tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik menilai, anak dan perempuan perlu mendapatkan bantuan baik hukum maupun pelayanan dari pemerintah dan lembaga bantuan hukum.
Hal ini disampaikan Direktur LBH Apik Veni Siregar terkait kasus yang menimpa WA, anak korban perkosaan yang melakukan aborsi dan kemudian dipidana.
“Dalam konteks layanan bagi anak dan perempuan, harus ada kerja sama antara penegak hukum dan pemerintah,” kata Veni di Jakarta, Minggu (5/8/2018).
Dalam kasus WA, Veni berpendapat, pemerintah Provinsi Jambi perlu turun tangan untuk memberikan pelayanan bagi korban seperti menanggung seluruh biaya pelayanan. Namun, lembaga bantuan hukum juga memiliki tanggung jawab untuk memuluskan agar pelayan tersebut didapatkan oleh korban.
Veni menambahkan, pemerintah setempat dapat bekerja sama dengan Pelayanan Terpadu, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PTP2PA) untuk memberikan pelayanan bagi korban dalam hal kesehatan fisik, mental, serta kuasa hukum.
Keberhasilan pelayanan tidak hanya dari sisi finansial, tapi segi keilmuan terkait perspektif gender juga diperlukan. “Jika mereka tidak memiliki kapasitas pemahaman terhadap korban, maka tidak akan berhasil,” ucap Veni.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny Aryani menyatakan pemerintah dan lembaga bantuan hukum harus mampu memaksimalkan pelayanan bagi WA. Misalnya soal nanti ia akan tinggal oleh siapa usai menjalani hukuman dan bagaimana pendidikan yang akan ia dapatkan kelak.
“Semua harus dipikirkan secara komprehensif, karena WA butuh perlindungan,” jelas dia.
Adriana beralasan, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, setiap korban berhak mendapatkan bantuan rehabilitasi sosial dan psikologis.
Kasus WA membuka kembali debat mengenai aborsi. Pada dasarnya ada dua kelompok yang punya pandangan yang berbeda soal ini: pro-life dan pro-choice. Pro-life menganggap aborsi, bagaimanapun, tidak dibenarkan bahkan sebelum janin mencapai usia 40 hari.
Kalangan ini menganggap aborsi sama seperti pembunuhan karena menilai kehidupan dimulai ketika sperma membuahi sel telur. Sementara pro-choice sebaliknya, mereka menyetujui aborsi dengan dalil bahwa tubuh adalah otoritas perempuan, dan janin adalah bagian dari tubuh mereka.
Baca juga artikel terkait PERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika
tirto.id - Hukum
Penulis: Adi Briantika
Editor: Agung DH
Editor: Agung DH