tirto.id - Dalam satu minggu terakhir dua orang meninggal dunia karena dibegal dan dijambret. Kasus pertama terjadi Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Minggu (1/7) pagi; kedua di Pinang, Kota Tangerang, Rabu (4/7) malam.
Dua kasus ini menimbulkan pertanyaan: di mana polisi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban? Sikap polisi yang hanya menunggu jatuhnya banyak korban tak bisa dibenarkan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane. Menurutnya selama ini korps baju cokelat tersebut memang kurang fokus pada pencegahan aksi-aksi sejenis. Ketika ada kasus-kasus yang viral di sosial media, mereka baru bertindak.
"Memang polisi kita ini seperti pemadam kebakaran. Begitu ada kebakaran baru dipadamkan," keluh Neta pada Tirto, Jumat (6/7/2018).
Salah satu bentuk ketidakfokusan tersebut adalah patroli yang tidak reguler. Sepanjang pengamatannya banyak polisi yang enggan memantau situasi. Sekali lagi, mereka baru rajin ketika memang ada kasus yang disorot publik.
"Patroli harusnya rutin di tempat-tempat rawan dan strategis. Tapi yang terjadi adalah mobil patroli malah berdiam di gedung-gedung duta besar dan bukan patroli," katanya lagi.
Penambahan 1.000 personel dari Polda Metro Jaya untuk mengatasi begal juga seharusnya tak diperlukan jika memang patroli dilakukan reguler, ada atau tidak ada kasus yang sedang ramai.
"Jadi enggak perlu, Polri dan Polda konsisten saja. Enggak perlu ada penambahan. Rutin saja patroli karena selama ini itu tidak jalan, tidak maksimal," ujarnya lagi.
Selain polisi secara umum, ia juga menyoroti kinerja divisi intelijen yang menurutnya tidak mampu mendeteksi dini segala ancaman. Ia memberi contoh bagaimana begal di Tangerang bisa membawa senjata api ketika melancarkan aksi jahatnya. Hal ini bisa diantisipasi jika intel bekerja.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, sepakat dengan apa yang dikatakan Neta. Polri memang cenderung "mengobati", dan tak mampu mengantisipasi.
Iqrak merasa itu sudah jadi pola: ketika ada kejahatan yang ramai dibicarakan, polisi mengerahkan banyak SDM, tak jarang membentuk tim khusus. Efeknya angka kejahatan memang menurun, tapi sementara. Setelah tim khusus dibubarkan dan pengawasan longgar kembali, kejahatan pun meningkat lagi.
"Ini seperti balon saja, satu sisi ditekan, nanti mengembang lagi," katanya pada Tirto.
Iqrak tidak menyalahkan Polri seutuhnya. Ia mengaku kejahatan memang sering berulang, tetapi bukan berarti intensitasnya bertambah.
Kejahatan, kata Iqrak, memang penyakit di kota besar. Sasaran kejahatannya banyak karena biasa orang-orang memiliki harta yang banyak pula. Penambahan pasukan tidak bisa dipaksakan karena banyak tugas lain yang juga butuh bantuan.
"Banyak terjadi itu karena kesempatan juga. Kalau bicara gambaran besarnya, kejahatan terjadi karena penerangan kurang atau terlalu padat, atau yang lainnya," kata Iqrak. "Ini kan tanggung jawab Pemda juga."
Kerja Polisi Menangkal Kejahatan Jalanan
Polda Metro Jaya menggelar operasi cipta kondusif menyusul kejadian begal dan jambret yang menghilangkan nyawa orang tak bersalah ini. 1.000 personel dikerahkan dan dibagi menjadi 16 tim setiap harinya. Hasilnya, 387 orang berhasil diamankan di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Dari 387 orang tersebut, 25 orang ditembak karena melawan dan dua di antaranya meninggal. 73 orang dijadikan tersangka, dan 314 lainnya hanya dibina.
"Semoga dengan adanya satu bulan ini kriminalitas turun," kata Argo di Polda Metro Jaya.
Argo menegaskan bahwa operasi ini tidak akan dilaksanakan lebih dari satu bulan. Sesuai jadwal, operasi akan selesai dilaksanakan pada 3 Agustus mendatang. Selebihnya, ia berharap masyarakat berhati-hati.
"Ini kan bagian dari edukasi. Setelah ini masyarakat juga harus waspada. Jaga diri. Jangan berikan kesempatan kepada penjahat untuk berbuat," katanya.
Demi mencegah kejahatan berlanjut setelah operasi, Argo mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pemetaan kawasan rawan kejahatan. Sejauh ini, polisi sudah tahu kalau halte adalah tempat yang rawan tindakan pencopetan.
Penanggulangan setelah operasi diserahkan pada petugas patroli. "Itu menjadi bagian preventif untuk patroli. Akan kami arahkan ke sana," ujarnya.
Meski jumlah Kombes atau Perwira Menengah di jajaran Polri menumpuk, hal ini tidak menjamin keamanan masyarakat. Sebabnya, petugas patroli tidak dibebankan pada perwira menengah. Apalagi, personel Polri secara statistik sebenarnya kurang banyak untuk menjaga masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Asisten SDM Polri, Irjen Arief Sulistiyo kepada Tirto, Kamis (4/7/2018). Arief menjelaskan bahwa perekrutan anggota Polri menggunakan pendekatan zero growth minimum, yaitu jumlah rekrutan sama dengan anggota yang sudah pensiun atau meninggal.
Tahun ini saja Polri hanya mencari 8.400 anggota. Padahal, menurut rasio ideal, seharusnya perbandingan Polri dengan jumlah masyarakat adalah 1:400 atau 1:450. Jumlah anggota Polri pada 2017 lalu yang jumlahnya hanya 443.193 personel tentu tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 262 juta orang. Apalagi, tidak semua anggota tersebut bertugas di lapangan.
"Kalau berpedoman pada rasio itu maka kebutuhan jumlah personel Polri menjadi sangat besar," katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino