Menuju konten utama

Koalisi Masyarakat Tolak Revisi UU Polri: Polisi Jadi Superbody

Jika revisi UU Polri diketok, kepolisian akan semakin memiliki legitimasi untuk dapat memengaruhi sarana mekanisme penyampaian pendapat yang ada di publik

Koalisi Masyarakat Tolak Revisi UU Polri: Polisi Jadi Superbody
Personel kepolisian mengikuti Apel Gelar Pasukan Operasi Ketupat Semeru di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (3/4/2024).ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/wpa.

tirto.id - Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi kepolisian sepakat menolak revisi Undang-Undang Polri. Pasalnya, selain mengabaikan partisipasi publik dalam pembahasannya, RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini juga berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga super body, yang tidak diawasi oleh siapapun.

Bagaimana tidak, jika pemerintah mengetok aturan tersebut, kepolisian lah yang memiliki kewenangan pengawasan dan pembinaan teknis kepada PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), yang di antaranya adalah penyidik di semua kementerian/ lembaga (K/l) dan penyidik lain yang ditetapkan dalam Undang-Undang, seperti penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau penyidik Kejaksaan Agung. Dalam hal ini, para penyidik dari k/l lainnya harus berkoordinasi dengan penyidik Polri, untuk kemudian dibina dan diawasi, sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 RUU Polri.

"Jadi kalau kita membaca definisi ini, maka kemudian dia (Polri) menjadi super body, atau bahasa umumnya atau dalam bahasa keagamaan, dia menjadi Majelis Syuro, jadi majelis tinggi penyidik lembaga-lembaga lain," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dalam Konferensi Pers, di Kantornya, Minggu (2/6/2024).

Dengan adanya aturan ini, Isnur menilai adanya disharmonisasi dalam penyusunan aturan Polri di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Selain itu, disharmonisasi kebijakan ini juga memperlihatkan Baleg tengah tergesa-tergesa untuk ingin segera mengesahkan beleid ini, sebelum masa tugasnya berakhir di Oktober 2024.

"Berikutya, di dalam Pasal 16 ayat 1. Bukan hanya dalam kerja penanganan penyidikan, tapi dalam rekrutmen. Jadi ketika KPK mau melakukan rekrutmen penyidik, Jaksa Agung mau rekrut penyidik korupsi, KLHK mau rekrut untuk lingkungan hidup, Kemnaker mau rekrut PPNS pada perburuhan, maka harus ada rekomendasi dari kepolisian," kata Isnur.

Lebih lanjut, Isnur melihat adanya upaya intervensi dari Polri terhadap penyidik di k/l lain. Padahal, jika melihat ke belakang, penyidik di Polri memiliki track record kelam.

Selain penyidikan, revisi tersebut juga akan memperluas kewenangan intelkam Polri untuk mengurus perihal keintelijenan jauh lebih besar dari lembaga-lembaga intelijen, seperti BIN (Badan Intelijen Negara). Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya,menuturkan, peran besar Polri dalam hal intelijen tercantum dalam Pasal 16A.

"Yang itu berkaitan dengan kewenangan penggalangan intelijen, yang mana menjadi pembahasan yang cukup sentral terkait diskursus RUU Polri," ungkap Dimas.

Lebih lanjut, Isnur menilai peran dari kepolisian tidak hanya melakukan fugsi-fungsi intelijen, namun juga bentuk-bentuk penggalangan intelijen. Dalam hal ini, Polri dapat melakukan upaya proaktif untuk memetakan sasaran dalam melakukan perubahan atau memengaruhi perilaku dari target sasaran yang menjadi objek kegiatan intelijen.

Dimas menilai, jika revisi aturan Polri diketok, kepolisian akan semakin memiliki legitimasi untuk dapat memengaruhi partisipasi publik dan sarana mekanisme penyampaian pendapat yang ada di masyarakat. Lebih lanjut, dia menuturkan, masyarakat tidak akan lagi bisa menyampaikan pendapat secara kritis dan riil (genuine).

"Tapi ada tindakan-tindakan manipulatif yang bisa dilakukan dengan upaya-upaya dalam memengaruhi perilaku dan juga pendapat dengan sarana intelijen," kata Dimas.

DPR Diminta Tak Susun Aturan untuk Kepentingan Politik

Sebab itu, koalisi masyarakat sipil untuk reformasi kepolisian menyatakan sikap, tidak hanya menolak revisi UU Polri disahkan, melainkan juga menuntut DPR maupun pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan aturan tersebut.

Kemudian, DPR juga dituntut untuk tidak menyusun UU secara serampangan, hanya untuk kepentingan politik kelompok dan mengabaikan mekanisme pembentukan perundang-undangan yang semestinya sejalan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum.

"Pembentukan UU baru semestinya memperkuat sistem reformasi untuk penguatan negara hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam rangka melindungi negara. Bukan justru sebaliknya, mengancam demokrasi dan Hak Asasi Manusia," kata Isnur.

Tidak hanya itu, koalisi masyarakat sipil mendesak DPR untuk menuntaskan pekerjaan rumah legislasi lain yang lebih penting seperti revisi KUHP, RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat. Pada saat yang sama, evaluasi menyeluruh kepada tubuh kepolisian oleh pemerintah dan dengan melibatkan koalisi masyarakat sipil serta lembaga HAM negara juga diperlukan.

"Mendesak pemerintah dan parlemen untuk memperkuat kerja kepolisian dalam hal penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat yang mampu memberikan sanksi tegas kepada individu, pelaku dan juga perbaikan personal untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan," tutup Isnur.

Baca juga artikel terkait REVISI UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin