tirto.id - Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto kembali melontarkan kritik tentang utang negara. Prabowo menyebut utang negara terus menumpuk di era pemerintahan Joko Widodo. Ia bahkan menyarankan penyebutan menteri keuangan diubah menjadi "menteri pencetak utang."
Kritik dan saran dari Prabowo kemudian direspons Kementerian Keuangan. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu RI, Nufransa Wira Sakti mengatakan utang negara sudah lama ada sejak tahun 1946. Penggunaannya pun, kata dia, semata-mata ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat.
“Kemenkeu adalah sebuah institusi negara yang penamaan, tugas, dan fungsinya diatur oleh undang-undang. Siapa pun tidak sepantasnya melakukan penghinaan atau mengolok-olok nama sebuah institusi negara yang dilindungi undang-undang, apalagi seorang calon presiden,” kata Nufransa dalam keterangan tertulis, Minggu (27/1/2019).
Pernyataan Prabowo pun dinilai keliru oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah. Menurut Piter, utang negara bukan hanya tanggung jawab Kemenkeu saja, melainkan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR.
Piter melihat pemerintah saat ini cukup berhati-hati dalam mengelola utang negara. Misalnya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 60 persen.
Ia juga menilai pemerintah masih mampu membayar utang negara, terutama dengan cadangan devisa senilai 100 miliar dolar AS. Nilai itu lebih besar dibanding dengan jatuh tempo terdekat senilai 8,6 miliar dolar AS.
“Tidak ada yang bisa diklaim sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap peningkatan utang. Itu adalah keputusan kita bersama,” ucap Piter saat dihubungi reporter Tirto.
Namun, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira melihat sasaran utang pemerintah saat ini belum cukup produktif walaupun setiap tahunnya terus bertambah.
Kenaikan utang pemerintah senilai 10,5 persen dinilai belum cukup mendorong produktivitas ekonomi secara optimal. Misalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih berkisar di angka 5,1 persen dan ekspor di angka 6,65 persen.
Selain itu, pengeluaran negara tidak semuanya untuk infrastruktur. Bhima menuturkan, kenaikan belanja modal untuk infrastruktur hanya di angka 31,4 persen selama periode 2014-2018. Nilai itu tertinggal jauh dari naiknya tren pengeluaran negara yang terdiri dai pembayaran utang di angka 86,9 persen, belanja barang di 80,9 persen, dan pegawai di 40,5 persen.
“Jelang pemilu isu utang akan semakin memanas seiring pemerintah gencar terbitkan utang baru untuk tutup defisit dan lunasi utang jatuh tempo,” ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto.
Efektif Pengaruhi Elektabilitas?
Kritik yang dilontarkan pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait kondisi perekonomian Indonesia dalam tiga bulan terakhir dinilai mampu mempengaruhi orang yang belum menentukan pilihan dalam Pilpres 2019.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan narasi soal perekonomian Indonesia telah gagal yang dibuat paslon nomor urut 02 itu, secara perlahan menggerogoti capaian dan prestasi pemerintah.
Hal itu terlihat dari elektabilitas Jokowi yang mencapai 54 persen, jauh tertinggal dari tingkat kepuasan kinerja yang berada di angka 70 persen.
“Serangan-serangan ini cukup efektif. Mereka yang puas belum tentu memilih Jokowi kembali. Minimal yang selama ini yakin kepada Jokowi jadi abu-abu,” ucap Adi ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (28/1/2019).
Menurut Adi, isu ekonomi dalam dunia politik bergantung pada konsolidasi opini masyarakat. Ia mengatakan, kubu mana yang sanggup mendominasi opini akan menentukan narasi yang akhirnya dipercaya masyarakat terlepas dari fakta yang ada.
“Ini bukan salah benar lagi. Masyarakat hanya disuguhkan oleh siapa kuat antara konsolidasi isu petahana dan penantang,” ujarnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan