Menuju konten utama

Kritik Prabowo dan Benarkah Pemerintah Bangga dengan Utang?

Ekonom Indef Bhima Yudistira menilai penambahan utang pemerintah memang tidak bermasalah, tapi pengelolaannya masih memiliki sejumlah kekurangan.

Kritik Prabowo dan Benarkah Pemerintah Bangga dengan Utang?
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan pidato ketika menghadiri Deklarasi Nasional Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia di Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta, Sabtu (26/1/2019). Prabowo mengapresiasi APTSI yang mendeklarasikan dukungan untuk pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana.

tirto.id - Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan berang. Pemantiknya adalah pernyataan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto yang menyebut menteri keuangan sebagai “menteri pencetak utang”.

Prabowo menuding pemerintah gemar menambah utang dan jumlahnya terus bertambah. Sehingga, kata politikus Gerindra itu, kondisi utang Indonesia sudah berada di stadium lanjut.

“[...] jangan disebut lagi ada menteri keuangan, mungkin menteri pencetak utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain,” kata Prabowo dalam acara dukungan alumni perguruan tinggi di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini, Jakarta Timur, Sabtu (25/1/2019).

Sontak, tudingan tersebut dibantah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Nurfransa Wira Sakti, selaku juru bicara. Ia mengatakan utang sudah ada sejak tahun 1946.

Utang, kata Frans, merupakan bagian dari kebijakan fiskal APBN yang dibahas antara pemerintah bersama DPR RI. Menurut dia, hal itu digunakan pemerintah untuk menjaga perekonomian dan memakmurkan rakyat.

Saat ini saja, kata Frans, kredibilitas pengelolaan APBN dan utang Indonesia sudah dinilai oleh lembaga rating dunia. Kategorinya pun mencapai investment grade.

“Kami jajaran Kemenkeu, bukan kementerian pencetak tuang. Mayoritas adalah generasi milenial. Bekerja dan bertanggung jawab secara profesional dan selalu menjaga integritas,” kata Nurfransa dalam pernyataan tertulisnya.

Merujuk pada pernyataan Prabowo, perkembangan utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun memang mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Bank Indonesia, tahun 2014 angka itu mencapai 293,33 miliar dolar AS dan terus naik pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai 353, 16 miliar dolar AS di tahun 2017 dan 372,86 miliar dolar AS di tahun 2018.

Namun, Ketua Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan, Melchias Markus Mekeng mengatakan, penambahan utang pemerintah sepatutnya tidak perlu dipermasalahkan.

Sebab, kata dia, rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat masih berada di bawah 30 persen dari batasnya di angka 60 persen. Sementara defisit anggaran pemerintah di APBN juga berada di bawah angka 3 persen.

Saat ini, kata Mekeng, penerimaan negara yang berasal dari pajak belum mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan belanja negara. Sehingga, pemerintah menutupnya dengan utang.

Data Bank Dunia menyebut, kinerja tax ratio Indonesia memang mengalami tren penurunan. Setidaknya sejak 2012 dari 11,36 persen, turun menjadi 10,76 persen pada 2015 dan menjadi 10,36 persen tahun berikutnya. Selanjutnya hanya naik tipis ke 10,8 persen pada 2017.

Kalau pun tarif pajak digenjot untuk alasan penerimaan, kata Mekeng, maka masyarakat akan menjerit. Sementara di saat yang sama, kata Mekeng, pemerintah juga tidak mungkin mengurangi anggaran untuk jaminan sosial, perlindungan sosial, dan pembangunan infrastruktur.

Belum lagi, kata dia, sejumlah pos anggaran sudah terkotak-kotak, seperti 20 persen untuk pendidikan, 5 persen kesehatan, hingga 2,6 persen untuk dana kelurahan. Jumlah ini pun, kata dia, belum terhitung bagi cicilan utang pemerintah.

“Utang itu sendiri enggak ada masalah. Kecuali kalau kita enggak mau ada program-program pro rakyat. Pembiayaannya kalau enggak cukup dari pajak, ya dari utang,” kata politikus Golkar ini saat dihubungi reporter Tirto.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira menilai penambahan utang pemerintah memang tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, kata dia, pengelolaan utangnya masih memiliki sejumlah kekurangan.

Bhima menyoroti implikasi dari porsi Surat Berharga Negara (SBN) yang cenderung lebih dominan, sehingga pemerintah harus membayar bunga yang mahal, yaitu sekitar 8,1 persen untuk tenor 10 tahun.

Saat ini realisasi pembayaran utang pemerintah telah menembus di atas 108,2 persen dari target 2018. Tepatnya sekitar Rp258,1 triliun.

“Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu tertinggi di Asia,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto.

Dampak dari bunga itu, kata Bhima, berpengaruh pada belanja pemerintah yang menjadi semakin tidak produktif.

Menurut dia, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur senilai 31,4 persen saat ini masih tertinggal jauh dari belanja barang dan pegawai yang masing-masing naik 80,9 persen dan 40,5 persen.

Hal tersebut diperburuk oleh naiknya pembayaran bunga utang sebanyak 86,9 persen.

Bhima menuturkan, jika postur anggaran yang demikian terus dibiarkan, maka utang yang semula berada di tahap lampu kuning dapat berubah menjadi lampu merah.

Dengan demikian, Bhima tidak heran bila keadaan ini dapat mengundang oposisi untuk menggunakannya sebagai bahan kampanye jelang gelaran pilpres.

“Jelang pemilu isu utang akan semakin memanas. Seiring pemerintah gencar terbitkan utang baru untuk defisit dan lunasi utang jatuh tempo,” kata Bhima.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz