tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, tengah mendorong Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, untuk segera menyelesaikan dokumen Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota ke Nusantara. Keppres tersebut dinilai penting karena ada rencana presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Mengacu pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024, batas waktu peralihan kekuasaan presiden dan wakil presiden jatuh pada 20 Oktober 2024 mendatang. Pada saat itu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik dan diambil sumpah sebagai presiden dan wakil presiden yang baru.
"Kami sedang mengusulkan memo kepada Pak Mensesneg supaya pengertiannya bahwa nanti, kan, ada presiden dan wakil presiden akan dilantik di ibu kota. Ya, ini saya sudah menyampaikan surat kepada Pak Mensesneg tentang itu," kata Moeldoko di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Senin (22/7/2024).
Keinginan Moeldoko untuk mendorong penerbitan Keppres pemindahan ibu kota itu sejatinya berlawanan dengan sikap Presiden Joko Widodo sebelumnya. Jokowi tampaknya cukup realistis dan sadar bahwa pembangunan IKN masih jauh dari target. Artinya, belum ada kondisi yang mendesak untuk menerbitkan keppres pemindahan ibu kota.
"Kita tidak ingin memaksakan sesuatu yang memang jangan dipaksakan. Semuanya dilihat. Progres lapangannya dilihat," jelas Jokowi kala melepas bantuan kemanusiaan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (8/7/2024).
Alih-alih menyegerakan penerbitan keppres pemindahan ibu kota, Eks Gubernur DKI Jakarta itu justru membuka opsi untuk memasrahkan proses pemindahan ibu kota kepada pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Keppresnya bisa sebelum atau setelah Oktober," demikian kata Jokowi.
Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad, menilai bahwa Jokowi memang tidak ingin buru-buru bikin keppres pemindahan ibu kota. Terlebih, pembangunan infrastruktur di Nusantara belum rampung secara keseluruhan.
"Saya rasa Presiden menyadari bahwa pembangunan IKN ini ternyata memakan waktu lama. Jadi, menurut hemat saya, bisa dimengertilah keadaan yang dihadapi memang tidak bisa dipaksakan juga," imbuh Fadel dalam keterangan persnya dikutip Tirto, Selasa (23/7/2024).
Pembangunan ibu kota baru, lanjut Fadel, pasti tidak mudah dan memerlukan perencanaan sangat matang serta teknis pekerjaan yang berat dan tepat.
"Artinya, beliau bukannya tidak mau tanda tangan, tapi memastikan dahulu agar pembangunan IKN berjalan baik dan hasil akhirnya maksimal. Jika memang, periode jabatannya berakhir dan beliau belum meneken juga, bisa saja ditandatangani oleh presiden selanjutnya," ujar anggota DPD Dapil Provinsi Gorontalo tersebut.
Intinya, lanjut Fadel, dirinya sebagai pimpinan MPR tetap mendukung pembangunan IKN. Sebab, IKN adalah salah satu faktor strategis untuk akselerasi pembangunan serta kesejahteraan kawasan timur Indonesia.
Keppres Butuh Komitmen Politik
Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan bahwa jika tidak dilakukan secara seksama, percepatan penyusunan keppres pemindahan ibu kota malah bisa menjadi bumerang bagi Jokowi. Pasalnya, setelah keppres terbit, seluruh personel pemerintahan pusat yang ada di Jakarta harus segera pindah ke Nusantara.
“Keppres ini akan menjadi bumerang,” ujar Anthony saat dimintai tanggapan mengenai urgensi dari percepatan penerbitan keppres pemindahan ibu kota, Selasa (23/7/2024).
Sementara itu, analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai bahwa keppres pemindahan ibu kota sebenarnya tidak kuat secara politik, meskipun tetap memiliki kekuatan hukum.
Pasalnya, keppres hanya membutuhkan keinginan politik seorang presiden, tanpa memerlukan persetujuan DPR.
"Risikonya, keppres bisa dengan mudah dibatalkan oleh presiden selanjutnya tanpa memerlukan persetujuan DPR," kata Ronny, Selasa (23/7/2024).
Ronny juga mengatakan bahwa untuk memastikan keppres tersebut tidak berumur pendek pasca-Jokowi, sangat diperlukan kesepakatan dan komitment dari presiden terpilih, Prabowo Subianto. Salah satu bentuk komitmennya adalah menjalankan keppres tersebut alias tidak membatalkan dengan keppres baru.
"Nah, asumsi saya, komitmen itulah yang belum didapatkan oleh setneg dan Jokowi sehingga percuma jika dikeluarkan, jika akhirnya dicuekin atau dibatalin oleh Prabowo nantinya," ujar dia.
Sementara setelah kepastian kemenangan Prabowo diterima semua pihak, Prabowo jarang sekali berbicara tentang IKN. Selama Prabowo bergabung di pemerintahan Jokowi pun, Prabowo hanya memberikan dukungan kepada IKN atas motivasi politis untuk mendapatkan hati pemilih Jokowi.
"Jadi, menurut saya, itulah sebab mengapa keppres itu belum atau bisa jadi tidak akan dikeluarkan Presiden Jokowi," kata dia.
Konsekuensi Keppres
Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus, justru menilai bahwa Moeldoko tampaknya tidak paham mengenai keppres tersebut. Dia bahkan meminta eks Panglima TNI itu tidak mengorbankan Jokowi atas kebijakan yang sudah diambilnya.
Menurut Guspardi, keputusan Jokowi untuk tidak buru-buru mengeluarkan keppres pemindahan ibu kota tentu sudah melalui pertimbangan dan mendengar berbagai masukan dari stakeholder. Hal itu pada dasarnya sudah tepat.
“Oleh karena itu, tentu kita berharap kepada Pak KSP janganlah didesak Pak Presiden mengeluarkan keppres. Itu juga bisa menjadi dilema di lapangan,” kata Guspardi saat dihubungi Tirto, Selasa (23/7/2024).
Menurut Guspardi, upaya Moeldoko mendorong penerbitan keppres justru bisa merusak reputasi Jokowi. Moeldoko semestinya mengikuti arahan Kepala Negara dan tidak memperkeruh suasana dengan pernyataan-pernyataan yang tidak seharusnya.
“Maksudnya tentu kita berharap tidak perlu Presiden itu didesak-desak. Karena, yang disampaikan oleh Pak Presiden Jokowi itu udah benar. Beliau tidak mau terburu-buru,” kata dia.
Untuk diketahui, progres pembangunan Nusantara pada 17 Agustus 2024 mendatang diperkirakan baru mencapai 15 persen. Artinya, IKN memang belum siap untuk berfungsi penuh.
“Jadi, itu adalah sesuatu yang realistis, sesuatu yang sangat objektif. Dan siapa pun tentu harus mendukung kebijakan dan keputusan yang diambil oleh Pak Presiden,” ujar Guspardi.
Guspardi melanjutkan bahwa konsekuensi dari penerbitan keppres tersebut adalah perpindahan personel pemerintahan ke Nusantara. Apalagi, Jokowi sendiri sudah menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara Nusantara (UU IKN). Status Jakarta sebagai ibu kota pun bakal dilepas seiring disahkannya Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta atau UU DKJ.
Namun, pencabutan status itu tidak bisa serta-merta, meski UU IKN telah berusia dua tahun. Sebab, Pasal 41 ayat 3 menjelaskan bahwa perubahan status Jakarta baru berlaku ketika presiden menerbitkan keppres pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara.
“Kalau keppresnya keluar tentu konsekuensinya ibu kota negara itu tidak di Jakarta lagi. Konsekuensinya, seluruh istana, presiden-wakil presiden, dan kementerian-lembaga sudah harus pindah. Sementara, masih banyak pembangunan terbengkalai,” jelas Guspardi.
“Jadi, konsekuensi sebuah keppres itu bukanlah sesuatu yang sederhana. Tetapi, akan menimbulkan multi effect sebuah kebijakan yang akan memindahkan aparatur sipil negara, pemerintah pusat ke IKN,” pungkas dia.
Untuk mengetahui alasan di balik niat Moeldoko mendorong penyelesaian dokumen keppres pemindahan ibu kota, Tirto mencoba meminta keterangan kepada Deputi IV KSP, Wandy Nicomedus Tuturoong. Namun, karena alasan atau kekhawatiran terjadi preseden di internal KSP, Wandy urung memberikan keterangan lebih lanjut.
Tirto juga sudah mencoba menghubungi Staf Ahli bidang Kehumasan dan Komunikasi Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg), Bey Machmuddin, untuk meminta penjelasan ihwal memo dari KSP dan tanggapan terkait dengan permintaan dari Moeldoko. Namun, hingga artikel ini dirilis Bey tidak merespons.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden, Grace Natalie, justru meluruskan konteks pernyataan Moeldoko tersebut. Dalam hal ini, kata Grace, justru terjadi perbedaan konteks antara yang disampaikan dan ditulis oleh media.
“Saya cek kepada yang mendampingi, konteksnya tidak begitu. Juga tidak ada kata mendesak ya,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (23/7/2024).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi