Menuju konten utama

RIPK Disahkan, Jalan Kebudayaan Semakin Lempang

Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025-2045 bertujuan meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi Indonesia di tingkat global.

RIPK Disahkan, Jalan Kebudayaan Semakin Lempang
Dirjen Kebudayaan 2015-2024 Hilmar Farid (kiri) menyambut Menteri Kebudayaan Fadli Zon jelang serah terima jabatan dengan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim (21/10). foto/Dok. Kemendikbud

tirto.id - 10 Oktober 2024, tepat 10 hari menjelang pergantian presiden dan wakil presiden, Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) Tahun 2025-2045. Beleid ini berperan menjadi pedoman bagi pemerintah pusat dalam melaksanakan kerja-kerja pemajuan kebudayaan.

Dalam RIPK 2025-2045, pemajuan kebudayaan didefinisikan sebagai upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan kebudayaan. Adapun visi yang termaktub dalam RIPK adalah “Indonesia Bahagia Berlandaskan Keanekaragaman Budaya yang Mencerdaskan, Mendamaikan, dan Menyejahterakan”.

“RIPK 2025-2045 bukan hanya soal melestarikan warisan budaya, tetapi juga memanfaatkan budaya sebagai kekuatan pendorong kesejahteraan masyarakat,” ungkap Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid di Jakarta, Senin (11/10/2024).

Hilmar menyebut kehadiran Perpres RIPK merupakan respons atas kebutuhan terhadap dokumen strategis kebudayaan jangka panjang, melengkapi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Kedua aturan tersebut menekankan bahwa kerja-kerja pemajuan kebudayaan bukan hanya fokus pada pelestarian warisan budaya, tetapi juga pengembangan kebudayaan sebagai sarana penguatan identitas nasional serta kontribusi Indonesia di tingkat global.

“Visi ini sangat relevan dengan kebutuhan kita saat ini, di mana interaksi lintas budaya dan pemanfaatan budaya untuk diplomasi internasional menjadi semakin krusial," sambung Hilmar.

RIPK 2025-2045 memuat tujuh misi utama. Pertama, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya serta mendorong interaksi budaya lintas kelompok untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif. Kedua, melindungi dan mengembangkan nilai serta ekspresi budaya tradisional, sehingga kebudayaan nasional terus diperkaya oleh warisan leluhur.

Ketiga, memanfaatkan kekayaan budaya untuk meningkatkan posisi Indonesia di dunia internasional, terutama melalui diplomasi budaya. Keempat, menggunakan Objek Pemajuan Kebudayaan sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat, terutama melalui pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis budaya.

Kelima, memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem budaya dalam konteks keberlanjutan lingkungan. Keenam, mendorong reformasi kelembagaan dan penganggaran dalam mendukung pemajuan kebudayaan agar lebih efektif dan efisien.

Terakhir, meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator dalam pemajuan kebudayaan, dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif.

"Perpres RIPK ini menjadi kerangka penting dalam merumuskan kebijakan kebudayaan dalam 20 tahun ke depan," sambung Hilmar.

Salah satu aspek penting dalam RIPK adalah penekanan pada tiga arah kebijakan utama dalam pemajuan kebudayaan. Pertama, mewujudkan jaminan kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai budayanya secara partisipatif dan inklusif.

Kedua, mewujudkan pengelolaan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dan cagar budaya yang berkelanjutan sebagai landasan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengaruh kebudayaan Indonesia di dunia internasional. Ketiga, mewujudkan peningkatan mutu tata kelola pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.

Menurut Hilmar, setiap arah kebijakan tersebut dijabarkan dalam strategi-strategi konkret yang akan dilaksanakan secara bertahap, termasuk peningkatan pemberian fasilitas bagi komunitas budaya, pengembangan budaya tradisional dalam harmoni dengan budaya modern, serta peningkatan kualitas layanan dan infrastruktur kebudayaan.

Tak hanya itu, RIPK juga akan diimplementasikan melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemajuan Kebudayaan yang diperbarui setiap lima tahun. Salah satu inovasi penting dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah penggunaan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) sebagai alat ukur keberhasilan.

Pada tahun 2023, IPK Indonesia mencapai 57,13 poin dan ditargetkan meningkat menjadi 68,15 poin pada tahun 2045.

"Indeks ini menjadi tolak ukur penting dalam menilai sejauh mana kebijakan kebudayaan mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Kita optimistis bahwa target itu dapat dicapai," kata Hilmar.

Digagas sejak 2019

Majalah Jendela edisi 67/Juni 2024 menayangkan sebuah tulisan berjudul “Gotong Royong Menuju Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan”. Di situ dijelaskan bahwa penyusunan RIPK berlangsung sejak awal 2019, melalui koordinasi dengan 18 kementerian/lembaga, ditambah lembaga-lembaga yang beririsan dengan kebudayaan seperti Balai Pustaka, Produksi Film Negara, TVRI, dan RRI.

Selain itu, penyusunan RIPK juga dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan terkait standar pembiayaan khusus untuk berbagai jenis pekerjaan seni dan budaya seperti kurator, koreografer, sutradara, dan lainnya yang selama ini belum dikenal dalam sistem administrasi keuangan negara.

“Semua ini perlu juga dikaitkan dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional agar semua hasil koordinasi yang dilakukan ini dapat diselaraskan dengan arah pembangunan nasional,” bunyi keterangan dalam tulisan tersebut.

Kini, dengan adanya RIPK, pemerintah daerah juga didorong untuk berperan aktif dalam menyusun program kebudayaan yang sejalan dengan kebijakan nasional. Selain itu, Hilmar juga menggarisbawahi partisipasi aktif masyarakat dan komunitas budaya menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan RIPK ini.

“Jalan Kebudayaan” Memudahkan Kementerian Kebudayaan

Di banyak kesempatan, Hilmar kerap mengingatkan betapa pentingnya “Jalan Kebudayaan”, yakni sebuah upaya menjadikan kebudayaan sebagai pendekatan sekaligus solusi untuk mengatasi berbagai tantangan dan ancaman yang dihadapi umat manusia saat ini.

Persoalan-persoalan besar seperti pemanasan global, krisis pangan, perang, kebutuhan akan hunian layak, dan seterusnya, diyakini Hilmar bisa diselesaikan melalui Jalan Kebudayaan.

“Jalan Kebudayaan memang mendekati pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh, secara holistik. Pembangunan berkelanjutan tidak mungkin berjalan dengan pendekatan sektoral,” ungkap Hilmar Farid dalam pidatonya di Pekan Kebudayaan Nasional 2021.

Jalan Kebudayaan, lanjut Hilmar, bukanlah ajakan untuk kembali ke masa lalu, apalagi jika menyadari bahwa sesuatu yang kiwari disebut tradisi sesungguhnya merupakan inovasi dari masa lalu.

“Praktik dan pengetahuan lokal mesti segera kita dokumentasi, kita kembangkan dengan bantuan sains, riset, dan teknologi, sehingga bisa menjadi landasan kedaulatan di masa mendatang,” ungkap Hilmar.

Hilmar juga menekankan pentingnya belajar dari kekayaan lokal dan budaya kita sendiri. Dalam konteks kebutuhan akan hunian layak, misalnya, kita bisa belajar bukan hanya tentang arsitektur bangunan dan tata ruang, tapi juga tentang bagaimana masyarakat tradisi sangat peka terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.

“Tentu kita tidak bisa sekadar meniru bentuk fisik atau sekadar mengambil ornamen hiasan dari arsitektur lokal kita. Kita perlu mempelajari kepekaan masyarakat tradisi pada alam. Ingat, kita hidup di sebuah kawasan cincin api, yang senantiasa menghadapi ancaman gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami,” ungkap Hilmar.

Hilmar menegaskan pentingnya mengenali kembali kekayaan alam kita, mempelajari kembali kekayaan budaya dan kearifan lokal–sesuatu yang ia sebut Cerlang Nusantara–tidak boleh berhenti pada taraf akademik atau academic exercise.

“Karena itu, yang kita perlukan sekarang adalah mengembangkan dan memperbarui praktik yang telah ada. Kita memerlukan inovasi, kita perlu riset, sains, dan teknologi untuk memajukan kebudayaan,” pungkas Hilmar.

Lepas dari keterangan Hilmar, kini, di bawah pemerintahan anyar Prabowo-Gibran, untuk kali pertama Indonesia memiliki Kementerian Kebudayaan. Menyikapi hal tersebut, Djaelani, pegiat budaya sekaligus Ketua Yayasan Jendela Ide, Bandung, menyebut RIPK akan memudahkan Kementerian Kebudayaan.

“Di bawah komando Bung Fadli Zon, kerja-kerja pemajuan kebudayaan seharusnya lebih mudah dilakukan. Selain kementeriannya otonom, dokumen strategisnya sudah tersedia,” kata Djaelani kepada reporter Tirto.id. Selasa (22/10).

Djaelani menambahkan, berkaca dari pemberitaan di media bahwa Fadli Zon punya impian menjadikan Indonesia sebagai “Ibukota Budaya Dunia”, cita-cita itu juga lebih mudah diwujudkan jika RIPK dijadikan landasan.

“Semua hal mengenai langkah-langkah pemajuan kebudayaan, termasuk yang dampaknya menguatkan peran Indonesia di level global lewat kebudayaan, sudah tertuang dalam RIPK. Jadi, sekarang tinggal melaksanakannya saja.”

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis