tirto.id - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel 52 lahan konsesi di Kalimantan dan Sumatera atas dugaan pembakaran hutan dan lahan. Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan puluhan lahan yang disegel itu terdiri dari 51 milik perusahaan dan satu milik perorangan.
"Tim kami terus bekerja memastikan upaya gakkum bisa dilakukan secara optimal agar menimbulkan efek jera pelaku pembakaran," kata Rasio saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/2019).
Lahan-lahan yang disegel seluas lebih dari 9.000 hektare itu tersebar di sejumlah provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Rasio juga mengatakan lima perusahaan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) oleh kepolisian. Lima perusahaan itu yakni PT Sinar Karya Mandiri, PT Arrtu Borneo Perkebunan, PT Arrtu Energie Resources, PT Kumai Sentosa dan PT Industrial Forest Plantation.
"Jumlah ini akan bertambah, di samping kami yang investigasi, polisi juga lakukan, berapa lokasi yang kami segel, juga ditangani kepolisian," jelas Rasio.
Rasio mengklaim pemerintah akan menindak perusahaan-perusahaan yang bermasalah tersebut secara tegas. Namun saat ditanya apakah sudah ada pencabutan izin konsesi, ia tak menjawab.
"Ya, ini kan saya sampaikan bahwa ada proses administrasi. Kami sedang bekerja mendalami lokasi-lokasi yang memang terbakar parah dan berulang-ulang karena mereka tidak patuh dalam memberikan izin, dan bisa saja kami cabut izinnya," ujarnya.
Rasio juga menyinggung langkah pemerintah dalam menangani kebakaran pada 2015. Ia mengklaim pemerintah berhasil memenangkan gugatan perdata ke sejumlah perusahaan di pengadilan.
Namun, hal itu justru dikritik Juru Kampanye Greenpeace Arie Rampos. Menurut Arie, terulangnya kebakaran di lokasi yang sama seperti 2015 justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menangani masalah karhutla.
"Sebenarnya pembelajaran pembakaran hutan itu kan dari 2015 itu, sudah banyak sekali perusahaan-perusahaan yang sudah dikenakan sanksi administratif oleh pemerintah lewat KLHK," ujar Arie.
"Nah sanksi administratif ini sangat lemah karena dia hanya semisal ada sanksi paksaan hingga pencabutan izin tapi yang dilakukan hanya sanksi administratif tidak sampai pencabutan izin," imbuhnya
Arie mengatakan, apabila pemerintah serius maka perlu ada pencabutan izin hingga penegakan hukum secara pidana dan perdata.
"Gugatan perdata itu, misalnya, waktu itu [kasus karhutla tahun 2015] ada 10 perusahaan yang sudah diputusin ya inkrah, tetapi mereka gagal untuk membayar denda. Artinya, proses penegakan hukum ini juga harus terintegrasi mulai dari penegakan hingga putusan," tegasnya.
Arie menilai langkah yang dilakukan pemerintah belum memberikan efek jera terhadap pelaku, khususnya perusahaan di industri sawit dan hutan tanaman industri, yang diduga membakar hutan dan lahan.
"Makanya sampai saat ini kebakaran hutan masih terjadi dan berada tempat yang sama," ungkapnya.
Selain memberikan efek jera, Arie mengatakan pemerintah juga perlu membuka data perusahaan mana saja yang melakukan pembakaran hutan dan lahan. Hingga kini, perusahaan yang dipublikasikan pemerintah ke publik hanya sebatas inisial.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan