tirto.id - Saat berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalamah, Lampung Timur, Jokowi bagi-bagi tips cara memilih pemimpin. Mula-mula yang mesti dilihat adalah rekam jejaknya. Setelah itu karakternya, apakah memiliki sifat temperamental atau tidak. “Lihat suka marah-marah enggak? Suka ngamuk-ngamuk atau enggak?” kata Jokowi pada Jumat (23/11).
“Kalau sudah dilihat silakan dipilih.”
Bagi Ferry Julianto, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi apa yang diucapkan Jokowi sejalan dengan kosa kata yang dimunculkan mantan gubernur DKI Jakarta itu belakangan ini. Ferry mengingatkan bagaimana Jokowi memunculkan kosa kata “sontoloyo”, “gederuwo”, “gebuk”, dan terakhir “tabok”.
“Sekarang yang sering marah-marah itu Jokowi. Dia ternyata sangat emosional,” ucap kepada Tirto, Sabtu (24/11/2018).
Bukan cuma sekadar kata-kata, Ferry menuding gaya pemerintahan Jokowi juga akrab dengan kekerasan. Ia kasih contoh bagaimana sejumlah massa aksi #2019GantiPresiden diintimidasi dan dipersekusi tanpa ada tindak lanjut hukum oleh polisi. Selain itu kata Ferry, pemerintah juga seolah diam dengan kekerasan yang dialami penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Bagi Ferry kosa kota kontroversial seperti “sontoloyo” dan “tabok” yang diucapkan Jokowi tak lebih dari upaya mengalihkan sejumlah isu yang memojokkan pemerintah.
Juru bicara BPN Prabowo-Sandi lainnya Andre Rosiade percaya masyarakat sudah bisa membedakan mana pemimpin yang suka marah dan tidak..
“Rakyat tau siapa yang suka marah. Belajarlah dari pak Prabowo. Jadi supaya santai menghadapi serangan hoaks,” ucap Andre.
Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf menilai kosa kata “sontoloyo”, “gebuk”, “tabok” tidak merefleksikan kemarahan Jokowi. Kosa kata itu menurutnya upaya Jokowi menyampaikan perasaan kepada masyarakat agar dapat lebih dipahami.
“Agar mudah dipahami dan cepat masuk di kepala orang. Itu kan bahasa sehari-hari rakyat bahwa presiden juga dapat menyatakan ketegasan,” ucap Karding.
Karding setuju dengan Jokowi bahwa memilih pemimpin harus dilihat karakternya. Pemimpin yang karakternya ramah akan bisa berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat.
Akan tetapi, adanya kata-kata “gebuk”, “tabok”, dan “sontoloyo” dalam pidato Jokowi sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Abdul yang juga merupakan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menganggap kata-kata itu sebagai hal yang wajar.
“Agar mudah dipahami dan cepat masuk di kepala orang. Itu kan bahasa sehari-hari rakyat bahwa presiden juga dapat menyatakan ketegasan,” ucap Karding.
Bagi Karding Jokowi ialah sosok pemimpin yang tenang. Selama empat tahun menjadi presiden Jokowi tidak bereaksi emosional saat difitnah sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), mengkriminalisasi ulama, dan disebut antek asing. Bahwa kemudian Jokowi akhirnya bereaksi itu karena ia tidak ingin fitnah itu terus disebar dan dipercaya masyarakat.
“Kalau itu (ucapan genderuwo, tabok) memang sengaja dilakukan. Jadi harus tegas. Rakyat harus dikasi tahu. Ini (Hoaks) merusak persatuan, karakter bangsa, dan Pancasila,” ucap Karding.
Peneliti komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai kosa kata agresif yang diucapkan Jokowi tidak bisa diartikan secara harfiah. Ia mencontohkan kata “gebuk” yang diucapkan Jokowi apabila PKI bangkit, menurutnya kata itu tidak harus dimaknai sebagai tindakan melukai fisik.
“Jangan diartikan harafiah,” ujar Emrus.
Emrus menilai Jokowi cukup mampu menjaga emosi dalam setiap komunikasi. Ini misalnya tampak saat Jokowi secara argumentatif membantah ia kader PKI dengan cara mengaitkan tahun pembubaran PKI dengan tahun kelahirannya.
Peneliti sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun menilai kosa kata agresif yang dilontarkan Jokowi merupakan upaya membangun perang psikologis ke lawan politik. Namun ia ragu Jokowi sudah mengkalkulasi secara matang imbas dari ucapan itu terhadap citra politiknya.
“Saya mengkhawatirkan Pak Jokowi dan pemimpin lain tidak memiliki kalkulasi dari diksi dan narasi yang dikeluarkan,” jelas Ubedilah.
Ubedillah bilang ucapan agresif yang dilontarkan Jokowi bisa saja datang dari percakapan sehari-hari orang di sekitarnya. Selain itu diksi agresif juga bisa menggambarkan suasana psikologis yang sedang dirasakan Jokowi.
“Jadi itu menggambarkan suasana psikologis yang sedang tidak baik,” ujar Ubeidillah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Jay Akbar