tirto.id - Di Jepang, tak ada acara olahraga yang melebihi kopopuleran turnamen bisbol nasional tingkat SMU yang di gelar di stadion Hanshin Koshien, Nishinomiya, Prefektur Hyogo. Kompetisi tertinggi liga bisbol profesional Jepang pun kalah tenar.
Hanshin Tigers, tim bisbol profesional yang bermarkas di Koshien, terpaksa menyingkir selama dua minggu sewaktu turnamen berlangsung dan merelakan kandang mereka dipakai anak-anak SMU.
Setiap bulan Maret, terutama Agustus, semua mata masyarakat Jepang tertuju ke Koshien. Banyak yang menyengajakan datang ke stadion yang berkapasitas lima puluh ribu tempat duduk ini. Tua-muda, lelaki-perempuan; masyarakat biasa sampai para pencari bakat. Bagi yang tak kebagian, mereka masih bisa mendengarkan radio atau menonton di layar kaca.
Tak seperti olahraga tingkat sekolah lainnya, turnamen Koshien memang diliput secara besar-besaran oleh media. Seperti dilansir Japan Times, tiap pertandingannya, misalnya, disiarkan stasiun televisi nasional NHK. Surat kabar dan majalah memuat laporan tentang kondisi stadion, hotel-hotel tempat para pemain menginap, sampai kota atau daerah asal sekolah yang berpartisipasi.
Tak mengherankan jika antusiasme masyarakat Jepang yang luar biasa ini merembes pula dalam industri hiburan. Perjuangan para siswa SMU untuk mencapai Koshien merupakan tema yag mudah dijumpai dalam manga, anime, serial drama, dan film.
Apa yang membuat turnamen Koshien sedemikian populer?
Bukan Sekadar Olahraga
“Di Jepang, baseball tingkat SMU hampir seperti agama,” tulis Robert Whitting dalam buku terkenalnya The Meaning of Ichiro: The New Wave from Japan and the Transformation of Our National Pastime.
Dan Koshien adalah tanah suci bagi pencinta bisbol di Jepang. Seperti berhaji yang tak afdol jika tak membawa air zamzam, begitu pula para pemain yang bertanding di Koshien tak akan lupa mengambil segenggam atau sekantong tanah lapangan di sana untuk dibawa pulang sebagai kenang-kenangan.
“Tanah Koshien itu suci bagi para pemain bisbol Jepang,” tutur Yuko Tsujinaka, salah satu staf panitia turnamen pada 2012, kepada Seattle Times. “Para pemain bisbol SMU berpikir tanah Koshien adalah sesuatu yang berharga, semacam harta karun.”
Ichiro Suzuki, pemain bisbol legendaris Jepang yang bermain di Amerika, sampai memajang tanah Koshien itu dalam wadah di museum yang didirikan orang tuanya di Toyotama.
Menurut Whitting, beda dengan di Amerika, bagi orang Jepang, bisbol lebih dari sekadar olahraga atau permainan. Namun lebih dipandang sebagai alat untuk mendidik, membentuk karakter, dan sebagai pelajaran akan kehidupan. Karena itu nilai-nilai macam kedisiplinan, pengorbanan, kerja keras, dan harmoni dalam hierarki sangat ditekankan.
“Di level SMU, ide bermain bisbol untuk senang-senang sangatlah asing,” ujar Whitting seperti dilansir Washington Post.
Hal senada diungkapkan pelatih SMU Komozawa, Keiji Sasaki. Menurutnya sebelum siswa-siswa SMU menjadi anggota masyarakat dan korporasi mereka harus dibiasakan lewat hubungan antar personal dalam hierarki.
“Lewat latihan semacam inilah, kita bisa membuat mereka lebih patuh dan fleksibel,” ujarnya.
Maka tak heran jika pengalaman pernah bermain di Koshien menjadi nilai plus. Menurut Whitting, mereka yang pernah tampil di Koshien hampir dijamin nantinya dapat memperoleh kontrak sebagai pemain profesional. Bagi mereka yang tak akan melanjutkan karier bisbol pun pengalaman di Koshien dapat memudahkan mereka untuk diterima di perusahaan-perusahaan besar mengingat penempaan karakter yang telah mereka lalui di SMU.
Sisi Gelap Koshien
Tampil di Koshien, sering dikatakan, hampir menjadi mimpi semua siswa SMU Jepang. Berlatih sebanyak 300 hari dalam setahun, tiga jam setiap hari kerja, dan empat atau lima jam pada saat akhir pekan merupakan hal lumrah yang dilakukan para siswa SMU Jepang saat mempersiapkan diri menghadapi turnamen.
Meski disanjung sebagai ajang yang merepresentasikan semangat tradisi Jepang akan disiplin dan kerja keras, namun turnamen Koshien kerap dikritik karena menuntut terlalu tinggi pada ketahanan fisik dan mental para pemain yang notabene masih remaja. Kritikan itu tak hanya pada aspek latihan yang berat namun juga saat turnamen berlangsung.
Makoto Kosaka dalam tulisannya berjudul “The Dark Side of Koshien Dream” diJapan Times menuturkan bagaimana selama dua minggu pemain yang berposisi sebagai pitcher dari SMU Waseda Jitsugyo, Saito, melakukan lemparan sebanyak 948 kali dalam 68 inning di turnamen Koshien 2006. Begitu pula dengan Tomohiro Anraku dari SMU Saibi melakukan lemparan 772 kali di turnamen Koshien musim semi 2013.
Tidak adanya aturan tentang batas maksimal lemparan, menurut Kosaka, membuat turnamen Koshien menjadi ajang yang tak mendukung perkembangan berkelanjutan dan masa depan para pemain muda.
“Salah satu problem utama dalam bisbol pemuda di Jepang adalah kurangnya pendidikan kepelatihan atau tata aturan yang bertujuan untuk merawat perkembangan atlet secara menyeluruh. Menteri pendidikan dan Federasi Baseball SMU Jepang tak menuntut para pelatih untuk belajar ilmu kepelatihan itu sendiri,” tulisnya.
Hal lain, menurut Kosaka, yang menjadi permasalahan adalah mentalitas untuk selalu menang. Karena itu banyak pelatih yang memforsir pemain andalan mereka dan tak melakukan rotasi.
“Masih banyak pelatih yang menurunkan pemainnya sampai cedera karena tekanan besar untuk menang. Tidak ada aturan sama sekali yang dapat mencegah kejadian ini agar tidak terjadi, hanya penilaian pelatih (yang tak memiliki sertifikat).”
Whitting menilai “sisi gelap” atau “sisi sadistik” itu memang ada di turnamen Koshien. Namun, menurutnya itu sudah menjadi bagian semua olahraga di Jepang sejak abad ke-19 dan sebelumnya.
“Sisi gelap itu berasal dari pengaruh sistem bela diri Jepang. Filosofi itu mengajarkan bahwa seseorang harus menderita untuk menjadi pemain yang handal. Semakin besar derita yang dialami pemain muda, semakin baik untuk ‘pendidikan’ mereka. Koshien dinilai amat penting hingga seorang pitcher akan rela mengorbankan karier profesionalnya untuk dapat menjuarai turnamen itu,” tandasnya.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS