tirto.id - Luka Modric dan kawan-kawan boleh jadi “pemenang di hati rakyat dunia”, menyadur meme-meme yang beredar usai laga final Piala Dunia 2018. Namun perhatian publik juga tak lepas dari laku sang presiden Kroasia, Kolinda Grabar-Kitarovic.
Kolinda adalah presiden Kroasia hasil dari pemilihan multi-partai yang digelar sejak 1990. Alumni University of Zagreb dan Diplomatic Academy of Vienna ini menjajaki karier dengan berafiliasi dengan partai terkuat Croatian Democratic Union sepanjang 1993-2015, lalu memilih jalur independen.
Tahun lalu Forbes menyematkan gelar perempuan terkuat ke-39 di dunia kepada Kolinda. Ia adalah menteri perempuan pertama Kroasia (2003-2005). Setelah menduduki sejumlah posisi penting hingga ke level NATO, pada 2015 ia memenangi pertarungan kursi orang nomor satu, dan menjadi presiden perempuan pertama Kroasia.
Kolinda “mesra” dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron saat acara pembagian medali Piala Dunia 2018. Keduanya berdampingan sejak di tribun. Kolinda sesekali memeluk leher Macron sembari mendekatkan pipi di tengah guyuran hujan di Stadion Luzhniki, Minggu (15/7/2018) malam waktu setempat.
Kolinda menebar senyum ke kamera awak media usai Kroasia menjungkalkan Inggris di fase semifinal, Rabu (11/7/2018) waktu setempat. Warganet mengunggah fotonya ke dunia maya disertai foto-foto seorang perempuan yang mengenakan bikini di pantai, diklaim sebagai foto Kolinda.
Foto-foto tersebut viral di Facebook, Twitter, dan kanal media sosial lain. Tapi belakangan diketahui foto-foto tersebut adalah hoax. Perempuan berbikini itu adalah Coco Austin, model perempuan asal Amerika Serikat yang kebetulan agak mirip dengan Kolinda, lapor France 24.
Kolinda santai saja menanggapi kontroversi tersebut. Ia justru sibuk berbahagia dengan timnasnya yang berjaya di Rusia. Kemesraan dengan Macron hanya satu fragmen.
Usai Kroasia mengalahkan Denmark untuk lolos ke babak delapan besar, misalnya, Kolinda mengadakan kunjungan tak terduga ke ruang ganti anak-anak asuhan Zlatko Dalic. Leksander Holiga dari Guardian menggambarkannya sebagai “adegan yang surealis”.
“Laki-laki muda berusia 20-an dan 30-an yang berkeringat, beberapa hanya mengenakan celana dalam, bersiap untuk mandi, tiba-tiba dipeluk oleh seorang perempuan setengah baya yang mengenakan kemeja kotak-kotak merah dan putih yang terkenal itu, dan rombongannya mengklik kamera telepon, juga memfilmkan adegan tersebut.”
Semua pemain dapat pelukan, termasuk Dalic. Kolinda tak peduli meski ia harus menginjaki sepatu, kaos kaki bau, dan botol air minum yang tersebar tak karuan di sekujur lantai. Ia memeluk Modric lebih lama dan lebih erat dari pemain lain, sambil membisikkan sesuatu yang kemungkinan kata-kata motivasional.
Untuk beberapa orang manuver tersebut menunjukkan berapa merakyatnya sosok Kolinda. Untuk sebagian lain menilainya sebagai pencitraan yang keterlaluan. Cuma strategi menaikkan elektabilitas khas seorang politikus. Maklum, akhir tahun depan Kolinda akan kembali bertarung di pilpres.
Terlepas dari kebenaran atas dugaan-dugaan itu, laku Kolinda adalah wajah sepakbola Kroasia yang tak pernah lepas dari politik. Sepakbola tidak pernah benar-benar murni sebagai olahraga yang mesti dijalankan dengan gembira, sebagaimana pesan FIFA.
Kolinda tercatat (pernah) dekat dengan para elite sepakbola Kroasia yang terjerat kasus-kasus korupsi. Mulai dari yang tertuduh hingga yang benar-benar didakwa bersalah. Salah satunya adalah orang yang pernah mengendalikan sepakbola Kroasia: Zdravko Mamic.
Sepanjang 2003-2016 Mamic menjadi direktur eksekutif Dinamo Zagreb. Klub tersebut dianggap sebagai “pabrik” para pemain-pemain berbakat Kroasia. Alumnusnya kerap mewakili negara saat kompetisi di tingkat regioal maupun internasional. Modric adalah salah satunya.
Mamic juga pernah menyandang status sebagai Wakil Presiden Federasi Sepakbola Kroasia. Ia menjadi pendamping sosok legendaris dalam sepakbola Kroasia, Davor Suker. Meski hanya jadi orang kedua setelah Suker, ia disebut-sebut sebagai elite yang mengendalikan sepakbola Kroasia.
Mamic adalah sosok kontroversial. Ia dikenal punya sikap buruk kepada beberapa jurnalis dengan bermodal ancaman, tindak kekerasan, juga komentar-komentar vulgar tentang profesi sebagai kuli tinta.
Pada bulan Maret 2015, dia ditangkap usai melakukan serangan verbal terhadap Menteri Olahraga, Sains, dan Pendidikan Kroasia Željko Jovanović di sebuah acara radio. Sebelumnya ia juga pernah dilabrak oleh suporter Dinamo Zagreb yang menuduh Mamic tidak becus mengurus klub.
Mamic adalah elite yang korup. Pada 2009, misalnya, Mamić digugat oleh Eduardo da Silva untuk kontrak yang tidak menguntungkan. Silva menyebut ada keharusan membayar 20-25 persen dari gajinya untuk keluarga Mamić. Silva mengajukan kasus ini ke pengadilan, dan memenangkannya pada 2014.
Skandal paling hangat disidang pada 6 Juni 2018, di mana ia dijatuhi hukuman enam setengah tahun penjara. Mengutip Total Croatia News, ia didakwa melakukan penipuan transfer dua punggawa Dinamo Zagreb, Luka Modric ke Totenham Hotpsur dan Dejan Lovren ke Olympique Lyon.
Mamic, saudara laki-lakinya Zoran, mantan direktur Dinamo Zagreb, dan seorang pejabat pajak bernama Milan Pernar dinyatakan bersalah karena merampok lebih dari 15 juta poundsterling dari kas klub dan menggelapkan anggaran negara sebesar 12 juta poundsterling.
Mamic kemudian menyeberangi perbatasan, menuju Bosnia dan Herzergovina, satu hari sebelum pembacaan dakwaan. Bosnia dan Hezergovina tidak punya aturan ekstradisi ke Kroasia, dan dengan demikian ia aman selama berada di negara bekas Yugoslavia itu.
Juraj Vrdoljak dari Independent mencatat Kolinda mengakui kedekatannya dengan Mamic. Dalam sebuah wawancara pada November 2017 Kolinda menyebutkan Mamic mengorganisir berbagai acara untuknya. Ada makan malam, pesta ulang tahun, dan lain-lain.
Mamic juga mendukung secara finansial pencalonan Kolinda dalam pilpres tahun 2015 lalu. Maka wajar jika ia didaulat menjadi salah satu tamu kehormatan dalam acara pelantikan Kolinda sebagai presiden keempat Kroasia.
“Meskipun dia (Kolinda) kini membantah soal hubungan itu, Kolinda masih sangat pendiam saat membicarakannya. Itu hanyalah puncak gunung es dari jaringan koneksi Mamic yang dalam, mulai dari anggota media hingga politikus, bahkan pejabat pengadilan,” tulis Vrdoljak.
Vrdoljak melanjutkan bahwa sepakbola di Kroasia kerap dijadikan jubah untuk menutupi hal-hal buruk di Kroasia. Tidak hanya sepakbola, namun juga skandal-skandal lain di masyarakat.
Akarnya ada pada sosok Franjo Tudjman. Tudjman adalah profesor sejarah di Universitas Zagreb. Pada 1989 ia mendirikan Croatian Democratic Union, partai sayap kanan yang kini berkuasa di Kroasia. Kelak ia menjadi presiden pertama setelah Kroasia menyatakan kemerdekaan pada 1991.
Tudjman menggunakan sepakbola sebagai alat untuk menyatukan berbagai elemen di masyarakat Kroasia. Atlet dianggap sebagai “duta besar terbaik negara ini”. Daya tawar sepakbola naik, politikus kemudian memanfaatkannya untuk mengontrol segala jenis ketidakpuasan yang muncul di masyarakat.
Pemain sepakbola beserta pejabat federasi akhirnya dipandang bak dewa yang tak bisa salah. Setiap kali ada kritik pedas, atau sekadar pertanyaan atas kebijakan federasi, si pengkritik akan diragukan rasa patriotiknya—bahkan dicap pembangkang.
Contohnya ada pada sosok Damir Vrbanovic, mantan pejabat elit Dinamo Zagreb yang kini menjadi direktur eksekutif Federasi Sepakbola Kroasia. Vrbanovic satu komplotan dengan Mamic pada kasus penipuan transfer Modric. Ia didakwa bersalah dan dijatuhi hukuman tiga tahun.
Ia dekat dengan Kolinda, baik secara metafor maupun harafiah, sebab ia mendampingi sang presiden saat menonton langsung laga perempat final antara Kroasia dan Rusia.
Saat dimintai komentar soal pencapaian luar biasa Kroasia di Piala Dunia 2018, Vrbanovic menyela jawabannya dengan berkata bahwa orang-orang di Kroasia “seharusnya melupakan kasusnya” dan “kisah-kisah mengenai Zdravko Mamic”. Ia ingin masyarakat Kroasia fokus untuk menikmati prestasi timnasnya.
Anehnya, masih mengutip Vrdoljak, banyak orang Kroasia sendiri yang berpendapat serupa. Mereka menilai baik Mamic maupun para pemain mesti diberi kelonggaran atas kejahatan serius yang mereka lakukan, sebab telah membawa Kroasia hingga ke final turnamen sepakbola tertinggi di dunia.
Di sisi lain, para pengecam mengalami dilema. Kasus Mamic dan komplotannya yang menyeret nama Modric memang memalukan. Namun, tanpa mereka, timnas Kroasia diramalkan tak akan sedigdaya sekarang.
Tanpa mereka, Kroasia dinilai tidak akan mengukir sejarah yang membuat rakyat seantero negeri tumpah ruah di jalanan dan berpesta semalam suntuk.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf