tirto.id - Sepotong siang di Pulau Rote.
Samudera alias Sam (Masha Kanna) pulang sekolah kelewat girang: libur sekolah sudah tiba, dan lusa ia akan ke Jakarta. Mereka sekeluarga harus datang ke ulang tahun Grandma (Laksmi Notokusumo). Namun, bukan pergi main ke ibukota yang bikin Sam gembira, melainkan rencana berplesir dengan Ibu (Marsha Timothy), berdua saja. Sebuah rencana yang sudah ia siapkan sejak lama.
Sam memang ingin punya pengalaman road trip dengan ibunya. Rutenya kurang lebih seribu kilometer: dari Jakarta sampai Banyuwangi, di ujung timur pulau Jawa.
Di akhir perjalanan itu, ia akan singgah di G-Land alias Pantai Plengkung, sebelum akhirnya pulang ke Rote. Konon, di sana akan ada Kailani Johnson, atlet selancar air (surfing) yang jadi idola Sam.
Dalam lima menit pertama semua informasi itu dirangkum sutradara Riri Riza dengan padat, tapi tak bikin sesak. Kita diperkenalkan dengan si tokoh utama, Sam—bocah 10 tahun periang, aktif, cerdas, suka surfing, alam, dan pantai, serta sudah jago ceplas-ceplos bahasa Inggris—tanpa dialog panjang, bertumpuk, dan bertele-tele khas film-film Indonesia di musim lebaran kemarin.
Efisiennya persis seperti menit-menit pertama Petualangan Sherina (2000)—film anak pertama hasil tangan dingin duet Riri Riza dan Mira Lesmana—ketika memperkenalkan tokoh utamanya, hampir dua dekade silam. Riri membuat penonton tak perlu lama-lama jatuh cinta pada Sam, dengan cara yang tak bikin muak.
Selain dicap sebagai salah satu tanda kebangkitan industri film Indonesia pasca-mati suri, Petualangan Sherina selalu lekat dengan embel-embel film anak terbaik yang pernah dibuat. Film ini pun sukses meraup lebih dari 1 juta penonton ketika Indonesia sedang loyo memproduksi film. Kualitas akting pemain, dan penyutradaraan Riri yang jadi salah satu faktor paling kuat film itu. Namun, tak ada aspek yang lebih menonjol dalam Petualangan Sherina selain kedalaman naskah menggali tokoh dan konflik ceritanya. Inilah hal yang bikin karakter Sherina, Sadam, Ibu, Pak Raden, dan Kertarajasa masih legendaris sampai sekarang.
Setidaknya bagi generasi Milenial yang masa kecilnya diisi film ini.
Kulari ke Pantai juga punya keunggulan yang sama. Sam dan karakter pendukung lainnya juga dirakit Riri Riza bersama tiga penulis naskah lain: Gina S. Noer, Mira Lesmana, dan Arie Keriting, dengan kedalaman yang mapan.
Sifat cerdas, lincah, dan kecintaan Sam pada alam pasti tak datang sekonyong-konyong. Tanpa perlu dialog panjang yang menjelaskan proses ini pada penonton, Riri alih-alih menyiapkan detail-detail kecil yang bikin proses perkenalan kita dengan Sam justru terasa kuat. Ayah (Ibnu Jamil) dan Ibu Sam aslinya orang Jakarta, dan dari keluarga berada. Di Rote, mereka punya perkebunan karena ingin hidup lebih dekat dengan alam dan jauh dari kebisingan kota. Kita bisa lihat bagaimana idealisme kedua orangtuanya mengalir membentuk karakter Sam, yang secara penampilan juga dirakit detail. Bocah ini punya rambut pirang-masai dan kulit kecokelatan yang kelihatan sering terbakar matahari.
Tak cuma Sam, Happy (Lil’li Latisha) misalnya—sepupu Sam yang juga jadi karakter utama pun didesain dengan sangat kuat. Bocah 12 tahun itu dijejali seluruh sifat generasi Z ujung dan generasi Alfa awal: ia dekat dengan gawai dan teknologi, menyukai semua hal instan dan serba-cepat, sehari-hari berbahasa Inggris, konser musik jadi life goal-nya, serta mengerti gaya dan mode.
Karena semur hidupnya tinggal di Jakarta, tempat semua hal itu mudah didapat, Happy jadi agak sedikit kaget dengan perubahan Sam, yang juga sempat jadi anak Jakarta sebelum tinggal 2 tahun di Rote. Ia menganggap perubahan karakter Sam, yang mulai sering pakai ‘sa’ atau ‘beta’ untuk mendaku dirinya, sebagai tingkah norak. Ketegangan konyol ala anak-anak kemudian menyisip di antara keduanya.
Karakter-karakter mapan ini tak mungkin menonjol, jika tak diinterpretasikan mantap oleh aktornya. Masha Kanna dan Lil’li Latisha, yang baru kali ini main film, membuktikan kejelian Riri dan Mira dalam menemukan bakat baru. Lagi. Tentu saja, setelah berhasil memperkenalkan Sherina Munaf lewat Petualangan Sherina, Maudy Ayunda lewat Untuk Rena (2005), dan sepuluh bakat alami lokal dari Belitong dalam Laskar Pelangi (2008).
Kanna dan Latisha tampil dominan, sesuai dengan keleluasaan yang diberikan naskah pada mereka. Emosi tarik-ulur yang disajikan dua sepupu ini hidup sebagai sajian utama Kulari ke Pantai, nyaris sama kuatnya seperti chemistry Sherina dan Sadam.
Konflik yang hadir juga sederhana, tapi tak menye-menye. Meski tak ada kasus penculikan sebagai konflik utama yang bikin Petualangan Sherina jadi seru, bukan berarti Kulari ke Pantai tak hadir membawa diskusi menarik.
Lewat keluarga besar Sam, ada tema pola asuh orangtua 'zaman now' yang coba dilempar Riri Riza dan Gina S. Noer. Papa dan Mama Happy misalnya, tampil dengan segala kegelisahan mereka tentang perkembangan teknologi yang dianggap berdampak pada karakter putrinya. Kirana (Karina Suwandi), ibu Happy, akhirnya meminta tolong pada Uci, ibu Sam agar mengizinkan putrinya ikut dalam road trip pribadi mereka. Ia, sederhananya, ingin Happy punya perspektif lain, yang datangnya tidak dari layar ponsel pintar bocah itu.
Cara Uci dan Irfan, suaminya berdiskusi dengan Sam, untuk minta persetujuannya atas permintaan Karina, juga unik. Tak banyak tontonan produksi Indonesia yang menyajikan perspektif segar ini. Dialog Sam dan orangtuanya ingin menunjukkan bahwa orangtua harusnya selalu membuka ruang diskusi dengan anaknya. Sam yang baru berumur 10 tahun, dalam adegan itu, diperlakukan sebagai lawan bicara yang setara oleh Uci dan Irfan. Obrolan mereka tarik-menarik. Masing-masing pihak punya perspektif masing-masing, yang akhirnya berujung kesepakatan karena ada kompromi dari dua pihak.
Bagi saya pribadi, dialog di atas meja makan itu tampil kuat sekali. Jadi salah satu fragmen paling cerdas dalam Kulari ke Pantai.
Film ini juga hadir sebagai film feminis yang kuat. Tiga karakter utama yang jadi napas film ini adalah perempuan—yang dirakit dengan karakter berbeda-beda. Gradasi karakter mereka menunjukkan betapa luasnya pilihan anak perempuan. Happy misalnya, dibiarkan merangkul sifat femininnya dengan bangga dan percaya diri. Begitu pula Sam, yang dibikin tak takut adu jotos, bermimpi jadi peselancar, dan punya ketertarikan besar pada alam. Bahkan Uci tampil sebagai karakter Ibu yang kuat—dimetaforakan dari perannya yang mengambil alih kemudi mobil dalam perjalanan seribu kilometer lebih.
Tiga karakter ini hadir tanpa saling menindih, justru menggenapi satu sama lain.
Secara keseluruhan film ini akhirnya tampil menghibur dan nyata. Naskah Riri dkk berhasil tampil sangat dekat dengan realitas, kelebihan lain yang patut dipuji. Setidaknya, orang-orang kelas menengah ke atas pasti akan mudah memahami konflik yang ditawarkan film ini, dan gampang merasa terkoneksi. Sebab, Kulari ke Pantai memang hanya memotret gejala sosial lewat mata anak-anak kelas berada.
Ini yang membuatnya berbeda dari Untuk Rena, apalagi Laskar Pelangi—yang justru direkam Riri lewat sudut pandang anak-anak kelas bawah.
Pesan Mencintai Bahasa Indonesia yang Ironis
Salah satu kritik paling menonjol dalam Kulari ke Pantai memang bukan tentang krisis pendidikan seperti yang dipotret Riri dalam Sokola Rimba atau Laskar Pelangi. Film ini tampaknya hanya ingin hadir sebagai film liburan yang membawa diskusi tentang pola asuh generasi Z ujung dan generasi A awal, mereka yang sejak lahir sudah kepalang lengket dengan gawai.
Namun, di beberapa segmen, Riri juga menyelipkan sindiran tentang penggunaan bahasa Inggris yang lebih umum dipakai sehari-hari oleh generasi tersebut. Happy, karakter yang paling keminggris, beberapa kali disemprot beberapa karakter lain karena dianggap tak cinta bahasa ibu sendiri. Agar pesan itu tampil lebih kuat, Riri menyiapkan karakter Dani (Brian Maxey), seorang bule yang lahir dan besar di Papua untuk menyindir tabiat Happy.
“Ade, sa pake basa Inggris kalau di Amrika sana,” kata Dani pada Happy yang bertanya, “Do you still speak English?”
Kritik Riri valid. Ia tak bilang kalau belajar bahasa Inggris tak boleh, tapi jauh lebih baik kalau sampai tak lupa pada keindahan bahasa ibu sendiri.
Namun, yang bikin pesan itu jadi ironis adalah kehadiran karakter Dani sendiri. Ia digambarkan sebagai bule Kaukasia petualang, yang ke mana-mana pakai bahasa Indonesia logat Papua. Salah satu fungsi tokoh ini adalah jadi sekutu trio Uci-Sam-Happy dalam menghadapi masalah di beberapa episode perjalanan mereka. Tugas lainnya, Dani hadir sebagai kontradiksi dari karakter Happy. Tapi, Riri lupa bahwa menghadirkan Dani cuma untuk menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia indah hanya akan membawa masalah lain yang lebih besar.
Maxey dalam kehidupan nyata memang bule yang unik. Ia tak seperti orang Kaukasia kebanyakan. Logatnya datang karena memang lahir di Jayapura dan besar di Wamena. Tapi, sebagai orang Kaukasia yang menguasai dunia lebih lama dari bangsa lainnya, membuat logat karakter Dani dalam Kulari ke Pantai justru sebagai bentuk cultural appropriation alias perampasan budaya.
Perampasan budaya sendiri terjadi ketika seseorang mengadopsi atau menggunakan kebudayaan orang lain yang bukan dari etnis atau rasnya—tanpa permisi. Susan Scafidi dari Fordham University, mendefinisikan perampasan kebudayaan sebagai, “Mengambil kekayaan intelektual, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, atau artefak dari budaya orang lain tanpa izin. Ini bisa termasuk penggunaan yang tidak sah dari tarian budaya lain, pakaian, musik, bahasa, cerita rakyat, masakan, obat tradisional, simbol agama, dan lain-lain.
“Kemungkinan besar berbahaya ketika komunitas sumber adalah kelompok minoritas yang telah ditindas atau dieksploitasi dengan cara tertentu,” jelas Scafidi.
Papua sendiri adalah salah satu daerah di Indonesia yang diakui banyak orang jadi salah satu tempat yang terdiskriminasi banyak soal. Termasuk akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Kulari ke Pantai, yang seutuhnya dibingkai dari sudut pandang anak-anak kelas berada, tentu saja jadi sangat tidak sensitif karena sama sekali tidak menghadirkan karakter Papua sendiri. Kualitas akting Maxey memang tak jelek untuk film pertama. Ia juga tampil menonjol dalam kamera.
Namun, salah satu poin utama mengapa cultural appropriation adalah isu penting, ialah karena ketika seseorang dari kelompok yang memiliki privilese menggunakan kebudayaan kelompok yang tertindas, mereka akan dianggap kreatif. Padahal yang harus mendapatkan kredit dari hal itu adalah kelompok tertindas itu sendiri.
Isu ini memang tak banyak dikupas di Indonesia. Namun, di industri yang lebih besar macam Hollywood, cultural appropriation justru mendapat sorotan tajam, sebab representasi dalam film mulai dianggap penting. Maksudnya, para pembuat film harus mulai sadar bahwa diskriminasi berdasarkan warna kulit itu memang nyata. Dan tetap membiarkan orang-orang dengan kulit lebih terang merepresentasikan orang-orang kulit berwarna tidaklah bijak.
Di Indonesia sendiri, setidaknya para sineas harusnya mulai menyadari isu ini. Film-film kita memang sudah mulai berkembang dari konfliknya yang selalu Jakarta-sentris. Tapi, kesadaran untuk memakai bakat-bakat lokal belum bergeliat. Kebanyakan film besar Indonesia selalu memakai wajah yang itu-itu saja.
Padahal, Riri Riza adalah salah satu sineas yang pernah membuktikan kalau bakat-bakat lokal mampu menyajikan film nasional berkualitas tinggi. Ia bahkan membuktikan hal itu dalam salah satu film anak juga: Laskar Pelangi—ketika 10 aktor anak utamanya merupakan penduduk lokal Belitong.
Sayang, dalam Kulari ke Pantai, ia mundur selangkah.
Editor: Windu Jusuf