tirto.id - Sudharnoto adalah seorang komponis yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia menguasai berbagai alat musik, antara lain, suling, gitar dan biola. Bakat itu diperolehnya dari sang ibu yang merupakan pemain akordion.
Ia juga pernah tergabung dalam Orkes Hawaiian Indonesia Muda dan ikut mengisi siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Pada 1952, ia mulai bekerja di RRI Jakarta dan sempat menjabat sebagai kepala Seksi Musik dan pengisi acara tetap Hammond Organ Sudharnoto.
Banyak lagu yang telah diciptakannya, antara lain. “Asia-Afrika Bersatu”, “Dunia Milik Kita”, “Bunga Sakura”, bahkan ia juga yang menggubah “Mars Pancasila” yang kini dikenal sebagai lagu “Garuda Pancasila”. Lagu ini diciptakan tahun 1956.
Pascameletusnya tragedi 1965, seluruh anggota Lekra diburu, ditangkap, ditahan serta dibunuh tanpa melalui proses pengadilan. Sudharnoto tidak luput dari peristiwa itu. Ia ikut dijebloskan di Rumah Tahanan Salemba.
Akibat peristiwa itu, Sudharnoto kehilangan pekerjaannya. Sekeluarnya dari penjara, ia menjadi penyalur es, sopir taksi dan sopir di Bank Indonesia. Ia juga menjadi pianis di sebuah restoran dan di hotel di Jakarta.
Album Dunia Milik Kita
Tragedi 1965 begitu membekas dalam ingatan para tahanan politik, kejadian itu mereka abadikan melalui lagu. Sayangnya, tidak semua lagu berhasil didokumentasikan. Hal ini disebabkan karena memudarnya ingatan para tapol terhadap lagu yang pernah mereka ciptakan.
“Dunia Milik Kita” adalah album perdana milik Paduan Suara Dialita yang berisikan lagu-lagu ciptaan para komponis penyintas tahanan politik 1965 selama berada di penjara pengasingan. Salah satunya adalah karya Sudharnoto.
Dialita, adalah akronim dari Di Atas Lima Puluh Tahun, sebuah paduan suara yang terdiri dari perempuan yang peduli terhadap korban kekerasan sejarah 1965. Dua diantaranya, Utati (Istri Koesalah Toer) dan Mudjiati bahkan sempat ditahan di Bukit Duri selama kurang lebih 10 tahun.
Penelusuran lagu-lagu itu dilakukan Utati dan rekan-rekannya sejak tahun 2005. Tujuannya adalah agar sejarah kelam yang pernah terjadi saat itu tidak menghilang begitu saja.
Usaha itu tidak semudah yang dibayangkan, hal tersebut disebabkan karena memudarnya ingatan para eks tapol terhadap lagu-lagu yang pernah mereka ciptakan. Hal itu memang rentan terjadi, mengingat kondisi para tahanan saat itu yang tidak boleh membawa alat tulis, sehingga satu-satunya cara merekam lagu itu adalah dengan cara mengingatnya.
Selain itu, kendala lainnya adalah susahnya mendeteksi keberadaan para eks tapol yang kini tidak diketahui keberadaannya. Untuk itu, lagu-lagu yang berhasil dikumpulkan Dialita adalah lagu yang berhasil diingat oleh Utati dan teman-temannya. Sebagian lagu itu berasal dari mereka yang pernah mendekam di Penjara Bukit Duri, Plantungan, Salemba, dan Ambarawa.
Berangkat dari hal itulah, pada 17 Agustus 2016 lalu, label independen yang berbasis di Yogyakarta, Yes No Wave bekerja sama dengan Indonesian Visual Art Archive merilis album bertajuk “Dunia Milik Kita”, sebagai upaya mendokumentasikan karya-karya para tahanan politik.
Proses penggarapan album ini juga melibatkan beberapa musisi muda lintas generasi, seperti Frau, Sisir Tanah, Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Nadya Hatta & Prihatmoko Catur, Kroncongan Agawe Santosa dan Lintang Radittya.
Ada 10 lagu di dalamnya, antara lain, “Ujian”, “Salam Harapan”, “Taman Bunga Plantungan”, “Lagu Untuk Anakku”, dan “Kupandang Langit”. Sementara lagu "Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu", "Viva Ganefo", "Padi untuk India" dan "Asia-Afrika Bersatu" diciptakan para tapol sebelum ditangkap.
Lagu “Ujian” diciptakan seorang guru bernama Siti Jus Djubariah di dalam penjara Bukit Duri, Jakarta. Ia ditangkap pada tahun 1965 hingga tahun 1971. Memasuki pertengahan 1971, ia pun dikirim ke Plantungan bersama puluhan tahanan lainnya dan sempat dipindahkan ke penjara di Bulu, Semarang. Ia dibebaskan pada 1978.
Sedangkan lagu “Salam Harapan” diciptakan Ibu Zubaedah Nungtjik, sebagai bentuk persembahan kepada sesama tahanan politik yang sedang berulang tahun. Lagu itu juga ditulis di penjara Bukit Duri, Jakarta.
Sementara lagu "Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu" diciptakan oleh Putu Oka Sukanta (lirik) dan M. Karatem (lagu dan musik) pada 1964 dan lagu itu juga sempat menjadi lagu wajib Lomba Seriosa oleh RRI Pusat pada 1965 dan 1967.
Lagu “Kupandang Langit” diciptakan oleh Koesalah Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer di rumah tahanan Salemba, Jakarta. Lagu itu terinspirasi dari pohon Kiara yang rindang di rumah tahanan itu.
Lagu-lagu yang Tercipta di Penjara
Selain “Dunia Milik Kita”, karya musik lain yang pernah diciptakan di penjara adalah album “I Have No Everything Here”. Bedanya album ini diciptakan oleh sekelompok narapidana dari penjara Zomba, Afrika bagian selatan yang menjalani hukuman seumur hidup karena pembunuhan dan pencurian. Album ini berhasil dinominasikan dalam kategori World Music terbaik di ajang Grammy Award pada 2016 lalu.
Grup musik bernama, Zomba Prison Band itu merekam albumnya di penjara Zomba pada musim panas 2013 lalu dan ditulis oleh 16 narapidana. Ini adalah album pertama dari Malawi yang dinominasikan ke dalam Grammy.
Setelah berita masuknya album tersebut ke dalam nominasi Grammy. Penjara Zomba banyak diliput oleh pers di seluruh dunia dan mendapatkan pujian positif. Album tersebut dinilai mewakili suara kelompok sosial yang kurang terwakili.
"Saya terkejut. Benar-benar terkejut,” kata Ian Brennan, yang memproduksi album itu kepada The Guardian.
Ia mengaku mengerjakan album tersebut memiliki tantangan tersendiri karena sulitnya mendapatkan akses masuk ke penjara. Brennan dan istrinya, Marilena Delli harus berjuang mendapatkan kepercayaan dari para tahanan dan komisaris penjara.
"Kami mengirim jutaan lembar dokumen," kata Brennan
Brennan menambahkan, sebelumnya belasan pria di penjara itu sudah membentuk band, dan telah disediakan ruangan kecil untuk berlatih musik dan di situlah Brennan mendirikan studio rekaman seadanya.
Selain Zomba, penjara lain yang pernah membuat proyek yang sama adalah Lembaga Pemasyarakatan Lee, Carolina Selatan, Amerika Serikat. Para narapidana itu dibantu oleh tiga musisi dari sebuah organisasi nirbala, Decoda.
Claire Bryant, seorang pemain cello sekaligus anggota organisasi Decoda, mengaku telah melakukan hal tersebut sejak 2014 lalu. Ia melatih para narapidana di rumah tahanan yang dihuni sekitar 1.500 narapidana yang terkenal paling kejam itu. Dia dan beberapa musisi lainnya mementori para narapidana itu hingga delapan jam sehari. Para napi diajari bermain drum, gitar, bass, cello dan biola,
Mereka juga telah menyiapkan kurang lebih 12 lagu untuk menggelar konser yang bertajuk “Welcome to my World” dan dihadiri oleh Jaksa Agung Amerika Serikat, Loretta Lynch. Konser tersebut bertujuan untuk membantu sekitar 600.000 tahanan yang dibebaskan setiap tahunnya untuk kembali ke lingkungan dan menyesuaikan diri dengan masyarakat.
James Austin Smith, salah satu direktur organisasi Decoda, mengatakan program tersebut ingin menunjukkan bahwa musik bisa dinikmati dan membantu semua orang.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti