tirto.id - Kalau ada yang merekatkanku dan nenekku hingga hari ini–terlepas dari usia kami yang terpaut jauh dan perbedaan cara pandang yang sangat ekstrem– barangkali salah satunya adalah humor.
Kami berdua sangat suka tertawa. Kalau tembok di rumah kami bisa bicara, aku yakin mereka akan memberikan kesaksian: kami tertawa saat duduk-duduk di depan televisi, saat tidur berdesakan di kamar, saat selesai sarapan, saat memberi makan ayam di halaman belakang, juga saat melipat baju-baju kering yang baru diangkat dari jemuran.
Kami menertawakan banyak hal. Nenekku kentut dengan suara kencang, daster nenekku yang sobek, celetukan konyol sepupuku di rumah, kucing-kucing dan ayam-ayam berkelakuan ajaib, atau karena kue moho; kue kesukaanku semasa sekolah.
Besar bersama kakek dan nenek membuatku mengakrabi jajanan tradisional. Beberapa di antaranya ada kue cucur yang sangat berminyak dan bikin batuk, nagasari yang lembut dengan isian pisang raja super manis, lalu ada kue bugis yang lengket tapi mengandung kejutan berkat isian berupa parutan kelapa yang telah dicampur gula jawa. Kue-kue lezat ini mewarnai hari-hariku tumbuh besar di kota kecil di kawasan pantura, dekat kota Semarang.
Tak seperti nagasari atau bugis yang seringkali nenekku buat sendiri, beberapa kue sampai di rumah kami karena nenek membelinya dari tukang sayur keliling. Kue moho salah satunya. Kue ini berbagi bentuk yang sama dengan bolu kukus. Mekrok (merekah) di bagian atas. Warna utamanya merah fanta, tapi di bagian yang mekrok itu biasanya berwarna putih seperti bakpao. Kalau dilihat dari kejauhan, sekilas bentuknya mirip bunga mawar yang sedang mekar.
Aku mengenal kue moho pertama kali saat SMA ketika nenekku makin jarang membuat kue di rumah. Kala itu, tukang sayur keliling langganan nenek masih sering mangkal di depan rumah tetangga yang hanya terpisahkan oleh sepetak kebun dengan rumah kami.
Tukang sayur itu mulai mangkal sekitar pukul tujuh hingga delapan pagi, saat anak-anak sudah berangkat ke sekolah, dan para lelaki dewasa sudah pergi mencari nafkah. Nenek akan menyusuri kebun sambil menenteng dompet belanjaannya yang dia apit di bawah ketiak, sementara aku mengekor di belakang.
Itu adalah hari-hari ketika aku lebih sering di rumah ketimbang di sekolah karena siswa kelas 10 dan 11 diliburkan, sementara siswa kelas 12 sedang menggelar ujian. Di lain waktu, aku berada di rumah pada jam sekolah karena pura-pura sakit. Ajaibnya, nenekku tak pernah mempermasalahkan, begitu juga dengan kakek. Aku rasa ini salah satu keistimewaan diasuh oleh kakek dan nenek.
Pertama kali mencicipi kue moho, aku langsung suka karena rasanya legit. Manis dan lengket. Selain itu, mungkin karena tak ada jajanan lain yang lebih menarik.
Berbeda dengan bolu kukus yang lembut, kue moho lebih seret di tenggorokan dan lebih antep (berat). Makan 1-2 potong sudah bikin perut kenyang. Belakangan baru aku tahu kalau kue ini juga tahan lama. Ketahanannya bisa sampai 3-4 hari meski tanpa pengawet. Pantas saja, dulu kue ini kerap dibawa sebagai bekal perjalanan.
Tanti Restiasih Skober dalam esai “Geliat Siasat Cina di Bandung: dari Kuli, Kuliner, hingga Ilegal Bisnis” di buku Krisis Manusia Modern (2010) menceritakan bagaimana dulu para buruh kereta api di Bandung membawa bekal makanan berupa kue keras yang terbuat dari tepung wijen selama pemasangan jalur kereta api dari Bogor sampai ke Bandung.
Para pekerja kasar itu adalah orang-orang Hakka yang hijrah ke Bandung karena tak tahan dengan kemiskinan di negeri asal mereka. Selama pemasangan rel yang berada nun jauh dari perkampungan, mereka mengandalkan kue-kue keras itu untuk membuat perut kenyang. Kue keras yang dimaksud adalah cakue, ampyang, dan kue moho.
Kue moho dengan keunggulannya yang tahan lama juga sempat muncul dalam cerita silat berjudul 13 Pendekar Rimba Hidjau yang diceritakan kembali oleh Lim Hian Tjoe. Dalam buku berseri itu, dua orang pendekar diceritakan sedang menempuh perjalanan jauh melintasi Kota Peking yang bersalju. Saat beristirahat, salah satu di antara mereka–seorang pendekar bernama Kian Tong–mengeluarkan kue moho dari dalam kantong kulit.
Tak diketahui pasti kapan buku itu diterbitkan. Namun, melihat ceritanya ditulis dalam ejaan lama, bisa diduga kalau buku itu terbitan lama. Barangkali sepotong informasi ini bisa jadi petunjuk kalau kue moho sudah eksis sejak puluhan tahun lalu. Berapa puluh tahun lalu tepatnya? Aku tak tahu.
Tapi dari temuan terakhirku, kue moho pernah dimuat dalam iklan baris di surat kabar Mingguan Djaja yang terbit tahun 1963, sekitar 60 tahun yang lalu. Intinya, kue ini sudah uzur. Tapi beruntunglah, di usianya yang sudah uzur ini, kue moho telah dicatatkan oleh negara sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Jawa Tengah.
Selain tahan lama, aku juga baru tahu kalau kue moho yang kerap aku cemil dulu biasa disajikan saat perayaan Imlek hingga jadi makanan sesajen di kelenteng. Dalam buku Anak Kos Dodol (2010), kue moho muncul dalam sepotong cerita yang ditulis oleh Dian Kristiani. Pada tahun 1993, Dian yang kuliah di UGM, menyewa kamar kos di kawasan pecinan yang berada di pusat kota Jogja, di rumah seorang kakek berdarah Cina totok. Dia pun cerita kala Imlek tiba, di meja makan telah dihidangkan beragam jenis makanan lezat termasuk kue moho.
“Gurami tim tausi, kepiting saus padang, puding ikan koi, kue moho, kue mangkok, kue keranjang, anggur Red Globe, apel USA, jeruk mandarin, dan tak lupa seteko teh manis hangat.”
Agus Salim dalam bukunya Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina (2006) mengungkap kalau kue moho, sama seperti lumpia adalah ragam jenis boga yang merupakan adaptasi kultur antara etnis Tionghoa dan Jawa, utamanya di kawasan Semarang. Aku jadi tak heran kalau kue ini beredar luas di kota kelahiranku di Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang hanya berjarak dua jam dari Semarang. Bahkan banyak yang mengira kalau kue ini asli dari Kota Pati. Kekeliruan yang sama tatkala orang mengira bandeng presto adalah oleh-oleh dari Semarang.
Kini, sebelas tahun setelah lulus SMA, aku sudah tak pernah lagi makan kue moho. Tapi setiap kali pulang ke rumah, sesekali aku masih bertanya kepada nenek, “Buk, gak tumbas moho?” (Bu, tidak beli kue moho). Sebenarnya aku cuma menggoda. Sebab, dulu nenekku kerap mengomel tatkala aku mulai rewel minta dibelikan kue moho setiap dia pergi belanja. Walau aku tahu, itu omelan kasih sayang. Buktinya, nenekku selalu pulang membawa kue moho, bahkan pernah dia bawa satu bungkus penuh hanya untukku seorang.
Mendengar aku bertanya begitu, biasanya dia akan membalas, “Lah nduk-nduk, wong marai seret kok seneng to genduk iku. Marai kanthil neng untu.” (Walah, nduk-nduk, orang bikin seret kok kamu itu bisa suka. Bikin lengket di gigi). Lalu kami pun tertawa.
Meski menjawab dengan gerutuan, tapi aku tahu, dia mencari cara agar kue moho itu terhidang di piring begitu aku bangun pagi keesokan harinya. Hanya saja, tukang sayur keliling langganannya sudah tak tahu di mana rimbanya. Sedangkan dia sendiri juga tak selincah dulu sejak terkena asam urat. Sekarang, setiap pulang, aku gantian membawakan kue untuknya. Kadang kue brownies, tapi lebih sering bika ambon, dua-duanya nenekku suka.
Kami juga masih sering melempar lelucon, meski kini ketika tertawa, keriput di wajah nenekku sudah sejelas gajah di pelupuk mata.
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Nuran Wibisono