tirto.id - Di seberang salah satu sudut Taman Suropati, Menteng, berdiri rumah megah dua lantai. Perpaduan hijau dan putih menghiasi rumah itu. Dinding, tembok pendek yang jadi pagar, berwarna putih; sementara nuansa hijau muncul dari tumbuhan yang dipangkas rapi.
Rumah bernomor 7 yang dibangun sejak 1939 itu adalah rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Gubernur yang pernah tinggal di sana semasa menjabat adalah Sutiyoso (1997-2007), Fauzi Bowo (2007-2012), hingga Joko Widodo (2012-2014) yang kini jadi presiden.
Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI periode 2014-Mei 2017, lebih memilih tinggal di rumah pribadinya di Pluit, Jakarta Utara. Begitu pun dengan Anies Baswedan, Gubernur DKI sekarang, yang lebih memilih tinggal di rumah pribadi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Tahun lalu rumah itu hendak direnovasi. Anggarannya sudah disiapkan dalam ABPD DKI 2018.
Rencana tersebut segera memicu kontroversi karena jumlah anggarannya dianggap terlalu besar. Uang yang dialokasikan sebanyak Rp2,34 miliar, Rp750 juta di antaranya dipakai untuk membikin lift.
Membangun lift dianggap tidak patut karena: pertama, rumah itu hanya terdiri dari dua lantai; kedua, pengadaan tersebut potensial melanggar Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa karena tidak dilakukan lewat skema lelang.
Rencana tersebut akhirnya tidak terealisasi.
Kini, rumah itu kembali disorot karena alasan yang sama. Dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020, ada duit Rp2,4 miliar dialokasikan untuk merenovasi rumah dinas.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, William Aditya Sarana, mengatakan anggaran renovasi ini adalah “satu dari sekian banyak anggaran yang dianggap aneh oleh publik; yang tidak bisa diterima akal sehat.”
“Anggaran itu harus dikaji lagi urgensinya seperti apa, apakah memang dibutuhkan di tengah adanya daerah kampung warga di Grogol yang kurang sanitasi?” tanyanya, retoris, saat dihubungi Ahad (6/10/2019).
Selain mengkritik anggaran renovasi rumah dinas gubernur, Aditya juga menyoroti kurangnya waktu pembahasan APBD itu sendiri. Ia mengatakan, saat ini DPRD DKI hanya punya waktu satu bulan untuk membahas APBD yang jumlahnya hampir Rp100 triliun. Durasi itu dirasa tidak cukup.
Pemprov DKI mengajukan KUA-PPAS 2020 pertengahan Agustus lalu, tetapi belum dibahas karena terpotong agenda pelantikan DPRD DKI baru periode kerja 2019-2024. Dalam KUA-PPAS, anggaran yang diajukan naik Rp6,9 triliun dari APBD 2019, yang ditetapkan akhir tahun lalu. Jika APBD 2019 Rp89,08 triliun, maka anggaran KUA-PPAS 2020 diajukan Rp95,99 triliun.
Wakil Ketua Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan kenaikan signifikan terjadi pada anggaran belanja langsung yang diusulkan hampir seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
KUA-PPAS ini dibahas oleh DPRD. Berdasarkan tenggat, semestinya ia rampung dibahas pada akhir November.
“Biar tidak terulang lagi, harusnya kami diberi waktu lebih lama dalam membahas APBD. Mungkin yang tahun lalu juga mepet-mepet seperti ini, jadi anggota dewan enggak punya waktu untuk menyisir dengan baik satu per satu,” ujar William. Hal ini, pada akhirnya, membuat mereka sulit memantau “anggaran-anggaran lain yang aneh dan tidak masuk akal.”
Terus Berulang
Peneliti dari Indonesia Budget Center (IBC) Ibeth Koesrini menilai kritik terhadap KUA-PPAS menunjukkan Pemprov DKI “tak matang” dan “gagal” dalam “perencanaan pembangunan”.
Bisa disebut begitu karena hal serupa terus berulang, kata Ibeth kepada reporter Tirto, Ahad (6/10/2019). Misalnya, pada 2016, ditemukan sejumlah kegiatan yang dinilai memboroskan anggaran di dalam KUA-PPAS 2016 yang bernilai sekitar Rp14,7 triliun.
“Dari Rp14,7 triliun tersebut, kegiatan paling banyak yang dinilai memboroskan berada di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud)," ungkap Ibeth.
Pada 2017, ujar Ibeth, hampir semua janji politik Anies-Sandiaga Uno tidak tercantum dalam nomenklatur KUA-PPAS, padahal sudah ada Tim Sinkronisasi bentukan gubernur. Permasalahan pun kembali muncul pada 2018 menyangkut anggaran lift yang akhirnya dihapus.
“Ketika anggaran renovasi muncul dalam KUA-PPAS 2020 dari dinas yang sama, mengindikasikan akal-akalan untuk pemborosan anggaran,” ungkap Ibeth. Karenanya dia berharap Anies “menerbitkan jajarannya” yang bertindak demikian, sekaligus mengalokasikan anggaran untuk “pos yang lebih bermanfaat sesuai visi misi dan prioritas rencana pembangunan.”
“Wakil rakyat (DPRD DKI) pun harus kritis dan memastikan terwujudnya anggaran yang efektif dan efisien,” pungkasnya.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto mengatakan anggaran tersebut muncul karena mereka berencana menjadikan rumah dinas sebagai cagar budaya.
“Cagar budaya kelas B kalau enggak salah," ujar Heru, Jumat (4/10/2019).
Anggarannya relatif besar karena menurutnya menjadikan suatu bangunan sebagai cagar budaya itu “susah-susah gampang.” “Bangunan cagar budaya itu agak susah. Kaidah yang harus dipenuhi banyak.”
Uang itu akan dipakai di antaranya untuk perbaikan atap, langit-langit, dan interior.
"Atapnya kan banyak yang mulai keropos. Kalau lantai enggak karena lantainya bagus. Sama beberapa ruang yang lain, ruang-ruang itu kan perlu ada perapian, pengecatan ulang, dan sebagainya. Paling banyak atap sama plafon, itu mau diangkat," katanya.
"Bikin baru sama merehab itu [anggarannya] lebih banyak rehab. Rehab itu kan berarti bongkar dulu, pasang lagi," Heru memungkasi.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino