Menuju konten utama

Lagu Lama Perdebatan Ambang Batas Parlemen

Penerapan aturan ambang batas parlemen yang diberlakukan pada Pemilu 2009 dan 2014 cukup efektif mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Bagaimana dengan revisi UU Pemilu yang sedang digodok di DPR?

Lagu Lama Perdebatan Ambang Batas Parlemen
Ilustrasi. Anggota DPR mengikuti sidang paripurna. Antara Foto/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Rabu 8 Februari 2017, Pansus RUU Pemilu menggelar rapat dengar pendapat dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Idaman, Perindo, dan Partai Berkarya, di Gedung DPR, Jakarta. Keempat partai baru itu diminta untuk memberikan masukan terkait revisi UU Pemilu yang sedang digodok antara legislatif dan pemerintah.

Salah satu fokus yang dibahas dalam pertemuan itu adalah soal ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dan syarat presidential threshold. Dalam rapat dengar pendapat tersebut, empat partai anyar itu satu suara agar aturan “presidential threshold” dihapus. Mereka beralasan ketentuan itu berpotensi melanggar konstitusi.

Ketua Umum PSI Grace Natalie mengatakan jika RUU Pemilu menyetujui syarat presidential threshold, maka tidak semua parpol dapat mengusulkan calon. Padahal, lanjut Grace, UUD mengatur bahwa partai atau gabungan partai bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.

Dengan pertimbangan itu, maka PSI tegas menolak adanya syarat presidential threshold. “Jika calon presiden lebih banyak, dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memilih,” ujarnya.

Hal yang sama juga ditegaskan Ketua Umum Partai Berkarya, Neneng A Tutty. Menurut dia, kalau partai-partai baru tidak boleh mengusulkan calon presiden, maka tidak dapat menyalurkan aspirasi pemilihnya. Karena itu, partai yang ikut dibidani Tommy Soeharto ini menolak adanya ambang batas perolehan suara untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Meskipun keempat partai baru kompak menolak syarat presidential threshold, akan tetapi mereka tidak satu suara soal ketentuan ambang batas parlemen. Dari keempat partai baru tersebut, hanya Partai Berkarya yang secara tegas menolak ketentuan tersebut. Sedangkan PSI, Partai Idaman, dan Perindo memiliki pendapatnya sendiri-sendiri.

Partai Idaman setuju dengan adanya ketentuan ambang batas parlemen. Partai besutan Rhoma Irama itu mengusulkan agar ambang batas parlemen antara 0 hingga 3,5 persen. Sedangkan PSI memiliki pendapat lain. Menurut Grace, partainya dapat menyepakati usulan syarat ambang batas parlemen asalkan komitmen dan tujuannya jelas.

Akan tetapi, jika tujuannya hanya untuk penyederhanaan sistem kepartaian, maka PSI mengusulkan sistem fraksi threshold daripada parliamentary threshold. Grace menilai, dengan menerapkan syarat fraksi threshold, maka jumlah fraksi di parlemen menjadi sedikit, tetapi partai-partai peserta pemilu tetap terakomodasi.

Pro-kontra soal ketentuan syarat ambang batas parlemen dan presidential threshold bukan saja muncul saat keempat partai baru diundang ke DPR. Sebelumnya, sepuluh partai politik yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2014 pun meributkan soal ketentuan ini. Hal tersebut terlihat dari sejumlah usulan yang masuk ke Pansus RUU Pemilu.

Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan setidaknya ada lima alternatif untuk usulan ambang batas parlemen yang dipertimbangkan. Lima opsi ini muncul setelah masing-masing fraksi menyampaikan pandangannya.

“Kalau fraksi mayoritas mengatakan tidak (tidak perlu parliamentary treshold), maka akan banyak partai politik yang masuk parlemen. Sementara kalau banyak yang menginginkan PT (parliamentary treshold), maka tinggal dipilih opsi jumlah PT yaitu 3,5 persen, 5 persen, 7 persen atau 10 persen,” ujarnya.

Sementara berkaitan dengan ambang batas partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden, menurut Lukman, ada fraksi yang mengusulkan jumlahnya 0 persen. Usulan ini bisa saja diterima asalkan dikemukakan alasan yang kuat. Misalnya, ada landasan konstitusional di putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 tahun 2016.

“Kami sudah berkonsultasi ke MK terkait putusan tersebut, namun mereka tidak mau menjawab karena diserahkan pada pembuat UU,” ujarnya.

Infografik Parlemen

Menyederhanakan Jumlah Parpol

Salah satu tujuan pemberlakuan ambang batas parlemen adalah untuk menciptakan sistem multipartai sederhana. Hanta Yuda dalam buku Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (2010) menulis bahwa parlementary treshold merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai untuk mendapatkan kursi di parlemen.

Aturan tersebut mulai diterapkan pada Pemilu 2009. Sedangkan pada Pemilu 2004 yang diberlakukan bukan parlementary treshold, melainkan electoral threshold atau ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.

Pengalaman pada Pemilu 2004 dengan memberlakukan electoral threshold ternyata tidak efektif untuk menyederhanakan partai. Hal ini dikarenakan para pemimpin partai yang tidak lolos electoral threshold masih bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya. Hanta mengatakan, electoral threshold tidak memiliki implikasi terhadap penyederhanaan kekuatan politik di parlemen.

Dalam konteks logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah parpol peserta pemilu yang harus dibatasi, tapi jumlah ideal kekuatan parpol yang perlu diberdayakan dan dirampingkan di parlemen. Karena dalam praktik politik keseharian, pemerintah berhadapan dengan partai politik yang berada di parlemen, bukan seluruh partai peserta pemilu.

Karena itu, penerapan aturan ambang batas parlemen jauh lebih efektif ketimbang penerapan electoral threshold. Menurut Hanta, parlementary treshold lebih efektif mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu, karena lebih jelas konsekuensi politiknya.

Misalnya, partai politik yang tidak mampu mencapai ambang batas yang telah ditetapkan, maka tidak boleh mengirimkan wakilnya di parlemen. Hal ini dapat dilihat dari gelaran Pemilu 2009, di mana dari 38 partai politik yang menjadi peserta pemilu hanya sembilan yang lolos ketentuan ambang batas parlemen 2,5 persen, yaitu: Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Hal ini juga terjadi pada Pemilu 2014 yang diikuti oleh 12 partai, dan yang lolos aturan ambang batas parlemen 3,5 persen hanya sepuluh partai.

Selain menerapkan aturan ambang batas parlemen, upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian juga dilakukan dengan mengecilkan alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan. Nico Handani Siahaan dalam “Formula Penyederhanaan Jumlah Partai Politik di Parlemen Pada Pemilihan Umum Indonesia” di Jurnal Politika (Vol. 7, No.1, April 2016) menulis bahwa tujuan penyederhanaan jumlah parpol tidak hanya terfokus pada pendirian partai, tapi juga pada saat parpol akan memasuki parlemen.

Hal tersebut dikarenakan hanya parpol di parlemen yang memiliki kekuasaan legislasi untuk membuat perundang-undangan. Untuk lolos ke parlemen, parpol harus mampu melewati angka ambang batas yang telah ditentukan secara politik dalam UU Pemilu.

Selain itu, parpol juga harus bersaing di daerah pemilihan untuk mendapatkan kursi. Pada pemilu 2004, misalnya, alokasi kursi di dapil sebesar 3-12 kursi. Lalu, pada pemilu 2009 dan pemilu 2014 alokasi kursi di dapil dikecilkan menjadi 3-10 kursi saja.

Alokasi kursi yang semakin kecil pada setiap daerah pemilihan juga membentuk sistem kepartaian yang lebih efektif. Sehingga hanya partai politik yang memiliki basis dukungan yang besar pada daerah pemilihan yang akan mendapatkan kursi. Semakin sedikit jumlah partai peserta pemilu, maka angka ambang batas alamiah juga semakin tinggi.

Maka tak heran jika persoalan ambang batas parlemen selalu marak diperbincangkan setiap ada kesempatan merevisi UU Pemilu.

Baca juga artikel terkait PARLEMENTARY THRESHOLD atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS