tirto.id - Permohonan praperadilan telah diajukan mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kini tengah menyiapkan segala materi dan strategi yang dimilikinya guna menghadapi praperadilan tersebut.
"Penyidik KPK juga tidak terhalang ketika ada praperadilan tersebut. Penyidikan tetap kami lakukan baik itu pemeriksaan saksi, penggeledahan, penyitaan, termasuk juga tindak lanjut dari penangkapan tersangka Miryam S Haryani [MSH] kemarin," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Meski begitu, Febri mengaku, KPK belum mendapatkan secara resmi pemberitahuan tentang jadwal praperadilan Miryam dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Namun, kemungkinan itu akan diagendakan di bulan Mei ini apakah di pertengahan atau di waktu-waktu yang lain. Kami tunggu informasi dari Pengadilan kapan jadwal resminya," ucap Febri.
Sebelumnya, Mita Mulya, anggota tim kuasa hukum Miryam menyatakan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan Miryam di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap berjalan meskipun telah terjadi penangkapan terhadap kliennya itu.
KPK sendiri saat ini sedang mendalami lebih lanjut soal perjalanan Miryam selama menjadi buron setelah namanya dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Hari ini kami masih mendalami perjalanan tersangka Miryam S Haryani [MSH] selama setidaknya tiga hari ke belakang setelah DPO kami sampaikan ke Mabes Polri," kata Febri sebagaimana dilansir dari Antara.
Selain itu, Febri menjelaskan, KPK juga akan mendalami lebih lanjut pihak-pihak mana saja yang juga memiliki kontribusi mendorong atau menyebabkan Miryam S Haryani mengubah keterangan atau keterangan tidak benar dalam persidangan KTP-elektronik.
"Rangkaian pemeriksaan akan kami lakukan dalam waktu-waktu ke depan. Kami akan panggil sejumlah saksi," paparnya.
Sementara itu, KPK pada Selasa memeriksa empat orang saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi terkait memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Hari ini kami lakukan pemeriksaan terhadap empat saksi untuk tersangka Miryam S Haryani. Unsur-unsur saksinya ada yang salah satunya sopir, dua orang dari keluarga Miryam yang tinggal di Bandung yang pada saat itu diduga mengetahui keberadaan atau perjalanan tersangka. Yang satu orang lagi mahasiswi di salah satu universitas di Jakarta," kata Febri.
KPK telah menahan mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP-e.
"Tersangka Miryam S Haryani (MSH) dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (1/5/2017).
Sementara itu, Miryam tidak berkomentar banyak setelah dirinya selesai diperiksa oleh KPK setelah menjalani pemeriksaan sejak Senin sore.
"Ke lawyer saya saja," kata Miryam yang sudah mengenakan Rompi Tahanan KPK warna oranye saat keluar dari gedung KPK.
Ia pun membantah ada pihak yang menyuruhnya untuk kabur sehingga KPK mengirim surat ke Polri untuk memasukkan namanya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Enggak, saya liburan sama anak-anak," kata Miryam.
Miryam ditangkap oleh tim Satgas Bareskrim Polri di salah satu hotel kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin dini hari dan kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya sebelum diserahkan ke KPK pada Senin sore.
Sebelumnya, KPK telah mengirimkan surat kepada Polri untuk memasukkan salah satu nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), yaitu Miryam S Haryani, tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-e) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari