tirto.id - Sebelum terjadi kasus perusakan 8 rumah milik jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 19 dan 20 Mei 2018, telah terjadi sejumlah kasus intimidasi sejak 2016 silam.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mengatakan hal itu usai acara Gelar Temuan kasus yang terjadi di Dusun Grepek Tanah Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur tersebut.
Isnur mencatat, pada 14 Juni 2016, dengan alasan tidak jelas kepolisian setempat menahan 8 warga komunitas muslim Ahmadiyah asal Desa Bagik Manis, Lombok Timur.
"Sudah ada upaya-upaya penyerangan waktu ada 8 orang yang ditangkap saat tarawih oleh kepolisian. Mereka dibawa ke Polres Lombok Timur dan sempat ditahan selama 4 hari dengan alasan ancaman amuk massa," kata Isnur di Gedung Pimpinan Pusat GP Ansor, Jakarta Pusat, Rabu (6/6/2018).
Setelah itu, pada 18 Juni 2016, menurut Isnur, Kepala Desa Bagik Manis bersama para kepala dusun memaksa warga Ahmadiyah menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah. Ketegangan akibat kasus tersebut sempat diselesaikan setelah Bupati Lombok Timur dan aparat kepolisan ikut terlibat menengahi.
Sementara di Dusun Grepek, Desa Greneng kasus intimidasi terhadap warga Ahmadiyah mulai terjadi pada Maret 2017.
Ceritanya bermula saat ada salah seorang warga Ahmadiyah menikahkan putrinya dengan laki-laki yang juga dari anggota jemaah Ahmadiyah. Seminggu setelahnya, Kepala Dusun Grepek mendatangi setiap rumah warga Ahmadiyah di sana dan meminta mereka datang ke Kantor Desa Greneng.
Di Kantor Desa Greneng mereka bertemu dengan Kepala Desa, pihak kepolisian dari Polsek Sekra Timur dan perwakilan dari Polres Lombok Timur.
"Di dalam forum mereka [perangkat desa] menyatakan tidak bisa menerima ada anggota ahmadiyah di Kampung itu," kata Isnur.
Peristiwa tersebut sampai ke telinga Bupati Lombok Timur Ali Bin Dahlan. Kemudian mediasi dilakukan di Kantor Bupati Lombok Timur.
Dalam mediasi itu, Bupati Ali menyatakan berjanji akan melindungi dan menjamin keamanan warga Ahmadiyah di Lombok Timur. Namun, dia meminta warga Ahmadiyah menandatangani pernyataan untuk tidak menyebarkan ajaran Ahmadiyah ke warga lain di Lombok Timur.
"Setelah pertemuan mediasi tersebut [ancaman] massa mereda dan jamaah Ahmadiyah dipulangkan dengan dikawal oleh Aparat Kepolisian," kata Isnur.
Beberapa bulan kemudian, pada 8 Februari 2018, intimidasi serupa kembali muncul. Kasus itu bermula ketika seorang warga Ahmadiyah bernama Ahmad meninggal dunia. Saat itu, warga dilarang untuk mengumumkan berita lelayu itu melalui pengeras suara masjid.
Pada malam di hari yang sama, para warga melakukan rapat di saung depan Masjid Miftahul Jannah dan hasilnya jenazah Ahmad dilarang disholatkan di Masjid Desa Greneng tersebut. Tak cuma itu, pemakaman Ahmad juga dilarang dilakukan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Greneng.
"Bagi yang hendak membantu [pemakaman] dan menyolatkan [jenazah Ahmad] diancam stigma bahwa yang membantu adalah orang Ahmadiyah juga," ujar Isnur.
Sehari kemudian, 9 Februari 2018, Kapolsek Sakra Timur bersama Intelkam Polres Lombok Timur langsung berkoordinasi dengan Kepala Desa Greneng untuk menjaga 5 rumah warga Ahmadiyah selama beberapa malam. Tetapi, setelah pihak kepolisian tidak lagi berjaga intimidasi terjadi.
"Pada malam ketiga kegiatan tahlilan, ada pelemparan batu di rumahnya Pak Ismail (Jamaah Ahmadiyah). Mereka diperkirakan menggunakan 2 kendaraan bermotor dan berjumlah 4 orang," kata Isnur.
Pelemparan terjadi pada pukul 21.00 waktu setempat. Ismail pun melaporkan kejadian tersebut kepada Polsek Sekra Timur karena kejadiannya terjadi selama 3 malam. Polisi sempat datang ke lokasi dan mengambil barang bukti, tetapi penanganan kasus tersebut belum ada perkembangan sampai sekarang.
"Polisi juga mengambil bekas pelemparan tetapi tidak ada kabar lanjutan mengenai penyelidikan kasus ini," kata Isnur.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Addi M Idhom