalam dunia mesin pencari, khususnya saat Google belum lahir. Pada 1994, World Wide Web Worm (WWWW), salah satu mesin pencari awal, mengklaim telah mendata 110 ribu laman web. Tiga tahun berselang, mesin pencari telah mengindeks 2 juta laman.
Selain efisiensi, Google dirancang dengan teknologi baru: PageRank. Melansir makalah bikinan Page dan Brin yang diterbitkan pada 1998 itu, PageRank merupakan algoritma yang bertujuan memprioritaskan suatu laman web dibandingkan laman web lain. PageRank, mengukur seberapa objektif dan relevan link yang ditautkan oleh suatu laman. Makin objektif dan relevan, makin besar kemungkinan suatu laman web nangkring di posisi atas hasil pencarian. Guna membuat PageRank bekerja baik, Page dan Brin melakukan riset atas 518 juta laman web.
Efisiensi dan relevansi hasil pencarian Google ala PageRank ternyata moncer. Pada 1999, di salah satu edisinya, majalah Time menyatakan Google masuk 10 besar “best cybertech of the year,” dengan alasan “Google sukses membuat pencarian jadi sederhana”.
Sebelum Google Tiba
Secara resmi, Google lahir pada 4 September 1998, alias tepat hari ini dua puluh tahun lampau. Kala itu, selepas menerima cek senilai $100 ribu dari Andy Bechtolsheim, co-founder Sun Microsystems, Page dan Brin mendaftarkan Google sebagai perusahaan resmi. Tiga hari berselang, pada 7 September 1998, Google memperoleh “akta lahir” dari otoritas setempat. Enam tahun berselang, pada 19 Agustus 2004, Google melakukan penawaran saham perdana (IPO) dengan menjual 19,6 juta lembar saham, yang harga per sahamnya dipatok di angka 85 dolar. Atas aksi korporasi itu Google memperoleh dana segar senilai $1,7 miliar.
Kesuksesan Google, selain berkat inovasi yang dilahirkannya, terjadi lantaran dunia mesin pencari pra-Google masihlah buruk. Kevin Anderson, Digital Research Editor The Guardian, dalam salah satu tulisannya mengatakan secara tersirat bahwa sebelum Google lahir mesin pencari yang ada saat itu umumnya menghasilkan hasil pencarian yang tidak relevan. Namun, meskipun kurang baik, mesin pencari diperlukan. Salah satu indikatornya, “selama dekade 1990an, lalu-lintas internet meningkat tak kurang 100 persen tiap tahunnya [...] Pengguna internet dunia membutuhkan cara terbaik mencari apa yang mereka perlukan dari dunia maya,” tulis Anderson.
Beberapa layanan mesin pencari yang populer digunakan sebelum masuk era Google ialah Yahoo! dan AltaVista. Pada 1994, David Filo dan Jerry Yang, mahasiswa Stanford University, menciptakan Yahoo!. AltaVista, mesin pencari buatan Digital Equipment Corporation, lahir tak lama setelah Yahoo.
Berbeda dengan konsep mesin pencari, Yahoo lebih merupakan direktori online atas situsweb yang ada di jagat maya. Guna menemukan situsweb yang tepat, pengguna Yahoo harus memilah-milahnya sendiri, membutuhkan waktu yang tak sebentar. Sedangkan AltaVista hadir dengan konsep yang hampir serupa Google hari ini: mencari informasi dengan mengetikkan kata kunci di kolom pencarian. Keduanya cukup canggih kala itu. Namun, Anderson menyatakan bahwa hasil pencarian yang disuguhkan “menghasilkan ratusan hasil yang tidak relevan.”
Mesin pencari tak identik dengan dunia World Wide Web (WWW) yang baru lahir pada 1993. Di awal kemunculan internet, pada 1990 lahir Archie, mesin pencari buatan Alan Emtage, mahasiswa McGill University Montreal. Tak sama seperti Google, Arcie merupakan mesin pencari nama file dalam jaringan internet. Kata kunci yang diketik akan dimunculkan sebagai hasil pencarian jika sama dengan nama file yang ada dalam jaringan internet. Kata atau kalimat yang ada di dalam file, tak bisa ditemukan Arcie.
Perlahan, Google menambah layanan bagi masyarakat dunia maya. Pada April 2004, Google meluncurkan layanan surat elektronik, Gmail. Di bulan Februari 2005, mereka merilis Google Maps. Menyusul kemudian merilis Youtube yang dibeli senilai 1,6 miliar dolar (November 2006), serta Chrome dan Android (September 2008).
Layanan-layanan yang berbeda jenis itu sukses. Gmail, mengutip Statista, memperoleh pangsa pasar sebesar 27 persen sebagai email client terunggul, unggul jauh dibandingkan saingannya, Yahoo Mail, yang hanya punya 1 persen pangsa pasar. Google Maps, di Amerika Serikat, digunakan 154 juta pengguna aktif bulanan. Youtube, media sosial berbasis video, memiliki 1,8 miliar pengguna aktif bulanan. Chrome maupun Android, jadi pemimpin pasar di masing-masing segmen. Meski demikian, banyak pula produk Google yang gagal. Misal Google Buzz, Google Catalogs, hingga Google Video.
Layanan yang disediakan oleh Google juga menghasilkan keuntungan tak langsung. Ambil contoh di dunia ride-sharing di Indonesia: Go-jek. Setiap hari, perusahaan yang didirikan oleh Nadiem Makarim ini memproses 100 juta transaksi (Go-Ride, Go-Car, Go-Food, dll). Layanan Google Maps yang digunakan Go-Jek ini tidak gratis. Selepas mencapai 25 ribu mapviews tiap hari, Google mematok tarif 7 dolar setiap 1.000 tambahan permintaan mapview.
Artinya, jika klaim Go-Jek memproses 100 juta transaksi benar, Go-Jek harus membayar Google sebesar 69.982,5 dolar atau lebih dari Rp1 miliar per hari. Angka itu hanya perkiraan semata, sebab satu transaksi tak sama dengan satu permintaan mapview. Memesan Go-Ride untuk mengantar pengguna dari Kemang ke Margonda misalnya, ada permintaan mapview untuk nama lokasi, menghitung jarak, hingga pemilihan rute. Angka aslinya bisa lebih besar dari hanya semiliar.
Ini baru Go-Jek, belum Grab, Uber, Lyft, Didi Chuxing, Olla, dan segala layanan ride-sharing yang memanfaatkan Google Maps. Google memang tak membikin aplikasi ride-sharing sendiri. Namun memiliki layanan yang jadi salah mesin kunci aplikasi ride-sharing cukup membuat Google bisa mengeruk keuntungan dari segmen tersebut.
Google, yang bermula dari kamar asrama Stanford University, jadi perusahaan raksasa penguasa dunia maya.
Editor: Nuran Wibisono