tirto.id - Ada yang merasa seorang presiden tidak cukup hanya menjabat dua periode. Mereka lantas hendak memperpanjangnya lewat amandemen Undang-Undang Dasar 1945--masa jabatan presiden-wakil presiden diatur dalam Pasal 7.
Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan usul perubahan masa jabatan presiden datang dari anggota DPR Fraksi Nasdem, salah satu partai pendukung Jokowi.
Tapi Ketua DPP Nasdem Irma Chaniago mengatakan itu "hanya kajian." "Bukan berarti Nasdem yang mengusulkan itu," katanya.
Sementara Sekretaris Fraksi Nasdem di DPR RI Saan Mustopa bilang "buat apa juga Nasdem cari muka." "Kalau cari muka kemarin saja periode pertama pencalonan. Tapi enggak."
Siapa pun yang mengusulkan, toh usul itu sudah mengemuka dan jadi pembicaraan media massa.
Bagi Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, usul ini dimungkinkan muncul salah satunya karena gemuknya koalisi Jokowi "yang tidak berbasis ideologis."
Koalisi gemuk pendukung pemerintah awalnya memang akan menguntungkan Jokowi karena dia tak perlu susah payah melobi legislatif saat hendak menelurkan kebijakan.
Tapi persis karena tidak berbasis ideologis, loyal atau tidaknya partai ke Jokowi sangat tergantung kepada apa yang Jokowi berikan ke mereka. Entah jabatan kursi atau sejenisnya.
Jika ada yang tak puas, kata Ujang kepada reporter Tirto, Selasa (3/12/2019), "tidak aneh jika ada partai atau kelompok yang [ingin] menampar Jokowi."
Pada periode kedua, hanya PKS-lah partai yang tegas berada di sisi oposisi. Sementara Demokrat dan PAN bersikap abu-abu. Gerindra, salah satu motor utama oposisi periode lalu, bahkan sudah merapat ke gerbong pemerintah dengan menjabatnya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai usul ini muncul karena tiap-tiap partai yang ada di koalisi Jokowi tidak satu suara. Menurutnya "setiap parpol juga saling wait and see, saling lihat-lihat."
"Dugaan saya juga, ada beberapa partai yang menjadi bagian dari pemerintahan namun punya sikap kritis terhadap pemerintah, sehingga merasa harus tampil. Seperti Nasdem atau siapa pun," kata Aditya kepada reporter Tirto.
Apa pun penyebabnya, menurutnya masa jabatan presiden "wajib dan harus" dibatasi karena jika tidak akan cenderung terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Aditya merasa masa jabatan presiden tak perlu diotak-atik. "Kalau kita sudah bersepakat sejak masa reformasi masa jabatan presiden hanya dua periode, ikuti saja dan lihat progresnya. Jangan kemudian baru beberapa kali dievaluasi."
Cari Muka, Menampar, dan Menjerumuskan
Baik pernyataan Aditya atau Ujang secara tidak langsung dibenarkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Jokowi, yang kini menjabat presiden untuk periode kedua, menolak perpanjangan masa jabatan presiden mentah-mentah.
"Jadi, lebih baik, tidak usah amendemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka Jakarta, Senin (2/12/2019) lalu.
Tak cukup menolak, Jokowi--yang pertama terdampak jika rencana ini terealisasikan--juga mengatakan yang ingin "presiden tiga periode itu" sama saja "ingin menampar muka saya." Jokowi juga menolak usul ini karena baginya orang-orang ini hanya "ingin mencari muka," atau "ingin menjerumuskan" dia.
"Itu saja [alasannya]," katanya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino