tirto.id - Kekurangan antibiotik menjadi tantangan baru bagi dunia kesehatan. Di negara berkembang dan terbelakang, banyak penduduk yang tewas akibat kekurangan antibiotik.
Penelitian Center for Disease Dynamics, Economics & Policy (CDDEP) mencatat sekitar 5,7 juta kematian per tahun diakibatkan infeksi bakteri yang sebenarnya dapat diobati dengan antibiotik.
Penelitian itu dilakukan dengan wawancara pada para pemangku kepentingan di Uganda, India, dan Jerman. Para peneliti ingin mengidentifikasi hambatan akses utama untuk antibiotik di negara-negara berkembang, negara berpenghasilan menengah, dan negara maju.
"Kurangnya akses ke antibiotik membunuh lebih banyak orang saat ini daripada resistensi antibiotik, tetapi kami belum memiliki pegangan mengapa hambatan ini terjadi," kata Ramanan Laxminarayan, Direktur CDDEP.
Penelitian menunjukkan, regulasi dan fasilitas kesehatan yang di bawah standar menjadi penghambat masuknya ketersediaan obat, bahkan setelah penemuan antibiotik baru.
"Penelitian kami menunjukkan dari 21 antibiotik baru yang memasuki pasar antara 1999 dan 2014, hanya kurang dari lima terdaftar di sebagian besar negara di Afrika sub-Sahara. Produksi antibiotik yang banyak tidak berarti mereka tersedia di negara-negara yang membutuhkan," jelas Laxminarayan seperti dilansir Science Daily.
Fasilitas kesehatan di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah berada di bawah standar dan tidak memiliki staf yang terlatih dalam pemberian antibiotik.
Di Uganda, 10 hingga 54 persen jabatan staf kesehatan tidak terisi karena upah yang buruk, stres yang tinggi, kurangnya sumber daya, dan manajemen yang buruk.
Staf di bangsal tidak cukup untuk memberikan obat-obatan, pasien kehilangan dosis antibiotik, dan perawat kadang-kadang meminta kompensasi untuk pemberian obat-obatan.
Di India, satu dokter menangani 10.189 orang, padahal Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, merekomendasikan rasio 1: 1.000 dan perawat yang memiliki rasio pasien 1: 483, menyiratkan kekurangan hingga 2 juta perawat.
Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, rantai pasokan obat yang lemah gagal membuat antibiotik tersedia secara konsisten. Di Uganda, para peneliti menemukan banyak produk disimpan dan diangkut dalam jarak yang jauh tanpa kontrol suhu.
Selain itu, hanya 47 persen obat-obatan dalam Daftar Obat Esensial WHO yang dibeli melalui otoritas resmi, yang mengakibatkan kekurangan pasokan. Sistem pengiriman melalui badan swasta juga tidak dimanfaatkan.
Kurangnya pengawasan dan regulasi dalam pembuatan obat serta ketersediaan pasokan menyebabkan buruknya kualitas obat dan meningkatnya obat-obatan palsu.
Sebanyak 17 persen dari obat di bawah standar atau palsu yang dilaporkan kepada WHO adalah antibiotik. Setiap tahun, lebih dari 169 ribu kematian akibat pneumonia pada anak disebabkan antibiotik palsu.
Ketika antibiotik tersedia, pasien seringkali tidak mampu membelinya sebab biaya medis yang tinggi dan layanan kesehatan terbatas. Hanya 8,9 persen dari anggaran negara Uganda digunakan untuk layanan kesehatan.
Selain itu, pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan yang terbatas mengakibatkan kekurangan obat di fasilitas kesehatan umum yang memaksa pasien untuk pergi ke apotek swasta untuk membeli obat-obatan yang seharusnya gratis.
Di seluruh dunia, penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan penatalaksanaan antimikroba yang buruk menyebabkan kegagalan pengobatan. Akhirnya, penelitian dan pengembangan untuk antimikroba baru, vaksin, dan tes diagnostik melambat sejak 1960-an di beberapa negara berkembang.
Hal ini disebabkan investasi yang menguntungkan di bidang ini dibatasi volume penjualan yang rendah, durasi perawatan yang pendek, persaingan dengan produk yang sudah mapan, obat generik yang lebih murah, serta kemungkinan resistensi.
Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengatasi hambatan utama akses antibiotik. Salah satu solusi yang diberikan adalah mendorong penelitian dan pengembangan antibiotik baru, tes diagnostik, vaksin, dan alternatif untuk antibiotik serta infeksi bakteri.
Selain itu mendukung pendaftaran antibiotik di lebih banyak negara sesuai dengan kebutuhan klinis, mengembangkan dan menerapkan pedoman pengobatan nasional untuk penggunaan antimikroba, menemukan dana inovatif untuk antibiotik, memastikan kualitas antibiotik dan memperkuat kapasitas pengaturan farmasi, serta mendorong manufaktur lokal untuk antibiotik yang hemat biaya.
Editor: Dipna Videlia Putsanra