Menuju konten utama

Lagu Islami, dari Qasidah ke Religi

Band Noah mengaransemen ulang lagu "Sajadah Panjang", lagu lawas dari Bimbo, lagu yang pada masanya disebut sebagai 'qasidah modern', meski kini mendapat label 'lagu religi'.

Lagu Islami, dari Qasidah ke Religi
Slank merilis album religi perdana mereka bertajuk "D.O.A" yang berisi 16 lagu bernuansa religi berbalut aransemen musik "rock n roll". [Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso]

tirto.id - “Hamawi ya mismis, hamawi ya mismis...” Enny menyanyikan lagu yang menurutnya adalah pionir lagu Islami di Indonesia. Satu larik, ya satu larik, karena hanya kalimat inilah yang dia hafal dari berbaris-baris lirik berbahasa Arab itu.

“Nama penyanyinya Rofiqoh Darto Wahab. Arab bukan, ya? Arab kayaknya. Bahasa Arabnya bagus banget,” katanya. Pensiunan pegawai negeri di Bandung ini tak hafal semua liriknya karena berbahasa Arab, tapi ia ingat lagu itu sangat terkenal pada dekade 60-an.

Rofiqoh Darto Wahab adalah penyanyi terkenal di zamannya. Begitu pula lagu berjudul "Hamawi Ya Mismis." Bahasa Arabnya terdengar nyaris sempurna, terutama bagi mereka yang bukan penutur asli. Tapi, itu bukan karena Rofiqoh berdarah Arab. Dia orang Jawa yang terlatih berbahasa Arab karena bertahun-tahun jadi santri dan menjadi qariah.

Rofiqoh dan Qasidah

Ryu Hasan, seorang dokter bedah yang besar sebagai santri, menyebut Rofiqoh sebagai pelopor qasidah modern. Ryu menyebutnya modern, karena pada 1964 itu, musik Rofiqoh “mulai menggunakan alat-alat musik keyboard, gitar elektrik, dan bass elektrik,” cuit Ryu.

Kepada Tirto.id, Ryu bercerita ia mendengar lagu-lagu Rofiqoh "sejak saya mulai ingat. Saat saya umur 2,5 tahun.” Bekas cantrik di berbagai pesantren selama 16 tahun ini juga mengingat lagu Rofiqoh lain, misalnya “Ashabal Waktu.” Tak sebatas Rofiqoh, di bawah kelompok orkes gambus Al Fata juga ada Ellya Khadam, penyanyi dangdut yang terkenal dengan lagu “Boneka dari India”.

“Lagu Ellya yang saya ingat, 'Alaika Salamullah' dan 'Daiman Tajri',” kata Ryu. “Diana Yusuf [lagunya berjudul] 'Insan Dunia'.”

Langgam gambus yang dibawakan kelompok orkes Al Fata sesungguhnya sudah populer sejak beberapa dekade sebelumnya saat Sech Albar, ayah Ahmad Albar, pada era 1930an merekam lagu-lagu Arab. “Format [album fisik]nya gramofon,” kata Budi Warsito, pengarsip musik, saat menjelaskan album Sech Albar.

Di masa pemerintahan Hindia Belanda itu, lagu-lagu Albar kerap diputar di radio-radio Surabaya. Tapi, meski berbahasa Arab, lagu-lagunya bukanlah lagu religius. Pada cakram gramofon tertera keterangan: Arabic Waltz.

Untuk beberapa dekade, musik orkes gambus dan orkes melayu cukup populer. Apalagi, lanjut Budi, pada 1960an Presiden Soekarno melarang “musik ngak ngik ngok.” Di tengah tren itulah kelompok Al Fata bersama Rofiqoh dan Ellya dan Diana muncul. Mereka berhasil membuat ceruk dengan musik gambusnya yang Islami.

Dakwah dari Si Raja Dangdut

Kira-kira satu dekade sejak popularitas Rofiqoh, muncul Rhoma Irama dengan Soneta-nya. Rhoma—nama aslinya Oma—menginovasi orkes Melayu menjadi dangdut yang khas. “Dari orkes Melayu, rock ‘n’ roll, musik film India, dan hard rock, ia menjadikan dangdut sebagai instrumen untuk perubahan,” tulis Andrew Weintraub dalam buku Dangdut Stories (2010), tentang Rhoma.

Dengarlah lirik-lirik lagunya. “Dulu aku suka padamu, dulu aku memang suka, […] Sekarang ku tak tak sudi tak sudi tak.” Jangan salah sangka, di lagu itu, Bang Haji menyanyi tentang minuman keras, bukan soal mantan pacar.

Ada pula lagu tentang judi, yang menurut Rhoma “kalaupun kau menang, itu awal dari kekalahan. Kalaupun kau kaya, itu awal dari kemiskinan.” Adalah pengetahuan umum bahwa judi dan minuman keras merupakan hal terlarang bagi Muslim, tapi Rhoma mampu mengemasnya dengan lirik yang persuasif dan aransemen yang memikat bagi banyak orang. Kasetnya selalu laku. Situs berita hiburan kapanlagi.com pernah menulis, kaset Rhoma Irama sejeblok-jebloknya terjual 400 ribu kopi.

Saat itu, Indonesia cukup sekuler. Identitas Islam macam khimar-jilbab-hijab tak nampak di masa itu. Bahkan, sapaan “Assalamualaikum” yang selalu disampaikan Rhoma saat manggung pun bukan keumuman, bisa dibilang tindakan revolusioner.

Selain dakwah, Rhoma juga punya lagu sosial-politik. Kontan, ia mendapat hadiah dari pemerintahan Orde Baru: tak boleh tampil di TVRI. Tapi kemudian Rhoma toh meninggalkan partai Islami, Partai Persatuan Pembangunan, dan menyeberang ke Golongan Karya (Golkar).

Pop Islami ala Bimbo

Di periode yang hampir sama, trio kakak-beradik-Hardjakusumah dari Bandung yang sudah nge-band dengan gaya harmonisasi vokal ala Everly Brothers dan Bee Gees, juga merilis lagu religius. Lagu dari Bimbo itu berjudul “Tuhan.”

Dari orkes gambus ala Rofiqoh, Bimbo mengenalkan lagu Islami beraliran pop. “Mungkin itu juga yg membuat Bimbo lebih diminati atau lebih laku. Irama gambus dulu terkesan musiknya kelas menengah ke bawah. [Sedangkan] Bimbo kan sudah moncer dengan lagu-lagu popnya yang laku di kalangan menegah ke atas,” Ryu Hasan mengira-ngira.

Meski sudah terkenal sebagai pembawa lagu-lagu pop biasa, citra sebagai band yang membawakan lagu-lagu qasidah modern jadi melekat pada trio yang kelak jadi quartet—karena ditambahi satu saudarinya:Iin Parlina—ini. Orang kemudian lebih mengenal “Tuhan,” “Sajadah Panjang,” juga “Rindu Rasul,” yang sebagian liriknya adalah karya penyair terkenal Taufiq Ismail, dibanding “Melati dari Jayagiri” atau “Adinda” misalnya.

Saat berbincang soal Bimbo, Budi Warsito mengingatkan bahwa Koes Plus, band tenar era 1960-70an, juga pernah membuat album qasidah. “Judulnya Qasidahan bersama Koes Plus, tahun 1974,” kata Budi. “Tapi, mereka juga pernah merilis album Natal.”

Bagaimana mungkin? Pada kenyataannya, Koes Plus memang merilis keduanya. “Ya intinya dulu sih kayaknya lebih nyantai ya soal beginian. Mungkin mereka lebih melihatnya sebagai musik hiburan, bukan musik dakwah,” lanjut Budi.

Tak hanya dua kelompok pop itu, band rock AKA dari Surabaya juga membuat lagu Islami. “AKA yg terkenal gahar di panggung eeh mendadak merilis album qasidah.” Padahal, sambung Budi, “dua personelnya nonmuslim.” Mirip Koes Plus yang kebanyakan personilnya bukan penganut Islam.

Model produksi musik seperti inilah yang kelak ditiru musikus-musikus pop yang lebih kini. Sebagai rutinitas, satu band bisa memproduksi album soal cinta yang kandas, pengkhianatan, mengingat bekas kekasih, dan seterusnya, dan di musim Ramadan mereka merilis lagu-lagu Islami.

Nasida Ria, Qasidah Muslimah nan Meriah

Pada 1975, kelompok qasidah beranggotakan 9 perempuan terbentuk di Semarang. Mereka memainkan alat musik keyboards, gitar listrik, biola, tamborin, perkusi. Tak seperti Bimbo, Rhoma Irama, atau Koes Plus, Nasida Ria khusus memproduksi lagu-lagu Islami. Mereka pun mengenakan pakaian muslimah lengkap dengan kerudung, meski warnanya cukup 'meriah', lain dengan gaya muslimah Arab yang relatif monoton.

Lagu-lagu mereka sangat populer, termasuk rilisan tahun 1980an berjudul “Perdamaian” yang kelak menjadi hits lagi saat dibawakan oleh grup band GIGI. Hingga kini, Nasida Ria masih berkarya, meski sebagian anggotanya diganti karena uzur dan meninggal dunia.

Sejak 1978 sampai 2011, Nasida Ria sudah memproduksi 34 album, dengan tema-tema sosial-keagamaan, juga keadilan. Meski berangkat dari latar belakang dan penampilan yang partikular Islam, lirik mereka sebagian cukup universal. Lirik-liriknya bisa disebut dakwah yang dimampatkan ke dalam lagu, mulai nasihat tentang anak, sampai seruan perdamaian untuk Palestina.

Istilah Masa Kini: Lagu Religi

Pada penghujung masa Soeharto, lagu islami semakin populer. Banyak penyanyi pop merilis lagu Islam. Bimbo tak melenggang di pasar sendirian. Ada Novia Kolopaking dan Chrisye di antaranya. Setelah Soeharto jatuh, identitas Islam makin menguat. Kelompok nasyid semacam Rabbani dari Malaysia yang formatnya acapella pun populer di Indonesia.

Lalu muncul Haddad Alwi pada 1999. Ia mengeluarkan album shalawat dan meledak di pasaran. Rofiqoh, Bimbo, Rhoma Irama, atau Nasida Ria, semua lewat. “Yang pasti sangat fenomenal adalah kemunculan Haddad Alwi dengan angka penjualan mencapai 2,5 juta kopi ketika berduet bersama Sulis di album Cinta Rasul," kata pengamat musik Bens Leo, seperti dikutip Antara.

Uniknya, pasca-Haddad, kita menemukan istilah baru: lagu religi. Yang tadinya semua disebut qasidah—termasuk Bimbo yang tak memakai instrumen rebana—kini disebut lagu religi.

Termasuk saat muncul “pemain baru”, Opick: bekas vokalis band rock Timor. Ia melepas album berjudul Istighfar yang sejak 2005 sudah laku ratusan ribu kopi. Di dalam album ini, Opick berkolaborasi dengan penceramah cum pesohor (almarhum) Jeffry Al Buchori pada lagu "Ya Robbana", serta Gito Rollies dalam lagu "Cukup Bagiku".

Grup band GIGI lalu membuat ulang lagu milik Nasida Ria, “Perdamaian” yang kemudian menjadi hits lagi. Tak cukup di situ, mereka membuat single lain: “Pintu Sorga.”

Ryu Hasan, yang bisa menikmati lagu-lagu Islami lawas, menyebut album-album pasca-Soeharto kurang variatif. “Liriknya banyak pengulangan, misalnya 'Umiiii Umiiiii' atau 'Insyaallah, Insyaallah',” kata Ryu. Begitu pula nada yang dipakai. Rata-rata memakai nada-nada yang sudah akrab.

“Coba aja bandingkan 'pintu sorga pintu sorga...' dengan 'Bang Toyiiib, Bang Boyiiib',” sambungnya.

Tapi, lagu religi banyak diminati. Album Raihlah Kemenangan yang dirilis GIGI pada 2004 dan 2005 terjual lebih dari 300 ribu kopi. Tak hanya GIGI, ada Ungu dan Wali yang juga melepas album-album Islami, meski setelah era digital mereka tak bisa mengandalkan penjualan album fisik.

Lepas dari sepinya penjualan album fisik, band-band semacam Gigi, Ungu, atau Wali banyak diundang untuk mengisi acara keagamaan. Apalagi di bulan Ramadan. Mereka panen pertunjukan.

Tren ini tak akan surut, setidaknya jika melihat band paling populer, Noah, pada tahun ini juga mengaransemen ulang dan membawakan lagu “Sajadah Panjang”, lagu lawas Bimbo. “Sajadah Panjang” mungkin tak (akan) membuat album yang menyertakannya terjual dengan angka yang hebat, tapi Anda mendengar lagu ini diputar di mal-mal dan pertokoan pada bulan Ramadan.

Anda juga bisa menyimak Ariel, sang vokalis yang banyak dipuja tapi sekaligus dicaci untuk perkara mahapenting—bagi orang Indonesia—bernama susila, menyanyikan larik-larik ini dengan khidmat di layar-layar kaca:

Mencari rezeki mencari ilmu

Mengukur jalanan seharian

Begitu terdengar suara adzan

Kembali tersungkur hamba.

Baca juga artikel terkait MUSIK atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Musik
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti