tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari lintas organisasi menyesalkan respons Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terhadap kebijakan Pemprov DKI Jakarta menerapkan PSBB kembali.
Airlangga meminta agar Gubernur Anies Baswedan tetap memperbolehkan perkantoran beroperasi dengan menerapkan mekanisme 50 persen karyawan bekerja di kantor dan 50 persen bekerja dari rumah.
Menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati—bagian dari koalisi, Airlangga seolah menampik laporan WHO pada 9 September 2020 menyoal tingginya klaster perkantoran di Indonesia.
"Pernyataan ini menunjukkan tidak sensitifnya Menko Perekonomian terhadap perlindungan kesehatan dan pertaruhan nyawa warga DKI Jakarta akibat transmisi virus Sars-Cov2 yang menyebar dengan kecepatan tinggi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (11/9/2020).
Sikap Airlangga, lanjut Asfinawati, sebagai pengambil kebijakan mengalami keterbatasan pemahaman sehingga mempertentangkan kesehatan masyarakat dengan percepatan ekonomi.
Padahal, menurut Asfinawati, para "akademisi dan ekonom selalu merekomendasikan untuk mengutamakan kesehatan publik dan bukan untuk membenturkan satu sama lain."
Menurut Asfinawati, jumlah kasus positif di DKI Jakarta per 10 September mencapai 51.287 dalam sebulan terakhir. Angka kematian mencapai 1.365 orang yang sudah terkonfirmasi positif, sementara orang meninggal dengan status suspek 2.302, dengan status probable 1.734.
Belum lagi ada 24 tenaga kesehatan yang meninggal. Sementara data kasus positif Covid-19 di DKI, 55,6 persen di antaranya adalah orang yang tidak menunjukkan gejala.
Oleh sebab itu, pilihan DKI Jakarta untuk memberlakukan PSBB secara ketat perlu didukung. Jika tidak, akan terjadi lonjakan pasien dan rumah sakit tidak dapat menampung.
Asfinawati juga mengingatkan Airlangga, bahwa Keputusan Menteri Kesehatan mengenai PSBB Jakarta belum pernah dicabut.
"Karena itu pernyataan pejabat publik yang dapat dilihat sebagai kebijakan dan berupaya melawan penerapan PSBB dapat masuk dalam pasal 93 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, apabila kebijakan tersebut mengakibatkan kedaruratan kesehatan masyarakat," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri