tirto.id - Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Paniai, Choirul Anam mengaku, belum mengetahui pihak mana yang menjadi pengambil kebijakan kasus Peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014.
"Soal kebijakannya masih belum terlalu terang, apakah ini bagian dari operasi yang besar, apakah ini memang operasi yang terfokus di wilayah itu, masih butuh klarifikasi, makanya penting bagi siapapun yang kami panggil untuk datang. Kalau tidak, kena sasar," kata Anam saat ditemui di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (5/4/2019) sore.
Pemanggilan itu terkait pemanggilan saksi-saksi Peristiwa Paniai yang akan dilakukan sepanjang Mei hingga Juli mendatang.
"Jumlah, kalau dari orang yang pengambil kebijakan sampai yang paling bawah lebih dari sepuluh. Yang sudah pasti kami panggil lebih dari sepuluh," kata Anam.
Peristiwa Paniai bermula pada Desember 2014, karena tindakan represif aparat telah jatuh korban yang mengakibatkan 4 anak meninggal dunia dan 11 orang mengalami luka tembak maupun luka benda tumpul di Kabupaten Paniai, Papua.
Peristiwa tersebut terjadi mulai sekitar pukul 20.00 WIT di Pondok Natal yang berada di KM 4 Jalan poros Madi-Enarotali, Distrik Paniai Timur, Kab. Paniai. Telah terjadi kekerasan terhadap beberapa anak yang dilakukan oleh orang tidak dikenal, korban di antaranya bernama Yulianus Yeimo.
Pada pagi hari tanggal 8 Desember 2014, terjadi aksi pemalangan di jalan utama Madi-Enarotali KM 4 yang dilakukan oleh warga untuk menuntut pelaku kekerasan ditangkap.
Aksi warga berlanjut ke Lapangan Karel Gobay dengan melakukan Waita (tarian adat) di tengah lapangan, disertai dengan pelemparan batu kearah kantor Koramil Paniai Timur dan berakhir dengan tindakan represif aparat.
Menindaklanjuti peristiwa kekerasan di Paniai tersebut, Komnas HAM RI telah membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Paniai.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dhita Koesno