tirto.id - Prabowo Subianto, bekas Danjen Kopassus yang sudah tiga kali gagal memenangi pemilihan presiden melontarkan kritik terhadap rezim Joko Widodo: kepemimpinan yang tak kuat, ketiadaan kepastian hukum, dan tidak harmonisnya hubungan antar lembaga negara. Ia merangkumnya dengan istilah ugal-ugalan
"Perlahan-lahan mimpi untuk mengembalikan kejayaan Indonesia luntur oleh cara ugal-ugalan dalam mengelola negara," demikian kata bekas mantu Suharto itu dalam unggahan yang diberi judul "Make Indonesia Great Again".
Tidak ada parameter yang jelas tentang semua yang Prabowo sebut itu. Namun jika melihat janji kampanye Jokowi empat tahun lalu dan realisasinya kini, tudingan Prabowo ada benarnya.
Misalnya soal impor. Pada 2014 silam Jokowi sempat menyebut bahwa kebijakan impor pangan harus dihentikan karena Indonesia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Tapi faktanya impor terus berlanjut. Kementerian Perindustrian misalnya, merekomendasikan impor garam sampai 3,7 juta ton garam industri. Sementara Kementerian Perdagangan memberi izin impor beras 500 ribu ton.
Selain impor, beberapa janji lain yang tidak atau belum terealisasi adalah menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, pertumbuhan ekonomi tujuh sampai delapan persen per tahun, membentuk kabinet ramping dan berasal dari kalangan profesional, dan menghapus ujian nasional.
Eks Gubernur DKI Jakarta itu juga pernah berjanji meningkatkan anggaran pertahanan hingga tiga kali lipat. Faktanya, hingga 2017 lalu kenaikan tidak seprogresif itu. Anggaran memang meningkat dari angka Rp86,4 triliun di 2014, tapi cuma Rp114,9 triliun pada APBN 2017 atau tak lebih dari dua kali lipat.
Apa yang dikatakan Prabowo diperjelas oleh orang di sekitarnya. Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria misalnya, mengatakan kata "ugal-ugalan" tepat belaka dengan memberi beberapa contoh.
"Bagaimana enggak ugal-ugalan, hari ini mengumumkan BBM naik kemudian diturunkan lagi. [Pejabat] yang satu ngomong beras cukup, satunya kurang; pejabat satu bilang jangan impor beras, yang lain impor terus," ujar Riza di kantor KPU RI, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Berlebihan Tapi Diperlukan
Berkebalikan dengan Riza, juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Ace Hasan Syadzily menyebut apa dikatakan Prabowo berlebihan. Jokowi, katanya, telah menjalankan tugas sesuai janjinya sebelum jadi presiden.
Namun menurutnya apa yang dilakukan Jokowi tidak pernah akan ada sisi positifnya di mata Prabowo yang merupakan lawan Jokowi pada pemilu mendatang. "Sebaik apa pun yang dilakukan pemerintahan akan dinilainya secara negatif," katanya.
Lili Romli, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyoroti diksi "ugal-ugalan" Prabowo. Menurutnya dalam derajat tertentu kritik calon presiden (capres) nomor urut 2 ini bisa jadi benar.
"Kalau ada kekurangan-kekurangan, iya. Kritik terhadap kekurangan dan kelemahan mungkin iya. Tapi menggunakan kata ugal-ugalan menurut saya enggak pas. Itu kan bahasa yang vulgar," kata Romli kepada Tirto.
Peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada Arya Budi menyoroti soal kelemahan kepemimpinan Jokowi yang disinggung Prabowo dengan menengok kasus pengangkatan Arcandra Tahar sebagai menteri BUMN.
Arcandra dilantik pada 27 Juli 2016. Tidak lama kemudian baru diketahui ia memiliki kewarganegaraan ganda, dan itu melanggar aturan. Fakta itu membuat Jokowi akhirnya memberhentikan Arcandra pada 15 Agustus 2016.
Terkait penggunaan diksi ugal-ugalan, Arya mengatakan itu memang disengaja. Tujuannya tidak lain untuk mendelegitimasi Jokowi sekaligus di sisi lain memperoleh simpati publik.
"Itu cara memposisikan diri sebagai penantang," kata Arya kepada Tirto.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino