tirto.id - Isu ketahanan air mendadak ramai diperbincangkan setelah Prabowo Subianto menyinggung soal impor air dalam debat kedua Pilpres 2019. Menurutnya, ketahanan air merupakan salah satu kunci kedaulatan satu negara.
“Kita harus berdiri di atas kaki kita sendiri, kita harus swasembada pangan, swasembada energi, swasembada air, agar kita bisa survive sebagai suatu bangsa. Suatu negara dikatakan bisa berhasil kalau bisa memenuhi pangan untuk rakyatnya, energi untuk rakyatnya, dan air tanpa impor,” kata Prabowo dalam debat, Minggu (17/2/2019).
Isu impor ini menjadi hangat lantaran sejumlah daerah di Indonesia mengalami krisis air bersih. Namun, impor ini nyatanya tak berkaitan dengan air bersih melainkan terkait kebutuhan industri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengakui soal ini. Menurut dia, impor yang dilakukan hanya jenis air mineral. Jenis air ini merupakan salah satu bentuk pelayanan premium untuk pengunjung dan tamu hotel kelas menengah ke atas.
“Itu biasa untuk hotel dan resto high class. Ada yang air alami, istilahnya natural spring water. Memang beberapa area kandungan airnya secara alami beda,” kata Adhi kepada reporter Tirto, Rabu (20/2/2019).
Lebih Banyak Ekspor
Dihubungi secara terpisah, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyebut impor tersebut sebagai hal yang lumrah. Selain jumlahnya hanya 3.168 ton pada 2017, pangsa pasar air impor ini terbilang kecil.
“[Pasarnya] Kelas menengah atas. Kecuali impor air karena Indonesia kekeringan, itu baru bermasalah. Datanya, kan, tidak bilang begitu,” kata Bhima kepada reporter Tirto.
Data yang dimaksud Bhima tak lain data BPS dan UN Comtrade. Berdasarkan data BPS--tanpa mencantumkan jenis kemasan yang digunakan saat pengiriman ke Indonesia--impor air ke Indonesia pada 2016 tercatat sebanyak, 202 ton dan pada 2017, naik menjadi 402 ton. Sementara dalam periode Januari-November 2018, impor air tercatat sebanyak 846 ton.
Air yang diimpor ini kebanyakan berasal dari Perancis. Biasanya, air yang diimpor itu merupakan air mineral berkategori luxury atau high-end. “Bedanya, air impor dan dalam negeri adalah kualitas air mineralnya dan brand. 87% air mineral sisanya es dan selain es,” ujar dia.
Meski demikian, data impor itu sebenarnya tak signifikan bila dibandingkan dengan ekspor air yang dilakukan Indonesia sejak 2007. Merujuk data BPS, jumlah ekspor ini meningkat setiap tahun.
Kenaikan cukup signifikan terjadi pada periode 2013 hingga 2018. Pada 2013, Indonesia mengekspor air sebanyak 43.585 ton, kemudian naik jadi 45.770 ton pada 2014, lalu 53.956 ton pada 2015, 63.442 ton pada 2016, 91.187 ton pada 2017, dan 105.028 ton pada 2018.
Menurut ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal, sejumlah negara di ASEAN menjadi ladang ekspor air Indonesia seperti Singapura, Malaysia sampai Timor Leste. Hanya saja, air mineral yang dijual RI sangat murah.
“Kalau kita beli air, kan, yang premium ya yang impor itu 0,7 dolar AS/kg. Kalau kita jual keluar (ekspor) paling hanya 0,2 dolar AS/kg,” kata Fithra kepada reporter Tirto.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Industri Minuman Ringan dan Pengolahan Hasil Hortikultura Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Merrijantij Punguan Pintaria menjelaskan impor air ini biasanya diperuntukkan bagi ekspatriat atau industri kosmetik dan farmasi.
Biasanya, kata dia, Indonesia mengimpor air dari Perancis, Korea, dan Fiji. Ini dilakukan karena ada spesifikasi air baku yang dibutuhkan para produsen.
“Kami impor karena beda spesifikasi air bakunya. Untuk keperluan pelengkap variasi lini produk dan marketing untuk pasar menengah atas,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Mufti Sholih