Menuju konten utama

KPK Belum Berencana Panggil Megawati di Penyidikan BLBI

KPK belum berencana memanggil mantan Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Putri terkait dengan penyidikan kasus dugaan korupsi dana BLBI yang sudah menjerat mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan Komisi Antirasuah belum berencana memanggil mantan Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Putri terkait dengan penyidikan dugaan korupsi dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Belum bisa dipastikan kapan datangnya. Karena kasus ini masih proses penyidikan awal. Jadi masih berada pada kasus penerbitan SKL dan siapa saja yang memiliki kewenangan. Dan baru dokumen yang kami dapatkan," kata Febri pada Rabu (26/4/2017).

Nama Megawati menjadi sorotan di kasus BLBI sebab dia selaku Presiden Kelima RI menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 untuk memberikan jaminan hukum kepada debitur yang menyelesaikan kewajiban membayar pinjaman BLBI.

Pada akhir 2002, Megawati meneken penerbitan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Akan tetapi, dana pinjaman BLBI senilai lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah akibat krisis moneter 1998 kemudian justru dikemplang hingga negara merugi sampai Rp 138,4 triliun.

Meskipun begitu, menurut Febri, penyidik Komisi belum menemukan keterkaitan antara Inpres itu dengan dugaan korupsi kasus BLBI. Penyidik Komisi masih akan mengkaji seluruh rangkaian peraturan yang mendasari kebijakan pemerintah terkait penanganan terhadap pengemplangan dana BLBI.

"Jangka pendeknya ada dua hal. Satu melihat lampiran awal pembentuk Undang-Undang atau kebijakan itu. Kedua, proses implementasi kebijakannya seperti apa. Mulai dari penerbitan SKL (Surat Keterangan Lunas), indikasi ada kewajiban Obligor dan sebagainya," kata Febri.

Kasus BLBI yang kini menjerat bekas Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung itu terjadi pada 2004. Dia diduga menyalahgunakan kewenangan dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Litigasi yang dimaksud adalah membawa penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh Sjamsul Nursalim ke pengadilan. Sedangkan restrukturisasi adalah upaya perbaikan cara penagihan ke debitur.

Hasil restrukturisasinya, dana Rp1,1 triliun bisa kembali ke negara melalui penagihan ke petani tambak. Namun, sisa utang Rp3,7 triliun tak ditagih ke BDNI sehingga merugikan negara.

Syafruddin kini sudah dicekal oleh KPK. Febri juga mengatakan KPK akan memanggil ulang sebagian dari 23 saksi yang sudah diperikan penyidik di kasus ini.

Menurut dia, ada dua orang yang akan segera dipanggil ulang, yakni Rizal Ramli dan Artalyta Suryani.

Rizal adalah salah satu mantan Menteri Keuangan ketika dana BLBI dikucurkan. Sedangkan Artalyta pernah jadi terpidana pemberi suap ke Jaksa Kasus BLBI Urip Tri Gunawan untuk membereskan kasus pengemplangan utang Sjamsul Nursalim.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom