tirto.id - Girl group asuhan JYP Entertainment, TWICE telah memulai debutnya di industri musik Korea Selatan dengan merilis lagu-lagu hits sejak debutnya di tahun 2015.
TWICE sendiri adalah girl group yang cukup sering menggunakan konsep imut dan polos, serta musik yang mereka bawakan juga cenderung ceria dan mampu memikat hati para penggemar.
Sementara itu, dewasa ini banyak girl group baru yang bermunculan dengan konsep yang baru dan fresh, serta berlomba-lomba membuat musik yang juga berkualitas.
Sehingga, jika TWICE tidak mampu mempertahankan kualitas musik mereka, dikhawatirkan hal tersebut bisa mempengaruhi karier dan kesuksesan grup ini di masa depan.
Kekhawatiran ini dinyatakaaan Jung Min Jae, kritikus musik sekaligus penulis majalah musik IZM kepada The Korea Times.
"Saya sangat skeptis tentang masa depan TWICE, girl group ini membuat comeback tiga hingga empat kali dalam setahun dengan lagu dan konsep cookie cutter (konsep yang hampir sama)," katanya.
"Ini 'konsumtif' untuk sang artis dan melelahkan bagi para pendengar," lanjutnya.
Kritikus Jung Min Jae juga mengatakan, TWICE bukan satu-satunya grup yang berisiko akan hal tersebut.
Faktanya, sebagian besar grup K-pop dalam bahaya. Mereka telah menjadi mangsa komersialisme ekstrim yang dipromosikan oleh agensi, yang sebagian besar mengejar keuntungan jangka pendek.
Jihyo TWICE sendiri mengakui bahwa mereka merasa khawatir jika orang-orang akan bosan dengan konsep yang sering mereka bawakan, yaitu konsep imut dan polos. Hal tersebut ia sampaikan dalam acara “Super Intern” yang tayang di Mnet pada 31 Januari 2019 lalu.
“Para anggota melakukan banyak diskusi tentang citra kami yang ceria dan imut. Ketika kami memasuki tahun ke-5 (usia Korea), kami bertanya-tanya apakah orang akan bosan dengan konsep tersebut," Ujar Jihyo, leader TWICE, demikian seperti melansir One Hallyu.
"Pasar musik telah dinormalisasi dengan cara yang tidak normal, dengan agensi yang membuat beberapa versi berbeda dari sebuah album, mengadakan acara fan sign dan mendorong penggemar melakukan pembelian album secara besar-besaran. Sebagian besar dari mereka tampaknya memprioritaskan keuntungan daripada konten musik," ujar Jung Min Jae lagi.
Min Jae menambahkan, ketika masa kejayaan sebuah grup mulai berakhir, agensi mulai memperkenalkan grup baru lain yang terdiri dari peserta yang lebih muda dan berbakat untuk mengulangi "siklus jahat" tersebut. Ini sama untuk hampir semua agensi di Korea, terlepas dari ukuran dan reputasi mereka.
"Jika industri K-pop tidak membuat terobosan, pendengar akan terus merasa lelah mendengarkan lagu-lagu basi, dan lagu K-pop yang booming mungkin memudar menjadi sejarah dalam jangka panjang setelah kehilangan signifikansi historisnya."
Jung Min Jae kemudian memberi contoh BTS sebagai salah satu grup yang mampu bertahan dalam gelombang perubahan konsep grup di industri K-Pop.
Di mana, BTS yang menaklukan tangga lagu Billboard pada tahun 2018 ini telah mengambil peran aktif dalam membuat musik sendiri sejak debut mereka di tahun 2013.
"BTS telah berusaha untuk membuat orang tahu tentang kesenangan dalam mendengarkan musik mereka dengan memasukkan cerita yang menarik ke dalam lagu mereka dan memproduksi album yang terhubung satu sama lain dalam satu seri," katanya.
"BTS juga menyimpan konten musik mereka dengan menampilkan pertunjukan mereka dalam bentuk film dan dokumenter di YouTube."
Ia juga mengatakan BTS dapat membentuk preseden yang memberitahukan cara untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh musik di industri K-pop.
Min Jae memperkirakan, di tahun 2019 akan terdapat permainan yang mengubah industri K-pop, dengan kehadiran gelombang grup-grup pendatang baru.
"TXT (Big Hit Entertainment), ITZY (JYP Entertainment) dan TREASURE (YG Entertainment) adalah beberapa tim yang bersiap untuk debut mereka, dan mereka telah menarik perhatian penggemar di seluruh dunia dan akan menarik untuk melihat siapa yang akan bertahan dan membuat percikan besar," tutup Jung Min Jae.
Editor: Yulaika Ramadhani