tirto.id - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mempertanyakan keseriusan pemerintahan Joko Widodo dalam membereskan masalah pertanahan.
Dia mencatat rapat terbatas (ratas) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2019 lalu memang membahas masalah pertanahan. Namun, kata Dewi, hal itu bukan yang pertama kalinya pada tahun ini.
"Presiden sudah tiga kali dalam tahun 2019 meminta kabinetnya agar mempercepat penyelesaian konflik agraria," kata Dewi dalam diskusi di Komnas HAM, Jakarta Pusat, pada Selasa (14/5/2019).
Namun, Dewi menilai belum ada langkah konkret dan penindaklanjutan dari instansi-instansi terkait untuk mempercepat penyelesaian masalah agraria pada masa pemerintahan Jokowi.
Bahkan, Dewi menilai langkah yang diambil Pemerintah justru semacam paradoks. Sebab, meski kebijakan sudah baik secara konsep, dalam praktiknya banyak izin yang memicu konflik justru lebih cepat keluar.
"Itu paradoks yang membuat kami melihat bahwa [pemerintahan Jokowi] belum serius nih, ratas berkali-kali tapi tidak dijalankan," ujar Dewi.
Dewi menambahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria merupakan kebijakan yang baik.
Aturan tersebut, kata dia, menetapkan tanah-tanah untuk program reforma agraria berasal dari HGU bermasalah, lahan terlantar, dan kawasan hutan yang memicu konflik.
Meskipun demikian, menurut Dewi, ketentuan dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 justru tidak diterapkan secara utuh.
"Reforma agraria akhirnya hanya diterjemahkan sebagai pembagian sertifikat ke masyarakat secara umum yang memang menjadi kewajiban Kementerian ATR. Ia tidak ke arah untuk menyelesaikan konflik agraria yang ada," jelas Dewi.
"Redistribusi tanah yang dijanjikan pada rakyat berjalan sangat lambat," tambahnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Addi M Idhom