tirto.id - Seorang kontraktor lokal di Provinsi Kepulauan Riau harus menggadaikan rumahnya, karena pembayaran proyek tertunda pada 2018 lalu. Bank akhirnya menyita rumah ini karena pemerintah tak kunjung melunasi biaya.
“Rumah disita bank lantaran utang tidak dibayar pemerintah. Pemerintah mengistilahkan utang itu dengan nama tunda bayar, yang membuat kontraktor bangkrut,” kata Sekretaris Gapensi Kepri, Roy Penangsang.
Nasib kontraktor Riau ini kontradiktif dengan pembangunan infrastruktur yang gencar selama 5 tahun terakhir di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Ribuan bahkan puluhan ribu pelaku usaha konstruksi babak belur di tengah gegap gempita maraknya pembangunan infrastruktur periode 2014-2019. Bahkan tak sedikit industri yang akhirnya tutup usia.
Kamar Dagang dan lndustri (Kadin) Indonesia mengeluhkan jumlah kontraktor swasta lokal yang gulung tikar selama periode 2014-2018 karena kurang dilibatkan dalam proses pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Kadin Indonesia, Diding Sudirdja Anwar, menyatakan ada sekitar 37.000 pengusaha yang gulung tikar selama periode tersebut.
"Kami mengambil catatan dari Gapensi. Pada periode 2014 tercatat ada 80.000 pengusaha konstruksi swasta lokal, angka tersebut turun drastis dibandingkan data Gapensi yang mencatat hanya ada 43.000 pengusaha saja yang tersisa di 2018," kata dia, dalam sebuah diskusi, di Menara Kadin, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (10/10/2019).
Ia menyayangkan pembangunan infrastruktur yang secara masif dibangun di Indonesia tidak berdampak baik pada pertumbuhan bisnis di sektor konstruksi lokal.
"Saat pembangunan infrastruktur di dalam negeri berjalan masif malah banyak kontraktor swasta yang justru gulung tikar. Maka dari itu, Kadin banyak memberikan perhatian lebih pada kontraktor swasta terutama yang kecil dan menengah," jelas dia.
Dominasi BUMN Karya
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), asosiasi pengusaha yang menaungi industri di sektor konstruksi menguatkan temuan tersebut.
Sekjen Gapensi, Andi Rukman Karumpa menjelaskan, total pengusaha konstruksi di Indonesia ada 130.000 orang. Sementara untuk yang terdaftar di Gapensi terdapat 83.000 orang.
Jumlah ini turun menjadi 32.000 pada 2018. Faktor penurunan jumlah ini, kata Rukman, tak tunggal. Ada yang gulung tikar dan beralih ke asosiasi pengusaha kontruksi lainnya.
"Kenapa dia berkurang, pertama karena banyaknya asosiasi. Tentu banyak anggota yang pindah asosiasi. Kedua tentu anggota ingin punya pelayanan dong mana yang lebih murah dan lebih cepat," kata dia kepada Tirto, Sabtu (12/10/2019).
Rukman juga menjelaskan, dari 130.000 pengusaha konstruksi, hanya 1 persen yang bisa ikut dalam proyek pambangunan infrastruktur pemerintah.
Menurut dia, hal ini akibat proyek pemerintah memiliki nilai investasi ratusan miliar rupiah. Sementara pengusaha konstruksi tak seluruhnya mampu untuk mengelola proyek bernilai besar tersebut.
"Contohnya pekerjaan Tol Trans Sumatera diberikan penugasan kepada BUMN seperti Hutama Karya. Tapi kan tentu pengusaha yang mau kerja sama dengan pemerintah itu kan harus melihat pasarnya. Kalau saya ikut membangun kapan BEP-nya," jelas dia.
Hal ini, lanjut dia, membuat para kontraktor tersebut memilih proyek-proyek yang memiliki potensi BEP (break even point) yang cepat. Misalnya pembangunan bandara dan pelabuhan.
"Kontraktor kecil dan menengah ini mati karena dia enggan punya pangsa pasar. Nah, diharapan supaya BUMN yang mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan kepercayaan itu ya mbok ya melibatkan pengusaha-pengusaha lokal. Tidak ada kata lain untuk dibuatkan segmentasi untuk mereka," terang dia.
Perlu Regulasi yang Berpihak
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adinegara menilai, ada berbagai faktor yang bisa jadi pemicu bangkrutnya pelaku industri tersebut.
Pemicu utama, kata dia, mayoritas proyek infrastruktur dikuasai oleh BUMN dan anak perusahaan atas nama sinergi BUMN.
Menurutnya, ada state capitalism yakni korporasi milik negara terlalu dominan. Sedangkan, proyek yang harusnya bisa dikelola oleh kontraktor swasta tidak diberikan dengan banyak alasan.
"Solusinya harus ada batasan nilai tertentu yang bisa diserahkan ke kontraktor swasta," kata dia.
Selain itu, lanjutnya, pembayaran proyek infrastruktur memakan waktu yang lama. Ia menduga, karena masalah likuiditas di internal BUMN, sehingga banyak kontraktor yang tak lagi ikut tender proyek pemerintah, karena trauma. Cerita kontraktor lokal Kepri bisa jadi contoh.
“Hanya kontraktor skala besar yang mampu bertahan karena cashflow-nya kuat. Sementara kontraktor kecil, mana bisa bertahan kalau pembayaran terlambat. Ini juga jadi faktor pembangunan infrastruktur tidak mampu menciptakan efek berganda yang besar terhadap perekonomian,” katanya.
Ia menawarkan solusi agar memperbaiki skema pembayaran proyek tepat waktu.
Kemudian, terkait TKDN (tingkat komponen dalam negeri) di beberapa proyek proyek strategis nasional (PSN) perlu diperbesar agar bisa menyerap lebih banyak bahan baku lokal.
“Hal ini otomatis membuat kontraktor kecil bisa ikut terlibat dalam pengerjaan proyek maupun suplai bahan baku,” ujarnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali