Menuju konten utama

Tanaman & Astronomi Lokal, 2 Cerita Kekayaan Budaya Indonesia

Direktorat Jenderal Kebudayaan memberikan fasilitasi dan mendorong para peneliti serta pelaku budaya untuk mengkaji pengetahuan lokal bangsa Indonesia.

Tanaman & Astronomi Lokal, 2 Cerita Kekayaan Budaya Indonesia
Suasana Pekan Kebudayaan Nasional sebagai upaya melestarikan budaya. (FOTO/Istimewa)

tirto.id - Jika tidak bertanya soal tahun kelahirannya, orang bakal terkecoh dengan paras dan gerak-gerik Oday Kodariyah. Di usianya yang ke-70, pemilik Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam di Bandung Selatan ini tak sedikit pun terlihat ringkih.

Di lahan seluas 5 hektar, 900 jenis tanaman obat tumbuh terawat, terdiri atas 418 spesimen dari 102 famili (suku) dan 341 spesies. Di sana, kaki dan tangan Mamah Oday masih cekatan buat sesekali menyiram tanaman atau menyiangi rumput dan dedaunan kering.

Oktober tahun lalu, dalam gelaran Kemah Ramu Rempah yang diselenggarakan Rumah Pemajuan Kebudayaan, Mamah Oday membimbing 30 peserta mengitari KTO Sari Alam.

Begitulah ritual rutin bagi siapa pun yang berkunjung ke KTO Sari Alam. Lewat Seminar Kebun, empunya lahan bakal mengajak para tamu berkeliling, mengenalkan berbagai jenis tanaman obat lengkap dengan segala khasiatnya, sebelum memasuki herbarium, ruang pengolahan tanaman obat.

“Mamah Oday adalah mitra strategis kami di Rumah Pemajuan Kebudayaan Jendela Ide. Spesialisasi beliau tentang pengetahuan obat-obatan Nusantara, khususnya obat-obatan tradisional masyarakat Sunda,” ungkap Djaelani, Ketua Yayasan Jendela Ide, kepada Tirto.id, Rabu (10/7/2024).

Lewat Rumah Pemajuan Kebudayaan, Jendela Ide menghubungkan KTO Sari Alam dengan banyak pihak, salah satunya Ruma Ramu-Rumah Meramu, kedai di bilangan Bandung Utara yang dikenal dengan sajian herbalnya.

“Mamah Oday membagikan pengetahuannya soal rempah, baik sebagai obat maupun bahan kuliner. Ini dilakukan untuk memberikan pengayaan bagi mereka yang punya minat menekuni sajian rempah, buat bisnis maupun sekadar hobi,” sambung Djaelani.

Mamah Oday sendiri antusias dilibatkan dalam program-program Rumah Pemajuan Kebudayaan yang diinisiasi Jendela Ide. Lembaga ini menerima fasilitasi Dana Indonesiana untuk kategori Dukungan Institusional pada tahun 2023.

Bagi Mamah Oday, bertemu dengan sosok-sosok seperti Djaelani, Andar Manik, Marintan Sirait dan pelaku budaya lain di Jendela Ide telah membuka jalan lebih lebar untuk mewujudkan keinginannya selama ini.

“Mamah ingin mengenalkan pengetahuan soal tanaman obat kepada masyarakat luas. Pengetahuan ini tidak boleh hilang, harus selalu diteruskan, karena ini adalah warisan leluhur yang terbukti besar manfaatnya,” ungkap Mamah Oday kepada Tirto.id, Rabu (10/7/2024).

Jauh sebelum dikenal sebagai ahli herbal dan penerima Kalpataru 2018, Oday Kodariyah divonis mengidap kanker serviks. Dokter yang menangani Oday kala itu, circa 1990-an, menyarankan Oday agar tidak meneruskan pengobatannya.

“Dokter paham, di antara Mamah dan saudara-saudara lain yang juga divonis kanker, Mamah yang paling tidak berpunya. Pengobatan kanker mahal, bahkan saudara Mamah ada yang sampai dirujuk ke Singapura,” ungkap Mamah Oday.

Lepas dari urusan biaya, tubuh Oday juga sukar menerima obat kimia. Bibir dan kakinya bengkak-bengkak, badan sering kesemutan dan gatal-gatal, sedangkan pendarahan demi pendarahan membuat kadar hemoglobin Oday turun drastis. Suami Oday, Djadjat Sudradjat (1952-2023), menyarankan sang istri menempuh pengobatan herbal.

Atas kehendak Tuhan, lewat ramuan bawang dayak dan herbal lainnya, Oday berangsur pulih. Ia pun memutuskan untuk menekuni pengobatan berbasis tanaman lokal, hal yang dilakukan sampai sekarang.

“Dokter yang dulu merawat Mamah sempat bilang, dia ingin memastikan sel kanker di tubuh Mamah sudah bersih atau masih ada. Tapi Mamah tidak peduli. Mamah yang merasakan sendiri bahwa fisik dan psikis Mamah sudah membaik. Mamah kembali merasa berfungsi, sebagai manusia maupun seorang istri,” papar Oday.

Pengetahuan akan tanaman tradisional merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia. Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyebut Indonesia punya 47 ekosistem—mulai dari laut, sungai, danau, hutan, dan seterusnya—dan masing-masing ekosistem punya sumber dayanya sendiri-sendiri.

“Kalau keanekaragaman hayati dipertemukan dengan keanekaragaman budaya, kita akan dapat peta kekayaan Indonesia yang sangat luar biasa,” ungkap Hilmar saat menghadiri “Temu Sapa Ekosistem Kesenian Kita dan Pemajuan Kebudayaan” di Jatiwangi Art Factory, Majalengka, Kamis (15/6/2023).

Kerja-kerja yang dilakukan Jendela Ide lewat Rumah Pemajuan Kebudayaan adalah sebentuk ikhtiar untuk mempertemukan keanekaragaman hayati dengan keanekaragaman budaya itu.

“Awal Mei lalu, Jendela Ide juga terlibat dalam acara peresmian Monumen Kalpataru Oday Kodariyah yang diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan KTO Sari Alam. Jendela Ide menghadirkan pementasan seni tradisional dan monolog teater untuk mengenalkan kiprah Mamah Oday dan KTO Sari Alam dengan pendekatan artistik,” ungkap Djaelani.

Menguak Kembali Astronomi Suku Byak

Lewat Direktorat Jenderal Kebudayaan, didukung Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, pemerintah Indonesia memberikan fasilitasi dan mendorong banyak pihak, terutama para peneliti dan pelaku budaya, untuk mengkaji keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya bangsa, termasuk pengetahuan lokal.

Hal itu mendesak dilakukan demi mewujudkan empat pilar UU Pemajuan Kebudayaan: pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan obyek-obyek pemajuan kebudayaan.

Lisa Sastrajendra, peneliti astronomi lokal, adalah salah satu penerima manfaat Dana Indonesiana tahun 2022. Selama setahun, Lisa dan tim melakukan penelitian di Provinsi Papua terkait sistem astronomi lokal Suku Byak.

“Kenapa Suku Byak? Karena referensinya di internet sangat minim, cuma satu, itu pun blog pribadi. Saya penasaran ingin mencari data pembandingnya,” ungkap Lisa saat dihubungi Tirto.id, Rabu (10/7/2024).

Minimnya sumber bacaan mengenai sistem astronomi lokal Suku Byak segendang sepenarian dengan semakin terkikisnya pengetahuan tersebut di kalangan Suku Byak sendiri. Sistem astronomi lokal Suku Byak digunakan untuk kepentingan navigasi di laut. Saking eratnya hubungan orang Biak dengan laut, dulu, penjajah Belanda sampai menjuluki mereka Viking dari Teluk Cendrawasih.

“Pengetahuan itu abstrak, tidak terlihat. Dan astronomi Suku Byak mulai hilang karena perahu tradisionalnya tidak lagi digunakan. Pengetahuan tentang astronomi Suku Byak bisa dilihat pada perahu tradisional mereka,” ungkap Lisa.

Saat dihubungi, Lisa tengah menyelenggarakan pameran “Laut Langit Lahan: Etnografika Suku Byak” di Atrium Bintaro Jaya Xchange Mall, Tangerang Selatan, berlangsung 8-14 Juli 2024. Salah satu koleksi yang dipamerkan adalah perahu tradisional Suku Byak, yang dibuat masyarakat Byak setelah Lisa menyelesaikan penelitiannya tahun lalu.

Lisa menjelaskan, pameran ini dilakukan agar pengetahuan tentang astronomi Suku Byak bisa disebar ke sebanyak mungkin khalayak. Selain itu, Lisa juga menyebut astronomi ini menjadi semacam pintu masuk untuk mendapat pengetahuan lain tentang bagaimana masyarakat adat menjalin hubungan dengan lingkungan dan alam.

“Astronomi lokal sangat ekologis, karena itulah bisa menjadi tawaran untuk menjawab masalah-masalah seperti kerusakan lingkungan. Peribahasa di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak menunjukkan bahwa urusan langit, pergerakan benda-benda di atas sana, memang berkaitan erat dengan aktivitas manusia di bumi ini,” papar Lisa.

Lisa menekankan betapa berartinya dukungan yang diberikan pemerintah lewat fasilitasi Dana Indonesiana dalam kaitannya dengan revitalisasi pengetahuan lokal. Setelah penelitian dilakukan, pengetahuan yang dikaji Lisa punya kesempatan dibicarakan di banyak forum, mulai dari ruang kelas anak SMP sampai ruang kuliah sejumlah universitas.

“Pihak Planetarium juga pernah meminta saya membagikan hasil kajian ini di tempat mereka. Bagi saya, kesempatan itu merupakan penghargaan atas pengetahuan Suku Byak.”

Lisa menambahkan, selain menambah referensi soal astronomi Suku Byak di internet, hasil penelitiannya juga bisa menjadi rujukan pemajuan kebudayaan bagi pemerintah Papua, terutama Kabupaten Biak. Hal ini mengingat hingga saat ini Indeks Pemajuan Kebudayaan Provinsi Papua sangat kecil, bahkan paling rendah se-Indonesia, sedangkan kekayaan budaya di sana sangatlah kaya.

Tahun lalu, hasil penelitian Lisa juga diaplikasikan sendiri oleh Suku Byak. Mereka menetapkan waktu penyelenggaraan Festival Munara Wampasi berdasarkan perhitungan astronomi mereka sendiri.

Festival Munara Wampasi diselenggarakan saat musim surut air laut, berlangsung setahun sekali, puncaknya Bulan Juli. “Setelah saya mempublikasikan hasil kajian, CNN membuat video liputan Festival Munara Wampasi. Kabar terakhir, video mereka memenangi KPI Award Kategori Budaya tahun 2023 lalu,” pungkas Lisa.

Kini, beberapa anggota Suku Byak juga tengah membuat film dokumenter agar kekayaan pengetahuan mereka terdokumentasikan dengan cara-cara yang lebih kekinian. Proses itu juga mendapatkan dukungan fasilitasi pemerintah lewat skema Dana Indonesiana.

Bicara soal keanekaragaman budaya Indonesia tak bakal ada habisnya, sebagaimana membicarakan keanekaragaman hayati bangsa ini. Dalam hal keanekaragaman, Indonesia adalah jawara. Naasnya, tata kelolanya belum optimal.

“Punya kekayaan tapi gak bisa mengelolanya, bisa menjadi kebalikan. Berkah menjadi bencana, karena tidak terkelola dengan baik,” ungkap Hilmar Farid.

Hilmar menambahkan, tata kelola kebudayaan Indonesia sering kali masih belum terhubung satu sama lain. Misalnya, pertanian berjalan sendiri, demikian pula kebudayaan. Masyarakat yang seharusnya dilibatkan, malah tidak diajak sama sekali.

Dalam situasi itulah UU Pemajuan Kebudayaan lahir sebagai fondasi bagi terwujudnya tata kelola yang baik di bidang kebudayaan. “Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa hubungan atau aliran ekosistem antar stakeholder kebudayaan ini berlangsung dengan baik,” ungkap Hilmar di sela konferensi pers Jalan Kebudayaan, bulan lalu.

Sosok yang dikenal sebagai sejarawan itu optimis, dengan tata kelola yang benar, kawin silang antara keanekaragaman budaya dengan pengetahuan yang tepat dan teknologi kekinian dapat menjadi sumberdaya yang luar biasa untuk mensejahterakan masyarakat.

“Jadi kalau ditanya apa sih perjuangan di bidang kebudayaan, ya ini: menyambungkan simpul-simpul dalam ekosistem agar bisa bergerak bersama,” kata Hilmar.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis