tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/2021) lalu. Moeldoko dipilih kendati ia tak ada di lokasi kongres dan hanya menyetujui lewat sambungan telepon.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan dampak konflik ini membikin Partai Demokrat lemah di hadapan penguasa. Konflik internal di Partai Demokrat semakin menumpulkan daya kontrol partai-partai oposisi.
“Tak ada checks and balances. Tak bagus. Karena pemerintah tak ada yang mengontrol. Sedangkan kekuasaan yang tak dikontrol akan cenderung korup dan disalahgunakan,” ujar Ujang kepada reporter Tirto, Senin (8/3/2021).
Partai Demokrat adalah segelintir partai oposisi yang tersisa di parlemen. Selain mereka, hanya PKS yang tegas menyatakan diri sebagai oposisi. Partai Gerindra telah menjadi mitra pemerintah setelah ketua umumnya, Prabowo Subianto, menjabat Menteri Pertahanan. Sementara posisi PAN lebih abu-abu.
Kursi Partai Demokrat dan PKS di parlemen berjumlah 104 dari total 575 kursi. Jika Partai Demokrat direngkuh pemerintah, maka oposisi hanya tersisa 50 kursi.
Ujang menyayangkan Presiden Joko Widodo tak melakukan apa pun terhadap manuver anak buahnya meski Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat yang dikudeta Moeldoko, telah memintanya turun tangan. Menurutnya itu “seolah-olah membiarkan Moeldoko berkehendak sesuka hati.”
“Ini menjadi bumerang bagi Jokowi karena rakyat akan tetap melihat Jokowi main mata dengan Moeldoko dan Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly),” tambahnya.
Senin kemarin AHY mendatangi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen AHU Kemenkumham) untuk menyerahkan lima boks bukti KLB Deli Serdang ilegal dan inkonstitusional. Beberapa di antaranya ialah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat dari Kemenkumham yang disahkan pada 2020 dan data kepengurusan partai berdasarkan kongres V tahun lalu.
AHY berharap dengan berbagai bukti itu Yasonna tidak mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang.
“Kami ingin berjuang untuk menjaga kedaulatan dan kehormatan Partai Demokrat, tetapi lebih dari segalanya kami juga ingin memperjuangkan demokrasi di negeri kita,” ujar AHY di kantor Kemenkumham.
Direktur Jendral AHU Cahyo Rahadian Muhzar yang menerima AHY beserta 34 perwakilan ketua DPD Partai Demokrat mengatakan akan segera menindaklanjuti dokumen tersebut. “Kami akan catat dan telaah lebih lanjut terhadap dokumen yang diserahkan pak AHY ini,” ujar Cahyo dalam kesempatan yang sama. Cahyo tidak menjelaskan berapa lama proses telaah tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, konflik internal Partai Demokrat akan berlangsung dalam waktu lama jika Kemenkumham mengesahkan kepengurusan KLB Deli Serdang. “Kuncinya di Kemenkumham. Kalau KLB mendapatkan SK Kemenkumham dan disetujui, tentu akan berkepanjangan. AHY akan gugat ke PTUN. KLB pasti akan banding, seperti Partai Berkarya,” ujar Adi kepada reporter Tirto, Senin.
Partai Berkarya pecah faksi antara Muchdi PR dan Tommy Soeharto. Berkarya versi Muchdi PR mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin, berbeda jalan dengan Tommy sebagai pendukung Prabowo dan Sandiaga Uno pada Pilpres 2019.
Sama seperti ujang, Adi bilang situasi konflik akan membuat cakar Partai Demokrat sebagai oposisi sementara majal. AHY akan sibuk mengonsolidasikan seluruh kader untuk membendung gerakan KLB Deli Serdang. “[Kader] kubu AHY ini pasti akan dilindungi supaya mereka tidak lompat pagar ke KLB. Akan ada banyak godaan, bisa kekuasaan dan jabatan politik,” imbuh Adi.
DPR Tukang Stempel
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menjelaskan mengapa penting bagi Jokowi untuk buka suara: untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Ia menduga jika kepengurusan KLB Deli Serdang disahkan Kemenkumham, maka “DPR akan kembali ke masa suram, menjadi 'stempel' bagi kekuasaan; menjadi lembaga yes man.”
“Partai politik bisa hancur semua itu,” ujar Pangi kepada reporter Tirto, Senin.
Salah satu tanda kemunduran demokrasi memang pemberantasan oposisi, kata Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto. “Diberangusnya oposisi itu gejala yang sangat kuat terjadi di masa pemerintahan Jokowi terutama sejak Pemilu 2019,” kata Wijayanto kepada reporter Tirto, Senin.
Pemberangusan oposisi bisa dilakukan dengan cara persuasif dan koersif. Contoh cara persuasif, salah satunya dengan menarik Prabowo masuk ke dalam kabinet sehingga Partai Gerindra ikut gerbong pemerintah. Sementara contoh cara koersif, katanya, adalah “partai-partai dilemahkan, dipecah, supaya muncul faksi yang mendukung kekuasaan.”
Beberapa contoh yang ia sebut: perpecahan di PPP antara kubu Djan Faridz dan kubu Romahurmuziy dan perpecahan Partai Golkar antara kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie. Ujung dari semua konflik itu selalu sama, pemerintah mengakui kepengurusan yang mendukung mereka. Partai Demokrat, dengan demikian, termasuk di dalamnya.
Wijayanto mengatakan mudah menyimpulkan adanya restu Jokowi dalam tindakan Moeldoko: ia memilih untuk pasif. Dalam teori politik, semua hal yang dipilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan, keduanya adalah kebijakan.
“Apalagi dari perspektif kultur Jawa. Di Jawa diam itu artinya setuju, mengiyakan,” katanya.
Kami telah menghubungi Moeldoko dan simpatisannya, Darmizal dan Hengky Luntungan, tapi hingga berita ini ditulis tidak ada respons.
Sementara Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan mereka tidak melakukan apa pun karena tidak ingin mengintervensi partai. “Sejak era Bu Mega, Pak SBY, sampai dengan Pak Jokowi ini pemerintah tidak pernah melarang KLB atau Munaslub yang dianggap sempalan karena menghormati independensi parpol,” kata Mahfud lewat Twitter yang sudah dikonfirmasi boleh dikutip reporter Tirto, Sabtu (6/3/2021).
Mahfud mengaku memang ada dampak buruk dari sikap tersebut, yaitu pemerintah bisa dianggap cuci tangan. “Tapi kalau melarang atau mendorong bisa dituding intervensi, memecah belah, dan sebagainya,” ujar Mahfud.
Penulis: Alfian Putra Abdi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino