tirto.id - “Siapa kamu di zaman Hindia Belanda?” sebuah pertanyaan yang muncul pada linimasa Facebook. Jawabannya bisa bermacam-macam, mulai dari bagian pekerja tanam paksa hingga pegawai pemerintahan kolonial, dan sebagainya.
Ada juga sosok Susi Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan yang populer yang tengah berbincang melalui pesan instan berseliweran di laman Facebook. “Tenggelamkan!” jadi kata yang sangat sering Susi sebut pada tangkapan layar dan ungkapan-ungkapan Susi lainnya.
Unggahan-unggahan semacam ini bukan unggahan fakta yang bisa dipercaya. Ia merupakan bentuk baru permainan yang kini ramai di Facebook, dalam bentuk kuis, meme, maupun bentuk hiburan lainnya.
Nametests.com salah satu penyedia utama unggahan-unggahan sejenis. Ada lebih dari 10.000 bentuk tes yang disediakan Nametests.com sepertipertanyaan-pertanyaan semacam ini, “siapakah kamu dalam dunia Disney?” atau “Apa pekerjaan yang cocok untukmu?”
Kepopuleran unggahan demikian kian berlanjut. Kini, bukan cuma nametest.com yang bermain. Ada Pandacat.com, Quizzstart.com, Myfunzy.com, Heroquizz.com, Testony.com, Bigtests.club, serta Vonvon.me. Nama penyedia yang disebut terakhir, memiliki 16 juta “share” di Facebook per hari.
Baca juga:Kuis Facebook dan Mimpi Buruk Ruang Pribadi
Secara sederhana, layanan-layanan ini memang menyenangkan para pengguna Facebook. Namun, mengutip USA Today, layanan kuis seperti ini berpotensi membawa risiko keamanan informasi pribadi, pengguna bisa hanyut mengakses situsweb palsu, yang selama ini bagian dari strategi phishing.
Namun, Jonghwa Kim, Chief Executive Officer Vonvon.me, membantah kekhawatiran itu. “Kami hanya menggunakan informasi pribadi untuk menghasilkan jawaban (kuis yang dipilih pengguna), dan kami tidak pernah menyimpan informasi itu untuk tujuan lain,” terangnya.
Pendapat berbeda diutarakan oleh Ryan Jacobson, penggiat privasi dari SmithAmundsen, pada PC World. “Tipe layanan seperti ini adalah surga untuk menjaring data di mana pengguna secara sukarela memberikan informasi,” terangnya.
RealAge.com misalnya, di salah satu kuis bertajuk “biological age” yang tersedia di layanan itu, pengguna Facebook ditanyai beragam pertanyaan-pertanyaan pribadi yang sensitif. Di balik layar, kuis itu ternyata disponsori oleh perusahaan farmasi yang butuh data sensitif untuk menjual produknya.
Merasuknya kuis-kuis pada platform Facebook bukanlah tanpa alasan. Di Indonesia misalnya, ada 87,75 juta pengguna Facebook. Sebanyak 86,4 juta di antaranya, mengakses Facebook untuk memanfaatkan perangkat mobile.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi yang terbesar. Di Malaysia hanya ada sekitar 22 juta pengguna Facebook dan cuma 4,4 juta di Singapura. Secara menyeluruh, platform racikan Mark Zuckerberg ini telah memiliki lebih dari satu miliar pengguna.
Bagi pengelola seperti Facebook, basis data yang berlimpah tentu akan percuma bila para pengguna menutup rapat privasi masing-masing. Amanda du Preez dalam jurnal berjudul “The Role Memes in The Construction of Facebook Personae” mengatakan bahwa 92 persen remaja yang menggunakan Facebook, memakai nama asli mereka. Tercatat ada 71 persen remaja yang mencantumkan nama sekolah dan alamat tinggal sebenarnya pada akun Facebook masing-masing.
Sebanyak 82 persen remaja mengungkapkan dengan benar tanggal lahir serta 62 persen remaja mengatakan dengan sungguh-sungguh status relasi mereka di Facebook masing-masing. Ini menjadi Facebook, sebuah gudang data pribadi paling besar di seluruh dunia.
Data-data pribadi para pengguna Facebook memang berharga. Studi yang menganalisis 86 ribu profil Facebook yang dilakukan peneliti di Psychometrics Centre University of Cambridge, sebagaimana diwartakan The Telegraph, mengatakan bahwa mereka mampu menebak karakter seseorang dengan akurat hanya dengan melihat “like” yang dilakukan si pengguna Facebook.
Pertanyaan muncul, bila benar kuis-kuis itu berbahaya, terkait pencurian data, mengapa Facebook tetap mengizinkan layanan itu memanfaatkan Aplication Programming Interface mereka?
Jawabannya soal bagaimana upaya Facebook menciptakan kecanduan para penggunanya. Sean Parker, mantan salah satu jajaran petinggi Facebook mengungkapkan bahwa platform Facebook memang diciptakan untuk “mengeksplorasi kerentanan psikologis manusia” agar menciptakan kecanduan.
“Bagaimana kami (Facebook) mengonsumsi banyak sekali waktu pengguna secara sadar? Ialah dengan (teknik) social-validation feedback loop,” terangnya.
“Itu artinya kami (hanya) perlu memberi sedikit dopamine setiap dibutuhkan, karena seseorang senang memberi like atau berkomentar pada foto atau unggahan lain atau lainnya, dan hal itu (memantik pengguna lain) terus-terusan berkontribusi pada konten lainnya, dan itu akan (kemudian) memperoleh lebih banyak like dan komentar,” terangnya.
“Kamu telah terpapar kerentanan psikologis manusia,” tegas Parker.
Ucapan Parker juga diperkuat oleh Hong-Han Shuai dalam jurnalnya bertajuk “Newsfeed Screening for Behavioral Therapy to Social Network Mental Disorder”, dalam survei tercatat ada 52 persen remaja kecanduan smartphone milik mereka masing-masing. Salah satu candu dari smartphone, tak lain adalah media sosial.
Kuis-kuis atau generator meme itu tetap dipertahankan Facebook karena membuat penggunanya betah berlama-lama di Facebook. Ini penting bagi platform Facebook agar mereka tak berubah seperti Friendster atau MySpace yang telah tamat riwayatnya. Keduanya gagal bertahan karena tak sukses menciptakan candu.
Baca juga:
Facebook seperti mencoba menjawab risiko itu dengan caranya sendiri. Apalagi, media sosial ini sempat diprediksi akan tamat. Eric Jackson, pendiri venture capital bernama Ironfire Capital, pada 2012 lalu sempat mengatakan bahwa Facebook akan menghilang dalam 5-8 tahun alias akan pudar pada 2020.
Jackson membandingkan nasib Facebook serupa dengan Yahoo. Meskipun Yahoo menurutnya masih menghasilkan uang dan masih memiliki ribuan karyawan, nilai Yahoo saat itu hanya 10 persen dari nilai kala ia berada di puncak kejayaan.
Mark Zuckerberg, tentu tak mau perusahaan yang didirikannya bernasib seperti itu. Selain bergerilya membeli startup-startup potensial seperti Instagram maupun WhatsApp, Facebook perlu memelihara basis penggunanya.
“Kami pikir investor, kreator, saya, Mark Zuckerberg, Kevin Systrom di Instagram, semua orang di bidang ini, tahu ini (cara membuat kecanduan),” kata Parker.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra