tirto.id - Ada hal menarik dari sepucuk undangan pernikahan yang diterima Tirto. Undangan pernikahan atas nama Rianti dan George itu, memberikan notifikasi untuk para tamu undangannya bertuliskan: "To Our Guest: We also provide cashless gift using OVO, DANA & JENIUS" ("Para tamu yang terhormat, kami juga menyiapkan pemberian hadiah non-tunai melalui OVO, DANA, dan JENIUS").
Menurut mempelai perempuan, hajatan yang akan digelar pada 19 Januari ini adalah ajang sosialisasi gerakan non-tunai. Alasannya datang dari dua sudut pandang. Pertama dari sisi tamu undangan. Dengan dihadirkannya pilihan memberikan ‘amplop’ melalui kanal digital ini, tamu yang lupa membeli atau tidak memiliki amplop fisik tetap bisa memberikan ‘salam tempel’ melalui dompet digital.
Kedua dari sisi keluarga mempelai. Setelah pesta pernikahan, lazim terjadi keributan pihak mempelai mana yang akan membawa kotak uang. Tak jarang pula, ada kejadian hilangnya kotak uang sang pemilik hajat. Dompet digital berusaha menyelesaikan masalah-masalah semacam itu.
“Kendala-kendala tersebut yang coba kami pecahkan dalam acara pernikahan kami. Dengan memberikan pilihan melalui dompet digital ini, kami juga berharap bisa mempermudah,” tutur Rianti kepada Tirto.
Dosen program studi bahasa Belanda di Universitas Indonesia ini tidak mengejar target yang muluk-muluk. Jika nanti ada 10-15 orang tamu undangan yang memberikan salam tempel via dompet digital, maka sosialisasi alat transaksi non-tunai dalam acara pernikahan terbilang sukses.
Pasangan pengantin Sumatera Utara ini memberikan pilihan salam tempel kepada tamu via dompet digital dengan tujuan memberikan terobosan budaya dalam acara pernikahan. Inspirasinya, kata Rianti, berasal dari dompet digital DANA yang melakukan kampanye ganti dompet.
“Dengan ganti dompet itu artinya dompet digital juga bisa digunakan secara langsung termasuk di acara pernikahan,” jelas perempuan berusia 29 tahun ini.
Sebenarnya, transaksi non-tunai dalam acara pernikahan sudah awam dilakukan di berbagai negara lain. Melansir BBC News, memberikan uang tunai bahkan secara telanjang dan kasat mata tanpa menggunakan amplop adalah hal yang biasa di Zimbabwe.
‘Saweran’ bahkan dilakukan tamu secara langsung kepada pasangan mempelai pengantin. Saat berdansa di hadapan para tetamu, pasangan mempelai pengantin akan dihujani dengan uang tunai. Alhasil, uang tunai akan berserakan di lantai.
Namun lantaran krisis uang tunai yang parah, tradisi sawer uang kepada pasangan mempelai pengantin terancam berhenti. Uang tunai yang saat ini beredar di Zimbabwe bukanlah uang kartal yang umum digunakan di setiap negara, melainkan bank notes. Perbankan lokal di Zimbabwe lantas menghadirkan solusi untuk tetap memberikan ‘salam tempel’ kepada pasangan pengantin, tanpa harus memberikan uang dalam bentuk fisik yaitu menggunakan electronic data capture (EDC).
Mesin-mesin EDC ini akan tersedia saat hajatan berlangsung. Sehingga para tamu bisa memberikan salam tempel dengan menggesekkan kartu saja. Pemandangan tersedianya EDC dalam pesta pernikahan di Zimbabwe menjadi hal yang umum dan wajar, meski praktik inovatif yang dilakukan bank ini jauh dari kata romantis.
Bukan hanya di Zimbabwe, praktik salam tempel non-tunai juga sudah lazim dilakukan di India bahkan sejak 2016. India mengalami masalah keterbatasan uang tunai akibat demonetisasi alias penghapusan atau penarikan kembali uang senilai 500 dan 1.000 rupee yang beredar.
Demonetisasi berimbas pada acara pernikahan yang mewajibkan pemberian uang tunai kepada pengantin sebagai bentuk pemberkatan menuju kehidupan baru. Walhasil, para tamu pun membawa serta kartu debit atau kredit untuk digesek saat resepsi berlangsung. Dengan praktik non-tunai ini, para tamu masih bisa menyisihkan uang (kendati non-tunai) untuk memberikan berkat kepada pasangan pengantin.
Pergeseran dari Tunai ke Non-Tunai
“Money makes the world go around” adalah lagu beken yang dinyanyikan Lizza Minnelli dan Joel Greydi film Cabaret (1972). Uang memang telah menemani kehidupan manusia selama berabad-abad. Harold James, sejarawan ekonomi di Woodrow Wilson School, Princeton University menyebutkan bahwa secara tradisional uang adalah ekspresi kedaulatan.
Namun, peranan uang tunai pelan-pelan mulai digantikan oleh uang digital seiring dengan kemajuan teknologi dan peningkatan sistem keamanan. Kemajuan teknologi dalam sistem pembayaran menggeser peranan non-tunai (currency) sebagai alat pembayaran ke dalam bentuk pembayaran non-tunai yang lebih efisien dan ekonomis.
Praktik ekonomi tanpa uang tunai di India meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, sebanyak 86,6 persen transaksi di India pada tahun 2012 masih dilakukan secara tunai. Peningkatan transaksi non-tunai utamanya didorong oleh pertumbuhan pembayaran mobile yang tinggi.
Sejumlah pemain di sektor pembayaran mobile seperti Paytm, FreeCharge, MobiKwik, PayUMoney dan Oxigen, muncul dan memainkan peran kunci dalam menumbuhkan pasar non-tunai secara keseluruhan. Pemerintah negeri Hindustan juga mengambil langkah penting untuk mendorong pembayaran digital sebagai bagian untuk mengubah India menjadi negara dengan ekonomi digital yang tinggi.
National Payments Corporation of India (NPCI), merupakan inisiatif yang dipimpin oleh RBI dan Asosiasi Bank India, meluncurkan Unified Payments Interface Interface (UPI) pada 11 April 2016. UPI mengelola berbagai rekening bank dalam satu aplikasi mobile.
Pada Agustus 2016, UPI menangani 93.000 transaksi untuk 21 bank senilai 3,1 crore (1 crore = 100 laksa atau 10 juta). Agustus 2018, angkanya tumbuh menjadi senilai Rs 54.212 crore untuk 114 bank. Menurut Shri Subhash Chandra Garg, Sekretaris dari Departemen Urusan Ekonomi, Kementerian Keuangan Pemerintah India, sekitar 100 juta orang India sekarang terhubung ke ekosistem pembayaran digital.
Penggerak utama peningkatan transaksi digital India dikarenakan penggunaan telepon pintar yang melonjak jadi 500 juta orang. Tahun ini, transaksi digital India diperkirakan mencapai $62,23 miliar dengan pengguna sebanyak 397,9 juta orang menurut data Statista.
Swedia adalah negara dengan perpindahan transaksi digital tercepat di dunia. Catatan International Monetary Fund (IMF) (PDF) menyebut, selama dekade terakhir permintaan uang tunai telah turun lebih dari 50 persen. Semakin banyak warga Swedia yang mengandalkan kartu debit maupun aplikasi telepon pintar untuk transaksi pembayaran sehari-hari mereka. Dengan begitu, hanya sebesar 13 persen dari transaksi perdagangan ritel di Swedia yang melibatkan uang tunai.
Cina masih menjadi negara dengan transaksi digital tertinggi di dunia. Data Statista menyebutkan nilai transaksi digital di Cina untuk 2019 diperkirakan menyentuh $1,58 triliun dengan 1,02 miliar pengguna. Diikuti selanjutnya oleh Amerika Serikat (AS) yang mencapai $978,88 miliar, Inggris sebesar $163,39 miliar, Jepang senilai $160,1 miliar, dan Jerman sebesar $121,78 miliar.
Indonesia masih tertinggal dalam hal transaksi digital. Sudah sejak satu dekade lalu BI mulai menyiapkan gagasan tentang masa depan non-tunai. Dalam kajian ”Pembayaran Non Tunai: Dampaknya Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter” yang diterbitkan oleh BI disebutkan bahwa kehadiran alat pembayaran non-tunai bagi perekonomian nasional juga memberi manfaat terhadap peningkatan efisiensi dan produktivitas keuangan guna mendorong aktivitas sektor riil yang menghela pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara umum. BI bahkan memprakarsai Gerakan Nasional Non-Tunai di tahun 2014.
Data bank sentral menyebutkan volume transaksi uang elektronik di Indonesia per November 2018 sebanyak 330,71 juta transaksi dengan nilai mencapai Rp41,3 triliun. Statista memperkirakan total nilai transaksi keuangan digital Indonesia tahun ini bisa naik 18,5 persen menjadi $26,57 miliar dengan pengguna mencapai 113,4 juta orang.
Editor: Windu Jusuf