Menuju konten utama

Kontroversi Napi Wajib Baca Alquran Berujung Pencopotan Kalapas

Peneliti ICJR menilai kewajiban napi bisa baca Alquran berpotensi diskriminatif dan menghalangi hak warga binaan untuk mendapat pembebasan bersyarat.

Kontroversi Napi Wajib Baca Alquran Berujung Pencopotan Kalapas
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Menteri Hukum dan Hal Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mencopot Kepala Lapas Klas II B Polewali Mandar Haryoto. Ini menyusul kerusuhan di lapas akibat pemberlakuan kewajiban membaca Alquran bagi narapidana yang hendak menjalani pembebasan bersyarat.

Meskipun merasa inisiatif itu baik, Yasonna menilai kewajiban itu melampaui kewenangan Haryoto selaku kalapas. Politikus PDIP itu khawatir, narapidana yang secara aturan sudah layak mendapat pembebasan bersyarat justru tertunda karena tak memenuhi syarat dapat membaca Alquran.

"Tujuannya baik, tetapi memaksakan dengan cara begitu, kan, enggak boleh. Akhirnya memancing persoalan. Sekarang orangnya sudah ditarik," kata Yasonna seperti dikutip Antara.

Prosedur pembebasan bersyarat memang telah diatur di dalam Pasal 82 Peraturan Menkumham Nomor 03 tahun 2018 [PDF].

Dalam beleid itu syarat mendapat pembebasan bersyarat antara lain: 1. Telah menjalani 2/3 masa pidana, 2. Berkelakuan baik selama sembilan bulan terakhir, 3. Mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat, 4. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.

Sebaliknya, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf tak percaya syarat membaca Alquran memicu keributan di lapas. Ia merasa aturan itu dibuat untuk menstimulus narapidana agar mau membaca Alquran.

Politikus PKS itu bahkan menuding ada pihak yang tidak senang dengan islamisasi di dalam lapas.

“Persoalan menonaktifkan itu menjadi penanda adanya kegerahan sebagian pihak yang tidak nyaman dengan proses Islamisasi di Lapas," kata Muzammil seperti dikutip Antara, Selasa (25/6/2019).

Namun, Wakil Ketua Komnas HAM Sandrayati Moriaga mendukung langkah menkumham. Ia menilai meski urusan keimanan menjadi salah satu bagian dari pembinaan di dalam lapas, tapi urusan keimanan menjadi urusan pribadi masing-masing.

"Perilaku yang paling utama, tapi urusan khatam atau tidak khatam bukan urusan kepala lapas," kata Sandrayati di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).

Hal senada diungkapkan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Ia pun mempersilakan jika lapas hendak menggelar program membaca Alquran. Namun, Erasmus menilai tidak seharusnya itu menjadi kewajiban.

Alasannya, kata Erasmus, selain melampaui kewenangan sebagai kalapas, kewajiban itu juga berpotensi membuat diskriminasi dan menghalangi hak warga binaan untuk mendapat pembebasan bersyarat.

“Bagi narapidana Islam yang tidak bisa membaca Alquran, kan, otomatis dia tidak bisa lulus, sementara narapidana agama lain, kan, tidak perlu. Artinya, kan, dia mendapat syarat yang lebih mudah," kata Erasmus saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (25/6/2019).

Di sisi lain, Erasmus menduga "akrobat" yang dilakukan Kalapas Polewali Mandar dilatarbelakangi kesulitan dalam menjalankan program pembinaan di dalam lapas.

Kemenkumham memang memiliki program pembinaan untuk narapidana. Korps Pengayoman pun memiliki seperangkat indikator untuk menentukan apakah seseorang berkelakuan baik dan layak mendapat pembebasan bersyarat.

Namun, kata Erasmus, itu tidak bisa berjalan lantaran lapas kelebihan beban (overcrowded).

“Anda bagaimana mau bina 5.000 orang atau 6.000 orang di Cipinang sementara petugas lapasnya cuma berapa? 40 paling maksimal. Anda gimana mau bina narapidana dalam kondisi seperti itu?" kata dia mencontohkan.

Baca juga artikel terkait LAPAS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz