Menuju konten utama

Kontroversi Kepemilikan Senjata Api

Sebanyak 50 persen kepemilikan senjata api di Indonesia disinyalir ilegal. Penyebabnya adalah izin kepemilikan yang tak lagi diperpanjang. Kepolisian harus menginventarisir peredaran senjata ini, kalau perlu mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) bagi mereka yang memiliki senjata ilegal.

Kontroversi Kepemilikan Senjata Api
Petugas kepolisian menunjukkan tersangka berikut barang bukti senjata api (senpi) saat ungkap kasus di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Minggu (14/2). Unit Jatanras Sat Reskrim Polrestabes Surabaya menangkap tersangka berinisial HL (55) atas kasus penggunaan senjata api tanpa izin, sekaligus mengamankan barang bukti satu pucuk senpi merk EKOL Firat Magnum Kaliber 9 mm P A K, satu selongsong amunisi, dan satu senjata jenis 'airgun'. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/kye/16

tirto.id - Fenomena kalangan sipil memiliki senjata api digunakan sebagai bela diri (Self Defense) tidak bisa dibilang menjadi budaya seperti layaknya di Amerika. Di Indonesia, penjualan senjata api ilegal masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tidak seperti di Filipina dan Thailand, di mana penjualan senjata ilegal dilakukan secara terang-terangan.

“Jika dibandingkan dengan Filipina dan Thailand, Indonesia jauh lebih baik,” ujar seorang peneliti tentang senjata api Indonesia, saat berbincang dengan tirto.id di kawasan Jakarta Pusat. Diapun cerita banyak soal peredaran senjata api termasuk penyelundupan yang terjadi di Indonesia. “Kalau di Amerika lebih gila lagi,” katanya.

Di Indonesia, kepemilikan senjata api sudah diatur dalam Undang-Undang bagi mereka yang memang bisa memiliki senjata api secara resmi. UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 mengatur bahwa barang siapa yang menyalahgunakan senjata api dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Sementara berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2012, kepemilikan senjata angin harus mendapatkan izin dari Kepolisian.

Meski payung hukumnya sudah ada, tetapi penyalahgunaan senjata api tetap marak. Berdasarkan data Markas Besar Kepolisian Indonesia, pada 2011 setidaknya terjadi 453 kasus penyalahgunaan senjata api. Penyalahgunaan itu pun tak luput dari izin kepemilikan dan penggunaan senjata yang dikeluarkan oleh Kepolisian.

Kepolisian sejak 2009 sebenarnya sudah tak lagi mengeluarkan izin baru untuk senjata api. Menurut Indonesia Police Watch (IPW) kepemilikan senjata api yang resmi tersebut hanya sekitar 50 persen dari total kepemilikan senjata api di Indonesia. Selebihnya merupakan kepemilikan yang tidak sah.

“50 persen dari perizinan yang dikeluarkan polisi,” ujar Ketua Presidium IPW, Neta S Pane saat berbincang dengan tirto.id.

Diapun menjelaskan, jika keberadaan senjata ilegal itu karena kurangnya pengawasan dari Kepolisian dari perizinan senjata yang sudah kadaluarsa. “Banyak sekali mereka yang semula memegang izin lalu tidak memperpanjang izinnya,” ujar Neta.

Dari Tangan ke Tangan

Kepolisian seharusnya mengawasi kepemilikan pemegang izin resmi senjata api termasuk juga senjata yang dipegang oleh purwawirawan. Neta S. Pane menilai, banyak kasus senjata-senjata berasal dari purnawawiran itu justru keberadaannya tak lagi terkontrol. Tak hanya itu, polisi juga harus mewaspadai keberadaan senjata rakitan dan selundupan senjata di daerah konflik.

“Harus ada tindakan serius dari aparatur negara terutama polisi untuk melakukan operasi sapu jagat sehingga senjata ilegal itu bisa ditertibkan, terutama lima sumber senjata tadi,” katanya.

Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Polri, Komisaris Besar Rikwanto pun mengakui jika senjata ilegal beredar di tengah masyarakat jumlahnya mencapai ribuan. Rikwanto pun menjelaskan, kasus kepemilikan senjata ilegal melibatkan Ketua Persatuan Artis Seluruh Indonesia, Gatot Brajamusti menjadi contoh pemindahtanganan senjata yang tidak dilakukan secara resmi. Padahal kata dia, hibah atau pemindah tangan senjata bisa dilakukan asal mengikuti peraturan perundang-undangan. Hingga kini Kepolisian pun masih mencari tahu pemegang legal dua senjata yang ditemukan saat penggeledahan rumah Gatot di Kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.

“Boleh tetapi tetap syaratnya harus sama, harus mengikuti kesehatan juga, psikologi dan latihan menembak,” ujar Rikwanto.

Moratorium kepemilikan senjata api

Pangkal muara peredaran senjata ilegal dipegang oleh kalangan sipil yang tak termasuk dalam golongan orang yang berhak memiliki izin resmi memang bermuara dari regulasi yang dikeluarkan. Padahal jika merujuk pada aturan, persyaratan memiliki senjata api begitu rumit. Selain itu, duit untuk melakukan pembelian senjata pun bukan dalam jumlah sedikit.

Praktisi hukum juga anggota Persatuan Penembak dan Berburu Indonesia (Perbakin), Henry Yosodiningrat mengatakan, mengurus kepemilikan senjata api di Indonesia bukan hal yang rumit. Menurut dia hal yang paling rumit dari kepemilikan senjata adalah lama waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian senjata. Sedangkan untuk mengurus izin, tak banyak biaya yang dikeluarkan.

“Bukan perizinannya yang mahal. Saya lupa persisnya, tapi sekitar Rp200 juta lah itu mulai dari harga senjatanya. Perizinan itu enggak mahal, boleh dibilang enggak ada biaya. Impornya saja yang lama prosesnya. Proses perpanjangan izin seminggu saja selesai,” ujar Henry saat ditemui tirto.id di Hotel Bidakara,Jakarta Selatan, Selasa kemarin.

Henry pun menegaskan untuk menekan peredaran senjata api ilegal yang berada di kalangan sipil, Kepolisian perlu melakukan moratorium perizinan senjata. “Kemudian orang-orang yang memiliki senjata api dimoratorium untuk izin baru,” kata Henry.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti