Menuju konten utama

Kurikulum Indonesia Menjauhkan Siswa dari Lingkungan Hidupnya

Kurikulum pendidikan di Indonesia semestinya lebih megakomodasi lokalitas dengan porsi yang lebih besar.

Kurikulum Indonesia Menjauhkan Siswa dari Lingkungan Hidupnya
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid memberi keterangan pers usai acara kickoff Mustika Rasa Kini di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (28/2/2024). FOTO/Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, mengemukakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia justru menjauhkan siswa dari lingkungan sekitarnya.

"Negara kita arkipelagis, tapi kurikulum kita tidak pernah menyentuh itu," tutur Sri dalam Refleksi Kebudayaan yang berlangsung di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Selasa (28/1/2025).

Sri mencecar, sebagai negara maritim, Indonesia masih mengimpor beberapa barang. Bahkan, sebagai negara agraris, Indonesia masih impor bahan makanan pokok.

"Padahal, kalau kita kaitkan dengan kebudayaan, semua tempat dan daerah punya budaya bagaimana kita bisa survive. Tapi, kurikulum kita justru menjauhkan kita pada kehidupan yang real," ucapnya.

Menjawab itu, Hilmar Farid, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kemendikbud mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang paling cocok dengan Indonesia adalah pendidikan yang beragam.

"Problem kita selalu ingin menasionalkan segala sesuatu dan lupa bahwa yang nasional terdiri dari yang partikular," sebut Hilmar.

Wawasan tentang lokalitas diajarkan di sekolah melalui mata pelajaran muatan lokal (mulok). Padahal, mulok justru dijadikan wadah untuk menampung pelajaran yang tidak masuk ranah nasional.

"Kita tahu banyak yang tidak bisa ditampung di Nasional kemudian diserahkan ke sana, misalnya bahasa daerah," kata dia.

Menurut Hilmar, hal itu menjadi problem menahun. Betapa pun pemerintah berusaha merumuskan satu bentuk kurikulum yang bisa merepresentasikan keberagaman Indonesia, tetap akan kesulitan.

"Karena, negeri kita keragamannya ekstrem, dengan 1.100 suku bangsa, di dalamnya tidak kurang 470 bahasa yang tinggal di 6.600 pulau yang terpisah," lontarnya.

"Jadi, pengenalan kita terhadap satu sama lain, realitas lokal masih sangat terbatas," imbuhnya.

Hilmar setuju bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia semestinya lebih megakomodasi lokalitas dengan porsi yang lebih besar.

"Tapi ada problem yang sifatnya teknikal, yaitu guru yang dididik dalam satu lembaga dan kesulitan mencari guru bersedia ditempatkan di lokal," ungkapnya.

Permasalahan itu, kata Hilmar, menjadi penting untuk didiskusikan. Salah satunya melalui ruang seperti acara Refleksi Kebudayaan.

Hilmar juga mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia justru jadi salah satu pendorong pemuda meninggalkan kampungnya.

"Akibatnya sekolah kita, sistem pendidikan kita menjadi jenjang orang untuk keluar dari daerah. SD di kelurahan, SMP di kecamatan, SMA di kabupaten, kuliah ke provinsi. Enggak pernah pulang lagi," sebutnya.

"Ironis. Kenapa terjadi? Karena, [pendidikan] tidak pernah atau belum menjawab persoalan lokal yang ada sehingga anak-anak tidak tumbuh untuk cinta pada lokalitasnya," tandasnya.

Baca juga artikel terkait KURIKULUM PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - Edusains
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi