Menuju konten utama

Korban Talangsari Tolak Deklarasi Damai, Mengadu ke Komnas HAM

Korban Talangsari mengadu ke Komnas HAM agar mendesak Kejaksaan Agung membawa kasus ini ke pengadilan. 

Korban Talangsari Tolak Deklarasi Damai, Mengadu ke Komnas HAM
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-573 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/2/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.

tirto.id - Para korban dari kasus Talangsari 1989 beserta kuasa hukum mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan deklarasi damai yang dilakukan oleh Menkopolhukam Wiranto dan beberapa pejabat lokal di Lampung. Mereka menyatakan deklarasi itu tanpa melibatkan korban.

Koordinator Paguyuban Korban Talangsari Lampung Edi Arsadad, menyesalkan deklarasi damai yang dilaksanakan 20 Februari lalu tanpa melibatkan para korban.

"Saya bersama tim 7 orang. Kami korban Talangsari kecewa dengan adanya deklarasi damai yang telah dilakukan tim Kemenkopolhukam dan Forkopimda Kabupaten Lampung, antara lain Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan Negeri, Camat Labuhan Ratu, Kepala Desa, dan satu orang masyarakat Talangsari yang nggak ada kaitannya," kata Edi di Komnas HAM, Senin (4/3/2019) siang.

Pada Sabtu 9 Februari 2-19, Edi mengaku sempat dihubungi oleh tim Kemenkumham untuk membicarakan pertemuan dengan para korban, beserta pihak Kemenkopolhukam. Namun saat deklarasi damai pada Rabu 20 Februari Kemenkopolhukam tidak memberikan kabar lagi.

"Kami kaget dan marah karena kami sudah berjuang 30 tahun tetap konsisten agar kasus ini dibawa ke pengadilan HAM," kata Edi.

Edi menjelaskan bahwa maksud mereka ke Komnas HAM agar mendesak Kejaksaan Agung segera memproses kasus Talangsari ke pengadilan tingkat lebih lanjut. Oleh karena itulah korban Talangsari mengadu ke Komnas HAM yang dinilai konsisten memperjuangkan korban peristiwa Talangsari.

"Kami minta Komnas HAM minta abaikan deklarasi damai. Karena sesuai UU yang ada, DPR harus bentuk tim adhoc agar kasus ini segera selesai," lanjutnya.

ā€œDeklarasi Damaiā€ versi pemerintah pada 20 Februari 2019 lalu menyepakati beberapa hal yakni;

Pertama, masyarakat melalui wakilnya pada DPRD telah menyatakan sikap untuk tidak memperpanjang kasus ini berdasarkan surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor: 170/32/XII/SK/DPRD-LTM/2000 tentang peristiwa Talangsari Way Jepara Kabupaten Lampung Timur.

Kedua, "bahwa selama 30 (tiga puluh) tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban."

Ketiga, ditekankan, para pelaku, korban, dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tersebut tidak diungkap kembali oleh pihak-pihak manapun.

Dokumen tersebut ditandatangani oleh Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Timur, Kapolres Lampung Timur dan Dandim 0429 Lampung Timur.

Selain itu "kesepakatan damai" itu diteken oleh KPN Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Ratu, Kades Rajabasha Lama, dan tokoh masyarakat Talangsari. Serta, Ketua Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dan Kemenkopolhukam, Brigjen TNI Rudy Syamsir.

Peristiwa Talangsari merupakan insiden di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur terjadi pada tengah malam menjelang 7 Februari 1989. Kampung tersebut diserbu oleh tentara di bawah pimpinan Kolonel Hendropriyono yang mencari tokoh bernama Warsidi. Dalam insiden berdarah ini sebanyak 246 orang tewas, termasuk Warsidi.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI TALANGSARI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Agung DH