tirto.id - Keputusan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menghapus subsidi Public Service Obligation (PSO) untuk lima kereta api (KA) ekonomi jarak jauh menuai kritik. Kebijakan ini justru dinilai akan memberatkan masyarakat.
Pemerhati transportasi publik, Azaz Tigor Nainggolan menilai pengalihan subsidi tersebut sama saja dengan pencabutan. Sebab, kata Tigor, hampir seluruh anggaran PSO disalurkan ke kereta perkotaan.
Akibatnya, kata Tigor, tarif lima kereta jarak jauh dipastikan bakal mengalami kenaikan. Beberapa di antaranya: KA Logawa (Purwokerto-Jember), KA Brantas (Blitar-Pasar Senen), KA Pasundan (Surabaya Gubeng-Kiaracondong Bandung), KA Gaya Baru Malam Selatan (Surabaya Gubeng-Pasar Senen), serta KA Matarmaja (Malang-Pasar Senen).
“Mencabut subsidi kelima rute perjalanan kereta tersebut adalah sebuah kebijakan pemerintah yang memberatkan masyarakat kecil dan mendorong masyarakat berpindah menggunakan kendaraan pribadi,” kata Tigor melalui keterangan resmi yang diterima Tirto, Rabu (2/1/2019).
Padahal, kata Tigor, hal itu bakal memberatkan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang selama ini sudah menikmati layanan kereta jarak jauh.
Alasan Pengalihan Subsidi
Penyelenggaraan PSO PT KAI ini telah ditandatangani Dirjen Perkeretaapian Kemenhub akhir Desember lalu. Berdasarkan keputusan ini, maka anggaran untuk subsidi tarif sebesar Rp2,373 triliun kini diprioritaskan untuk penumpang kereta perkotaan dengan porsi sebesar Rp2,04 triliun.
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Edi Sukmoro mengatakan, kebijakan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan nomor 2030/2018.
“Dana PSO ini memang diprioritaskan untuk KRL dan KA (Kereta API) ekonomi jarak dekat, karena KA-KA itulah yang digunakan sebagian besar warga beraktifitas sehari-hari sehingga diharapkan semakin banyak warga yang menggunakan kereta yang pada akhirnya mengurangi beban jalan raya,” kata Edi seperti dilansir laman resmi KAI, Rabu (2/1/2018).
Dalam situs resmi KAI, dijabarkan bahwa kereta Commuter Line Jabodetabek mendapat subsidi paling besar pada kategori kereta perkotaan, yakni Rp1,31 triliun.
Sementara sisanya digunakan untuk peningkatan pelayanan kereta ekonomi jarak dekat sebesar Rp640,05 miliar, dan Kereta Rel Diesel (KRD) ekonomi sebesar Rp88,04 miliar.
Menanggapi keputusan ini, Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai kebijakan tersebut cukup logis lantaran tujuannya adalah mendorong peningkatan penumpang di Jabodetabek.
Jika target KAI untuk mendorong 1,2 juta orang menggunakan Commuter Line pada 2019 berhasil, kata Djoko, maka kepadatan di ruas-ruas jalan Jakarta juga bakal berkurang mengingat banyaknya penduduk yang bekerja di wilayah itu.
“Tapi ya ini harus benar-benar ditujukan untuk peningkatan pelayanan publik. Jangan sampai kereta Commuter Line desak-desakan, terus jadwal terlambat,” kata Djoko.
Di samping itu, Djoko juga yakin bila kebijakan tersebut telah diperhitungkan dengan matang oleh Ditjen Perkeretaapian dan PT KAI.
Sebab, kata Djoko, hampir setiap tahun, mereka mendata jumlah penumpang di masing-masing kategori kereta dan melihat sektor mana yang pertumbuhan penumpangnya sangat lambat.
“Jadi dirjen perkeretaapian itu ada hitung-hitungannya. Enggak sembarangan. Dan kalau orang jarak jauh, asumsinya, kan, justru dia enggan kalau pindah ke kendaraan pribadi. Jadi mau enggak mau tetap pakai transportasi lain, selain kereta,” kata Djoko.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz